Satelit Bekas ERS-2 Jatuh Kembali ke Bumi
Satelit bekas ERS-2 jatuh kembali ke bumi, Kamis (22/2/2024) dini hari. Diduga, satelit habis terbakar di atas Pasifik.
Satelit bekas milik Uni Eropa, European Remote Sensing 2 (ERS-2), jatuh kembali ke bumi, Kamis (22/2/2024) dini hari setelah hampir 30 tahun berada di luar angkasa. Satelit terbakar di udara di atas Samudra Pasifik. Karena itu, jatuhnya satelit bekas itu dipastikan aman bagi kehidupan di bumi.
Badan Antariksa Eropa (ESA) memastikan bahwa ERS-2 yang ditunggu-tunggu jatuhnya itu kembali memasuki atmosfer bumi pada Rabu (21/2/2024) pukul 17.17 waktu universal atau Kamis (22/2/2024) pukul 00.17 WIB. Satelit seukuran bus itu memasuki atmosfer di wilayah utara Samudra Pasifik di antara Alaska dan Hawaii, Amerika Serikat.
Saat memasuki atmosfer, satelit bekas dengan berat kosong tanpa bahan bakar sebesar 2.294 kilogram (kg) itu terbakar. Namun, hingga kini belum ada laporan apakah ada serpihan satelit yang tersisa dan jatuh di permukaan bumi. Meski demikian, ESA meyakinkan bahwa serpihan itu aman karena tidak mengandung zat beracun atau zat radioaktif.
Satelit ERS-2 diluncurkan dari Bandar Antariksa Kourou di Guyana Perancis, Amerika Selatan, pada 21 April 1995. Satelit ini bertugas melakukan observasi bumi dengan mengumpulkan data tentang permukaan bumi, baik daratan, lautan, maupun kutub. Satelit ini juga dimanfaatkan untuk memantau bencana alam yang terjadi di wilayah terpencil dunia, baik banjir besar maupun gempa bumi.
Saat diluncurkan, seperti dikutip dari Space, 21 Februari 2022, ERS-2 adalah satelit observasi bumi tercanggih yang pernah dikembangkan dan diluncurkan ESA. ”Data yang dikirimkan ERS-2 telah mengubah pandangan kita terhadap dunia tempat kita tinggal. Satelit ini memberi kita wawasan baru tentang Planet Bumi, komposisi kimia atmosfer, perilaku lautan, hingga dampak aktivitas manusia terhadap lingkungan,” kata Direktur Program Pengamatan Bumi ESA Simonetta Cheli.
ESA memensiunkan ERS-2 pada 2011 atau setelah 16 tahun satelit itu bertugas. Padahal, satelit ini dirancang hanya untuk masa tugas selama 3 tahun. Sejak saat itu, ERS-2 resmi menjadi sampah antariksa. Selanjutnya, ESA melakukan deorbit atau mengeluarkan satelit dari orbit operasionalnya guna mengurangi dampak sampah antariksa terhadap lingkungan sekitarnya.
Pusat Operasi Antariksa Eropa (ESOC) ESA di Darmstadt, Jerman, setidaknya melakukan 66 manuver deorbit terhadap ERS-2 pada Juli dan Agustus 2011 untuk menghabiskan daya satelit dan menurunkan ketinggian rata-rata satelit dari 785 kilometer (km) dari bumi menjadi 573 km saja.
Penurunan ketinggian satelit bekas ini untuk mempercepat peluruhan orbitnya karena makin dekat bumi, kerapatan ruang makin besar. Jika satelit bekas itu tidak dideorbit, satelit itu bisa tetap berada di posisinya selama 100-200 tahun. Kondisi ini tentu akan mengganggu satelit di sekitarnya dan mengurangi peluang menempatkan satelit lain di sekitar orbit operasional ERS-2.
Setelah di ketinggian barunya, ketinggian ERS-2 akan terus turun. Semula, laju penurunan ketinggian satelit bekas ini sangat lambat. Namun, pada Januari 2024, kecepatan penurunan ketinggian ERS-2 meningkat drastis hingga mencapai 10 km per hari. Karena itu, waktu sampah antariksa ini memasuki atmosfer bumi kembali bisa diprediksi.
Sementara itu, setelah dideorbit, ERS-2 dinonaktifkan secara penuh pada September 2011. Pada kondisi ini, baterai dan sistem tekanannya telah dikosongkan. Pengosongan sumber daya itu membuat bobot satelit yang saat diluncurkan mencapai 2.516 kg itu hilang lebih dari 200 kg.
