Anak-anak Terus Jadi Korban, ”Stop Perundungan” Jangan Hanya Jadi Slogan!
Perundungan terus menjadi momok bagi anak-anak termasuk di sekolah. Sampai kapan anak-anak terus jadi korban?
Kekerasan pada anak terus terjadi di berbagai ruang kehidupan anak-anak. Meski berulang kali dikecam, bahkan disebutkan masuk daftar tiga dosa besar dalam dunia pendidikan, perundungan kepada anak-anak tetap marak.
Maka, sejumlah pertanyaan pun muncul. Mengapa kasus perundungan terus berulang? Apakah sosialisasi untuk menghentikan perundungan di dunia pendidikan kurang? Peserta didik atau siswa sekolah terus berganti, tetapi kenapa perundungan tak berhenti? Lalu pertanyaan pun berlanjut, siapa yang salah? Anak-anak, guru, atau orangtuakah?
Apakah gerakan stop perundungan hanya menjadi slogan semata? Sebab, fakta menunjukkan, perundungan menjadi penyakit di lingkungan pendidikan yang terus muncul di mana saja. Kasus ini tidak mengenal status sekolah, apakah sekolah negeri atau swasta, bahkan sekolah yang dianggap ”elite” pun tak luput dari praktik kekerasan tersebut.
Kasus dugaan perundungan yang terjadi di lingkungan Binus School Serpong, Tangerang Selatan, Banten, yang terungkap beberapa hari lalu menunjukkan betapa perundungan menjadi virus terselubung yang bisa terjadi kapan saja dan dapat menimpa anak-anak di sekolah mana saja.
Pascaberedarnya video dugaan perundungan di Binus School Serpong yang viral di media sosial, para orangtua kembali khawatir menyusul cuitan di X yang diunggah pada Minggu (18/2/2024) oleh akun @BosPurwa. Perundungan diduga terjadi di sebuah warung dekat sekolah yang dilakukan sekelompok siswa senior terhadap anggota baru yang akan bergabung dalam kelompok tersebut.
Kekerasan fisik dan verbal dilakukan hingga ada siswa yang menjadi korban. Polisi membenarkan terjadinya dugaan perundungan. Namun, hingga Senin (19/2/2024), kepolisian masih menyelidiki dugaan kasus tersebut.
Pihak sekolah juga menginvestigasi dugaan perundungan yang melibatkan siswanya. Corporate Marketing Communications General Manager Binus Group Haris Suhendra kepada media mengungkapkan, kasus tersebut masih dalam penanganan sekolah dan kejadiannya (perundungan) di luar sekolah.
Baca juga: Polisi Telusuri Dugaan Perundungan di Sekolah
Permendikbud 46/2023
Pemerhati anak dan pendidikan yang juga mantan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, menduga, sekolah tersebut kemungkinan belum mengimplementasikan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP).
Sebab, menurut permendikbudristek tersebut, cakupan kekerasan yang dapat ditangani Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (PPK) di sekolah di antaranya terjadi di luar sekolah, tetapi peserta didik yang terlibat merupakan siswa sekolah tersebut.
Karena itulah, pihak sekolah diharapkan menindaklanjuti kasus tersebut dan tidak boleh lepas tangan dengan alasan lokus kejadian di luar sekolah. Apalagi, baik korban maupun pelaku kekerasan diduga kuat dari sekolah yang sama.
Menurut Retno, perundungan terjadi karena kekerasan dilakukan dengan agresif, ada relasi kuasa (dalam hal ini kakak senior terhadap adik yunior), ada tindakan kekerasan berulang, serta korban merasa tidak nyaman, terluka, dan tersakiti.
Jika tindakan pemukulan dilakukan dengan sadis, perbuatan tersebut biasanya bukan kejadian pertama. ”Saya menyampaikan keprihatinan atas kasus dugaan perundungan/kekerasan fisik, yaitu memukul korban dengan kayu, bahkan disundut rokok. Korban satu orang dan pelaku beberapa orang. Apalagi, kekerasan tersebut divideokan dan ternyata ada yang mengunggah di sosial media,” ujar Retno.
