Bisik-bisik Wartawan saat Hari Pers Nasional
Pengesahan peraturan presiden hak cipta penerbit membawa angin segar ekosistem media. Namun, segudang masalah dihadapi.
Peringatan Hari Pers Nasional atau HPN 2024 telah berlalu. Peraturan presiden tentang publisher rights atau hak cipta penerbit yang diumumkan Presiden Joko Widodo dalam acara itu mengapungkan harapan untuk merintis ekosistem media yang lebih cerah. Namun, sejumlah persoalan masih membelenggu kehidupan pers di Tanah Air.
Meski puncak peringatan HPN 2024 baru dimulai 1,5 jam lagi, puluhan wartawan yang meliput acara itu telah memasuki Ecovention Hall, Ancol, Jakarta, Selasa (20/2/2024). Mereka bergegas mengambil tempat di sisi belakang ruangan. Tersedia panggung kecil setinggi satu meter untuk awak media.
Para kamerawan televisi segera memasang tripod di panggung itu. Pewarta foto menggeser posisi kursi untuk mencari sudut untuk memotret. Sementara beberapa jurnalis media cetak dan daring sibuk dengan gawai masing-masing untuk menyiapkan bahan tulisan.
Presiden Joko Widodo dan sejumlah pejabat memasuki lokasi acara sekitar pukul 16.00. Peserta HPN yang merupakan wartawan dari berbagai penjuru Nusantara tersebut menyambutnya dengan tepuk tangan. Presiden membalasnya dengan mengatupkan kedua telapak tangan di dada.
Kedatangan Presiden ibarat kick-off bagi wartawan untuk memulai kerja jurnalistiknya, terutama bagi jurnalis foto dan televisi karena lebih mengandalkan visual. Tidak heran beberapa kali mereka berteriak untuk mengingatkan peserta yang menghalangi pandangan kamera.
Baca juga: Presiden Jokowi Umumkan Perpres ”Publisher Rights” pada Peringatan Hari Pers
Setelah beberapa acara seremoni, Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Hendry Ch Bangun naik ke panggung utama untuk menyampaikan laporan kegiatan HPN. Selanjutnya disusul sambutan dari Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu. Setelah itu, giliran Presiden Jokowi menyampaikan sambutannya.
Para jurnalis mencatat beberapa poin penting yang disampaikan ketiganya, mulai dari regulasi hak cipta penerbit hingga isu kebebasan pers. Sesekali wartawan berbisik-bisik untuk mendiskusikan isu yang dianggap menarik dan menggelitik. ”Ngomong kebebasan pers, tetapi sinyal (seluler dan internet) aja kena jammer (pengacakan sinyal),” ujar seorang jurnalis televisi membisikkannya kepada rekannya.
Jammer merupakan alat yang bisa mengacak sinyal ponsel dalam radius tertentu. Sinyal di lokasi acara peringatan HPN itu mendadak hilang sekitar 15 menit sebelum Presiden Jokowi tiba.
Sejumlah jurnalis mengeluhkannya karena pengacakan sinyal mengganggu pekerjaan mereka. Mereka tidak dapat mengirimkan berita dari lokasi acara. Selain itu, komunikasi dengan editor untuk mengoordinasikan liputan juga terputus.
Meski demikian, beberapa wartawan tidak terlalu mempersoalkannya. Bukan karena mereka tidak terganggu, tetapi sudah terbiasa menghadapi situasi seperti itu saat meliput kegiatan yang dihadiri presiden atau wakil presiden.
Dalam acara itu, Presiden Jokowi mengumumkan telah menandatangani regulasi hak cipta penerbit. Regulasi tersebut diwujudkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas.
Peraturan yang diwacanakan lebih dari tiga tahun lalu itu dinantikan insan pers. Perpres ini mengatur kerja sama perusahaan pers dengan platform digital untuk mendukung jurnalisme berkualitas.
Bisik-bisik wartawan dalam puncak peringatan HPN 2024 hanya potret kecil dari segudang persoalan pers di Indonesia. Kekerasan terhadap jurnalis dan media masih merajalela. Kesejahteraan jurnalis belum terjamin. Independensi pers tereduksi kepentingan pemilik media.
”Perlu saya mengingatkan semangat awal perpres ini. Kita ingin jurnalisme berkualitas, jurnalisme yang jauh dari konten negatif, jurnalisme yang mengedukasi untuk kemajuan Indonesia. Kita juga ingin memastikan keberlanjutan industri media nasional,” ujar Presiden.
