Kemitraan Indonesia-Norwegia dalam Penurunan Emisi Jadi Contoh bagi Dunia
Kerja sama penurunan emisi antara Indonesia dan Norwegia telah berkontribusi dalam menekan laju deforestasi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kerja sama penurunan emisi yang terjalin antara Pemerintah Indonesia dan Norwegia telah berkontribusi dalam menekan laju deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia. Keberhasilan kerja sama ini mendapat perhatian dan menjadi contoh bagi dunia, khususnya negara-negara pemilik hutan hujan tropis lainnya.
Duta Besar Norwegia untuk Indonesia Rut Kruger Giverin mengatakan, Indonesia merupakan negara terdepan di dunia dalam upaya mengurangi laju deforestasi. Sejak perjanjian kemitraan ditandatangani pada 2022, Norwegia telah memberikan kontribusi sebesar 156 juta dollar AS untuk hasil pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan Indonesia.
”Kerja sama bilateral kedua negara telah terjalin dengan baik. Dengan hasil gemilang yang dicapai oleh Indonesia dalam mengurangi laju deforestasi, kini kerja sama ini mendapatkan perhatian dari dunia,” ujarnya saat memberikan sambutan dalam lokakarya Indonesia FoLU Net Sink 2030 di Jakarta, Kamis (22/2/2024).
Pada September 2022, Pemerintah Indonesia menjalin kembali kemitraan dengan Pemerintah Kerajaan Norwegia dengan fokus penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+).Kerja sama serupa pernah terjalin tetapi berakhir pada 2021 karena adanya kendala dalam pemenuhan pembayaran berbasis hasil (RBP).
Satu bulan berselang, tepatnya pada Oktober 2022, Norwegia memenuhi RBP sebesar 56 juta dollar AS untuk pengurangan emisi dari pengurangan laju deforestasi di Indonesia periode 2016-2017. Hasil inventarisasi menunjukkan penurunan emisi Indonesia dari deforestasi dan degradasi hutan periode 2016-2017 mencapai 11,2 juta ton setara karbon dioksida (CO2e).
Kemudian pada Desember 2023, Norwegia melanjutkan kontribusi sebesar 100 juta dollarAS untuk kinerja penurunan deforestasi periode 2017-2018 dan 2018-2019. Penurunan emisi Indonesia selama 2017-2019 tercatat sebesar 20 juta ton CO2e.
Menurut Rut, proses yang terbuka dan partisipatif merupakan bagian dari prinsip penting pelaksanaan nota kesepahaman kedua negara. Para donor potensial dan negara-negara hutan tropis lainnya pun tertarik untuk belajar dan mengetahui cara kerja kemitraan ini.
”Pemerintah dan masyarakat sipil memainkan peran penting dalam mendukung FoLU Net Sink 2030. Kita perlu memastikan prinsip keterbukaan, partisipasi, dan obyektivitas terwujud dengan baik. Hal ini penting untuk memperkuat kemitraan kedua negara,” katanya.
Sejak perjanjian kemitraan ditandatangani pada 2022, Norwegia telah memberikankontribusi sebesar 156 juta dollar AS untuk hasil pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan Indonesia.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menyampaikan, Indonesia telah aktif memperjuangkan upaya penurunan emisi dari program REDD+ dalam berbagai forum global. Bahkan, Indonesia sudah memperjuangkan REDD+ dalam pembahasan negosiasi sejak Konferensi Perubahan Iklim (COP) Ke-21 tahun 2015.
Selain itu, Indonesia juga aktif mengisi kegiatan sampingan tentang REDD+ dari forum ke forum hingga akhirnya sebagai pendekatan yang tepat, dapat beroperasi, dan dieksekusi dalam penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Indonesia juga berhasil memformulasikannya dalam kerangka kerja FoLU Net Sink 2030 dengan basis REDD+.
”REDD+ merupakan salah satu mekanisme global yang dapat mendukung upaya pengurangan emisi gas rumah kaca, khususnya di sektor kehutanan, dan telah ditetapkan melalui beberapa keputusan COP. Artikel V Perjanjian Paris menyebutkan bahwa negara berkembang yang berhasil melakukan upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan berhak mendapatkan insentif positif,” ujarnya.
Emisi Indonesia
Siti menekankan, upaya penurunan emisi GRK Indonesia telah dicatat dari waktu ke waktu dan direkam hasilnya secara konsisten. Hasil penghitungan inventarisasi GRK nasional menunjukkan, tingkat emisi aktual GRK tahun 2022 sebesar 1,23 gigaton setara karbon dioksida (GtCO2e). Angka ini menunjukkan adanya penurunan emisi dari baseline dalam dokumen kontribusi nasional (NDC) sebesar 875,7 juta ton CO2e.
”Saat ini kita mulai proses pembahasan RBP untuk emisi dari 2019-2020. Kita harapkan dengan prosedur yang ada secara internasional sudah akan bisa selesai dan didapat hasilnya paling lambat akhir tahun 2024,” ungkapnya.
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Hanif Faisol Nurofiq menambahkan, pendanaan dari hasil penurunan emisi Indonesia ini dialokasikan untuk mendukung sejumlah kegiatan. Beberapa kegiatan itu di antaranya pengelolaan hutan lestari, peningkatan cadangan karbon, konservasi, pengelolaan gambut dan mangrove, serta kegiatan lainnya terkait instrumen dan informasi.
Selain itu, anggaran tahap satu sebesar 56 juta dollar AS dari Norwegia juga telah dialokasikan untuk mendukung implementasi rencana kerja dari sejumlah kementerian dan lembaga, pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat (NG0), dan perguruan tinggi.