Baca juga: Perundungan Kian Mengkhawatirkan, Perlu Gerakan Bersama
Secara hukum, kasus perundungan tentu tidak bisa dibiarkan. Namun, jika korban dan pelaku masih usia anak, penanganannya tetap harus mengacu pada UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak dan UU 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Kasus perundungan siswa yang terus berulang juga disesalkan KPAI. Apalagi, perundungan diduga berlangsung sampai dua kali sehingga menyebabkan anak korban sempat dirawat di rumah sakit.
Komisioner KPAI Diyah Puspitarini memastikan anak korban didampingi sisi psikososialnya oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah Tangerang Selatan dan mendapatkan perlindungan hukum serta keamanan. ”KPAI juga berkoordinasi dengan aparat penegak hukum agar proses anak berhadapan dengan hukum berjalan dengan cepat,” ujar Diyah.
Kendati demikian, KPAI tetap mengingatkan agar identitas anak korban dan anak berhadapan dengan hukum, termasuk nama sekolah, tidak dipublikasi.
Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nahar pun meminta, jika para pelaku terbukti melakukan perundungan, proses hukum terhadap mereka harus dilakukan seadil-adilnya karena ada hak hidup anak yang dirampas.
”Kasus ini menjadi penting didalami motifnya karena terduga pelaku juga mengasuh anak lainnya. Perlu dipastikan agar pelaku tidak melakukan perbuatan yang sama terhadap anak lainnya,” paparnya.
Hancurkan masa depan
Terlepas dari proses hukum, kasus-kasus perundungan yang masih berulang seharusnya menjadi tamparan bagi dunia pendidikan di masa kini. Kasus demi kasus perundungan yang menimpa anak-anak seharusnya menjadi peringatan kepada semua sekolah agar meningkatkan upaya pencegahan. Berbagai regulasi yang diterbitkan tidak akan ada artinya jika tidak diimplementasikan dengan benar. Selain pembentukan tim PPK dengan sumber daya manusia yang mampu bekerja, pihak sekolah juga harus melakukan sosialisasi secara masif tentang kampanye stop perundungan dan berbagai kekerasan secara masif.
Oleh karena itu, setiap saat gerakan antiperundungan harus digaungkan di sekolah tanpa jeda. Jadi, bukan setelah ada kekerasan, baru dilakukan sosialisasi. Tentu saja, peran orangtua dan keluarga menjadi penting dalam mendidik dan mengasuh anak-anak agar tidak melakukan kekerasan dengan alasan apa pun.
Sebab, ketika kasus-kasus perundungan melibatkan anak-anak, baik sebagai pelaku maupun korban, pada ujungnya anak-anak juga yang menjadi korban. Di satu sisi, korban perundungan mengalami luka fisik dan psikis (trauma), cacat, dan nyawa melayang. Sementara itu, anak pelaku perudungan juga akan menghadapi masalah dalam posisi mereka sebagai anak berhadapan atau berkonflik dengan hukum.
Jika anak pelaku perundungan terbukti bersalah dan dihukum, anak-anak tersebut (yang telah berumur 14 tahun) harus keluar dari sekolah dan dikirim ke Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Meski sebutannya sebagai anak binaan, di LPKA pada dasarnya mereka menjalani hukuman badan dan ruang hidup anak-anak tersebut tidak bebas lagi, bahkan pendidikan mereka bisa terputus.
Liputan Kompas beberapa waktu lalu menemukan, sebagian penghuni LPKA adalah anak-anak yang terlibat kasus perundungan. Rata-rata mereka dihukum menjalani pembinaan di LPKA lebih dari satu tahun. Maka, demi menyelamatkan anak-anak, gerakan bersama menghentikan perundungan harus dilakukan semua pihak, sekolah dan masyarakat.