Puting Beliung di Indonesia Cenderung Menguat dan Sulit Diprediksi
Kejadian ekstrem berupa pusaran angin kencang di daerah Rancaekek, Bandung, termasuk puting beliung yang sangat kuat.
JAKARTA, KOMPAS — Kejadian ekstrem berupa pusaran angin kencang di daerah Rancaekek, Bandung, Jawa Barat, termasuk puting beliung yang sangat kuat karena adanya perubahan suhu udara dan perubahan tekanan udara yang tiba-tiba naik drastis sehingga sulit diprediksi. Kejadian di Rancaekek ini menunjukkan kecenderungan menguatnya kekuatan puting beliung meski hal ini berbeda dengan tornado.
Pada hari Rabu (21/2/2024) telah terjadi satu kejadian ekstrem berupa pusaran angin kencang yang disertai dengan hujan di daerah Rancaekek, Bandung. Berdasarkan informasi dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat, fenomena tersebut terjadi sekitar pukul 15.30 sampai 16.00 WIB. Dampak angin kencang itu terasa hingga wilayah Jatinangor.
Peneliti Senior Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Didi Satiadi, Jumat (23/2/2024), mengatakan, fenomena yang terjadi di Rancaekek merupakan cuaca ekstrem yang memperlihatkan karakteristik puting beliung yang sangat kuat. Hal ini ditandai dengan area terdampak yang luas serta intensitas yang sangat kuat, seperti menyebabkan bangunan rusak dan kendaraan terguling.
Dalam bahasa Inggris, istilah puting beliung dikenal sebagai microscale tornado atau tornado skala kecil. Sebab, ukurannya yang lebih kecil daripada tornado yang biasa terjadi di daerah lintang menengah.
”Fenomena tornado menggambarkan suatu kolom udara yang berputar sangat cepat, mulai dari awan badai hingga mencapai permukaan tanah, dan biasanya berbentuk seperti corong,” ujar Didi.
Didi mengatakan, hasil analisis awal menunjukkan, penyebab dari kejadian puting beliung di Rancaekek, kemungkinan adalah terjadinya konvergensi angin dan uap air di daratan sekitar wilayah tersebut pada sore hari, yang menyebabkan pertumbuhan awan kumulonimbus (cumulonimbus/CB) yang sangat cepat dan meluas. Proses pembentukan awan membebaskan panas laten yang selanjutnya meningkatkan updraft atau aliran udara ke atas.
Sebaliknya, updraft yang semakin kuat akan menumbuhkan lebih banyak awan. Siklus umpan balik positif ini, menyebabkan updraft menjadi semakin kuat dan dapat berputar karena adanya windshear atau perbedaan arah dan kecepatan angin. Kolom udara yang berputar semakin kuat ini dapat mencapai permukaan tanah dan menghasilkan puting beliung.
Didi menjelaskan perbedaan antara tornado dan puting beliung. Tornado biasanya terjadi dalam awan badai yang terbentuk sepanjang front atau batas antara dua massa udara yang berbeda atau di dalam awan badai supersel. Sementara puting beliung biasanya terjadi karena proses konveksi lokal di dalam awan badai dan biasanya berkaitan dengan downburst/microburst atau aliran udara ke bawah yang kuat.
Dari segi skala, tornado biasanya lebih besar dan lebih kuat, dengan angin yang lebih kencang dan diameter yang lebih besar. Daripada puting beliung yang biasanya lebih kecil dan kecepatan angin yang lebih rendah. ”Sementara puting beliung kadang-kadang disebut sebagai microscale tornado karena lebih kecil daripada tornado yang terjadi di lintang menengah,” lanjut Didi.
Tornado dapat berlangsung hingga beberapa jam, sedangkan puting beliung biasanya berlangsung lebih pendek dalam hitungan menit.
Tornado biasanya terbentuk di wilayah lintang menengah dengan gradien atau perbedaan temperatur yang tinggi, sedangkan puting beliung biasanya terbentuk di wilayah tropis, di mana konveksi sangat aktif karena kondisi atmosfer yang hangat dan lembap.