Beberapa wartawan mengobrolkan pernyataan itu. Ada juga yang menghubungkannya dengan nasib temannya yang baru diberhentikan perusahaan media tempatnya bekerja dengan dalih efisiensi. ”Kita bersemangat membahas jurnalisme berkualitas, tetapi kesejahteraan jurnalisnya belum bermutu,” ujar seorang jurnalis media daring sambil membetulkan posisi alat perekamnya di dekat pengeras suara.
Banyak tantangan
Bisik-bisik wartawan dalam puncak peringatan HPN 2024 hanya potret kecil dari segudang persoalan pers di Indonesia. Kekerasan terhadap jurnalis dan media, termasuk serangan siber, masih merajalela. Industri media terpuruk. Kesejahteraan jurnalis belum terjamin. Independensi pers tereduksi oleh kepentingan pemilik media.
Baca juga: ”Publisher Rights” saat Hari Pers, Momentum Menyegarkan Ekosistem Media
Laporan Situasi Kebebasan Pers Aliansi Jurnalis Independen (AJI) 2023 menyebutkan, sepanjang tahun lalu, AJI mendokumentasikan 89 kasus serangan dan hambatan kerja jurnalistik. Sebanyak 83 individu jurnalis, 5 kelompok jurnalis, dan 15 media menjadi korban. Jumlah tersebut naik dibandingkan tahun 2022 sebanyak 61 kasus dan 41 kasus pada 2021.
Laporan ini turut memotret situasi kesejahteraan 428 jurnalis dari seluruh daerah di Indonesia yang bekerja di media daring, televisi, multiplatform, dan media cetak. Sebesar 32,8 persen jurnalis bekerja tanpa perjanjian kerja.
Dalam survei itu, AJI menemukan, upah jurnalis berstatus karyawan tetap ataupun kontrak sebagian besar (81 persen) ditentukan dengan satuan berita yang dihasilkan, termasuk berapa view yang didapat. Hanya 19 persen jurnalis yang diupah berdasarkan satuan waktu.
Indonesia belum memiliki standar minimal upah untuk satuan hasil berita yang berlaku bagi seluruh perusahaan media. Besaran upah lebih sering ditetapkan secara sepihak oleh perusahaan media tanpa melibatkan jurnalis yang dipekerjakan.
Dampaknya, perusahaan media dapat menetapkan harga satuan berita sangat murah dan tidak layak, seperti berita straight news dihargai Rp 15.000, Rp 20.000, Rp 25.000, dan Rp 30.000. Bahkan, untuk liputan mendalam yang jauh lebih rumit dan panjang masih ada perusahaan media yang memberikan harga Rp 20.000.
Jurnalis di Indonesia belum sepenuhnya bebas dari intervensi pemilik media yang berafiliasi dengan partai politik atau kepentingan politik tertentu. Intervensi tersebut telah mereduksi independensi ruang redaksi.
Imbasnya, jurnalis berpotensi menjadi partisan. Bahkan, tidak sedikit wartawan tergiur menjadi calon anggota legislatif yang afiliasi politiknya sejalan dengan pemilik media. Padahal, pers seharusnya bekerja untuk kepentingan publik.
Dalam beberapa tahun terakhir, industri pers di Tanah Air limbung dihantam gelombang disrupsi digital. Sejumlah media, baik nasional maupun daerah, menutup edisi cetaknya dan beralih ke platform daring. Tidak jarang hal ini diikuti pemutusan hubungan kerja (PHK) sejumlah awak media.
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menuturkan, pengesahan perpres hak cipta penerbit patut disyukuri. Bisnis media yang sehat sangat dibutuhkan untuk mendukung jurnalisme berkualitas.
Meski demikian, masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Disrupsi teknologi diprediksi terus berdampak, salah satunya dengan kehadiran teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence. Hal ini menuntut wartawan untuk meningkatkan profesionalismenya.
Baca juga: Pertumbuhan Media Belum Dibarengi Peningkatan Kualitas Berita
”Pada tahun 2023 setidaknya lebih dari 800 pekerja pers terkena PHK dan bisa lebih banyak jika dihitung dengan perusahaan lokal media. Padahal, saat bersamaan, media dituntut meningkatkan sumber daya manusia dan infrastruktur agar mampu menerapkan AI dan memastikan prinsip etika jurnalistik,” ujarnya.
Pers juga dibelenggu regulasi yang berpotensi menjerat jurnalis. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana berpeluang mengkriminalisasi wartawan.
”Momentum kali ini juga didedikasikan untuk kita semua mengingat peristiwa 1998 (Reformasi) agar upaya menutup kebebasan berpendapat tidak lagi terjadi,” ucapnya.