Pengosongan baterai dan sistem tekanan itu untuk mengurangi risiko kerusakan internal yang membuat satelit hancur berkeping-keping saat masih berada di ketinggian yang digunakan satelit aktif. Selain untuk menyelamatkan satelit aktif, cara ini juga bisa mengurangi banyaknya sampah antariksa.
Baca juga: Mewaspadai Jatuhan Sampah Antariksa
Proses alami
Penurunan ketinggian satelit itu merupakan proses untuk menjatuhkan kembali satelit itu ke bumi. Dalam istilah teknis, jatuh kembalinya satelit ke bumi ini disebut sebagai ”masuk kembalinya satelit ke atmosfer bumi”. Artinya, seperti disebut ESA pada 15 Februari 2024, proses jatuhnya sampah antariksa ke atmosfer bumi itu adalah hal yang alami saat satelit tidak bisa dikendalikan lagi.
Tidak dapat dikendalikannya proses masuk ERS-2 ke atmosfer bumi itu karena baterai satelit sudah dikosongkan. Selain itu, semua sistem elektronik satelit juga telah dinonaktifkan sejak 13 tahun lalu, jauh sejak sebelum satelit itu masuk ke atmosfer dan terbakar. Karena itu, pengendali misi tidak bisa melakukan pengendalian satelit atau manuver apa pun.
Saat sampah antariksa itu sudah berada di dekat atmosfer bumi yang lebih padat kerapatannya, satu-satunya kekuatan yang bisa menyebabkan peluruhan orbit ERS-2 adalah hambatan dari atmosfer bumi. Namun, hambatan atmosfer bumi ini sangat dipengaruhi oleh aktivitas matahari yang tidak bisa diprediksi.
Proses memasukkan kembali satelit ke atmosfer bumi ini dipandang mampu mengurangi sampah antariksa, tetapi tetap aman bagi penduduk bumi. Biasanya, sampah antariksa seukuran satelit akan terbakar saat bergesekan dengan atmosfer bumi, pecah menjadi beberapa bagian hingga akhirnya habis terbakar saat masih berada di ketinggian, jarang yang masih tersisa dan jatuh di permukaan bumi.
Meski tidak dapat dikendalikan, pengelola satelit biasanya mampu memprediksi rentang waktu kapan satelit akan jatuh ke bumi. Semakin mendekati waktu kejatuhan satelit, perkiraan waktu yang dibuat akan semakin baik.
Dalam 1 tahun, kemungkinan seseorang terkena serpihan sampah luar angkasa itu adalah 1 per 100 miliar. Dengan demikian, meski jatuhnya sampah antariksa perlu diwaspadai, masyarakat tidak perlu terlalu khawatir dengan dampaknya.
Informasi jatuhnya ERS-2 muncul awal Februari lalu. Satelit mati ini diperkirakan akan jatuh pertengahan bulan, tanpa menyebut waktu pastinya. Pada Minggu (18/2/2024), ESA mengabarkan ERS-2 diperkirakan akan masuk ke atmosfer bumi pada Rabu (21/2/2024) pukul 15.19 waktu universal atau 22.19 WIB dengan ketidakpastian mencapai 19 jam. Saat ini, lokasi jatuh satelit belum dapat dipastikan.
Adapun pada Rabu petang waktu Jakarta, sekitar 4 jam sebelum waktu prediksi awal jatuhnya ERS-2, ESA kembali mengumumkan ERS-2 masuk ke atmosfer bumi tetap pada Rabu pukul 15.41 waktu universal atau 22.41 WIB dengan ketidakpastian kurang lebih 1,44 jam. Ketidakpastian ini dipengaruhi oleh perubahan kepadatan atmosfer bumi yang menentukan besaran gaya tarik terhadap sampah antariksa tersebut.
Diperkirakan, ERS-2 akan memasuki atmosfer bumi di utara Samudra Pasifik di barat Amerika Serikat. Wilayah yang akan dilalui jalur jatuhnya satelit itu dan berpotensi menyaksikan bola-bola api di udara antara lain Pasifik Selatan, Jazirah Arab, Eropa Utara, Amerika Utara, timur Afrika, dan Eropa timur.
Akhirnya, waktu ERS-2 kembali memasuki atmosfer bumi mundur lebih dari 1,5 jam dari prediksi semula. Namun, ini masih dalam rentang ketidakpastian waktu masuknya satelit itu ke atmosfer. Tak hanya itu, tim ESA juga bisa memprediksi lokasi masuknya sampah antariksa itu ke atmosfer bumi dengan tepat.
Baca juga: Bekas Satelit NASA Jatuh ke Bumi
Sampah antariksa
Meski proses menjatuhkan kembali satelit bekas ke dalam atmosfer bumi dianggap sebagai cara yang ”alami”, sejatinya tindakan ini berisiko menjatuhkan puing-puing sampah antariksa ke permukaan bumi. Walau demikian, risiko sampah antariksa yang tidak habis terbakar di udara dan membahayakan manusia dan kehidupannya itu sangatlah kecil.
Kecilnya peluang tertimpa puing sampah antariksa itu karena sebagian besar permukaan bumi tertutup oleh lautan dan pusat aktivitas manusia di wilayah daratan pun terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu. Sebagian besar wilayah daratan pun berupa hutan, gurun pasir, gunung, padang rumput, atau wilayah tak berpenghuni lainnya.
Sampah antariksa ERS-2 hanyalah salah satu dari ratusan keping sampah luar angkasa yang sudah masuk kembali ke bumi selama awal 2024 ini. Sebagian besar sampah antariksa yang masuk ke atmosfer bumi itu berukuran kurang dari 1 meter yang umumnya habis terbakar di udara dan tidak membahayakan manusia.
Namun, risiko sampah antariksa seukuran ERS-2 yang sebesar bus untuk melukai manusia sangat kecil. Menurut ESA, dalam seumur hidup, peluang seseorang tersambar petir 65.000 kali lebih besar dibandingkan dengan risiko tertimpa puing-puing sampah antariksa. Sementara dalam 1 tahun, kemungkinan seseorang terkena serpihan sampah luar angkasa itu adalah 1 per 100 miliar. Dengan demikian, meski jatuhnya sampah antariksa perlu diwaspadai, masyarakat tidak perlu terlalu khawatir dengan dampaknya.
”Dalam 67 tahun penerbangan luar angkasa, ribuan ton benda luar angkasa buatan manusia telah kembali ke atmosfer bumi. Potongan-potongan benda yang jatuh ke permukaan bumi sangat jarang menyebabkan kerusakan dan tidak pernah ada laporan pasti mengenai adanya korban cedera pada manusia,” sebut ESA dalam pernyataannya.
Wilayah Indonesia yang berada di khatulistiwa membuat peluang tertimpa sampah antariksa cukup besar. Sejauh ini, sampah antariksa yang pernah jatuh di Indonesia adalah serpihan roket SL-8 milik Uni Soviet yang jatuh di Gorontalo pada 1981, tabung bahan bakar bekas roket SL-4 milik Uni Soviet yang jatuh di Lampung pada 1988, dan pecahan roket CZ-3 milik China yang jatuh di Bengkulu pada 2024.
Selain itu, ada beberapa pecahan dari roket Falcon 9 milik SpaceX dari AS yang jatuh di Sumenep Madura, Jawa Timur, pada 2016, pecahan roket CZ-3A milik China yang jatuh di Sumatera Barat tahun 2017, dan pecahan roket Long March 5B/CZ-5B juga milik China yang jatuh di Kalimantan Barat pada 2022. Dari semua laporan sampah antariksa itu, tidak ada satu pun yang menimbulkan luka atau korban jiwa.
Namun, masalah yang ditimbulkan sampah antariksa bukan hanya jika sampah tersebut menimpa manusia di Bumi. Keberadaan 8.440 metrik ton sampah antariksa yang mengelilingi Bumi telah meningkatkan kecerahan langit malam hingga 10 persen. Kondisi ini meningkatkan polusi cahaya yang mengganggu pengamatan astronomi landas bumi yang dilakukan oleh astronom.
Tak hanya itu, sampah antariksa yang sebagian besar berupa satelit bekas yang sudah tidak beroperasi lagi dan pecahan roket sisa peluncuran itu juga mengancam berbagai wahana antariksa lain yang masih beroperasi, baik berupa satelit aktif, wahana antariksa berawak, maupun stasiun luar angkasa.
Ilmuwan telah mengusulkan sejumlah cara untuk membersihkan sampah antariksa itu, mulai dari penggunaan jaring raksasa, pembuatan robot cakar, hingga menembakkan tambatan sepanjang hampir 800 meter dari wahana luar angkasa yang akan menarik sampah antariksa. Semua ide ini belum mewujud, tetapi keberadaan pembersih sampah antariksa itu sangat diharapkan demi pemanfaatan luar angkasa yang lebih berkelanjutan.