Selain itu, dampak dari tornado biasanya lebih dahsyat dibandingkan dengan puting beliung. Puting beliung juga cukup berbahaya karena dapat menyebabkan kerusakan lokal terutama di wilayah padat penduduk.
Baca juga: Bukan Tornado, Kecepatan Puting Beliung di Bandung 36 Kilometer Per Jam
Penjelasan Didi ini sekaligus membantah informasi yang beredar di media sosial bahwa puting beliung di Bandung merupakan tornado pertama di Indonesia, sebagaimana disampaikan peneliti BRIN, Erma Yulihastin. Dalam tuitannya di X yang kemudian dikutip sejumlah media, Erma menyatakan, ”Struktur tornado Rancaekek, Indonesia, dibandingkan dengan tornado yang biasa terjadi di belahan bumi utara Amerika Serikat memiliki kemiripan 99,99 persen.” Namun, Erma yang dikonfirmasi lebih lanjut belum merespons pertanyaan mengenai kriteria kemiripan itu.
Perubahan lingkungan
Profesor Riset Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Eddy Hermawan, mengatakan, terbentuknya puting beliung sangat kompleks. Rancaekek merupakan kawasan yang terletak nyaris di tengah-tengah Pulau Jawa bagian barat. Kawasan ini semula merupakan kawasan hijau, yang ditandai dengan banyaknya pepohonan. Artinya, lingkungannya masih relatif bersih.
Namun, sekarang kawasan ini telah beralih fungsi, yang semula hijau berubah menjadi kawasan industri. Kawasan seperti ini biasanya rawan diterjang pusaran angin.
”Dengan kata lain, terjadi perubahan tata guna lahan yang semula hutan jati kini berubah menjadi hutan beton,” tegasnya.
Menurut Eddy, industri banyak menghasilkan gas emisi, di mana gas ini tidak dapat leluasa kembali ke atmosfer akibat efek rumah kaca. Dengan lama penyinaran matahari (LPM) lebih dari 12,1 jam, kawasan ini sangat panas di siang hari dan relatif dingin di malam hari.
Selain tidak usah panik secara berlebihan, yang lebih penting adalah ikuti terus informasi terkini yang diberikan oleh BMKG atau BPBD atau lainnya, pantau secara rutin.
Perbedaan suhu antara malam dan siang sangatlah besar. Tanpa disadari, kawasan ini tiba-tiba berubah menjadi kawasan bertekanan rendah. Kondisi seperti ini dimulai sejak 19 Februari 2024 dan di saat itulah, kumpulan massa uap air dari berbagai penjuru masuk ke Rancaekek.
Proses ini terjadi agak lama, 24-48 jam. Diawali dengan pembentukan bayi awan-awan kumulus (cumulus) atau dikenal sebagai pre-MCS. Kemudian lambat laut membesar membentuk kumpulan awan-awan kumulonimbus yang siap untuk diputar hingga membentuk pusaran besar, dikenal sebagai puting beliung.
”Walaupun mekanisme agak kompleks untuk dijelaskan secara rinci, dugaan kuat pusaran ini terjadi akibat adanya pertemuan dua massa uap air, dari arah barat dan timur, lalu diperkuat dari arah selatan Samudra Indonesia. Ketiganya berkumpul di satu kawasan yang mengalami degradasi panas yang cukup tajam,” jelas Eddy.
Sulit diprediksi
Menurut Eddy, hampir semua kejadian ekstrem seperti puting beliung hingga kini relatif sulit diprediksi kehadirannya. Selain terbatasnya data yang beresolusi tinggi, mekanisme pembentukannya belum dipahami dengan baik dan sempurna. ”Adalah wajar jika kadangkala kita memiliki pandangan berbeda,” ungkapnya.
Menurut Eddy, fenomena puting beliung di Rancaekek ini termasuk kejadian langka. Ia mengimbau kepada masyarakat, selain tidak usah panik secara berlebihan, yang lebih penting adalah ikuti terus informasi terkini yang diberikan oleh BMKG atau BPBD atau lainnya, pantau secara rutin.
Dia juga mengingatkan, masyarakat perlu mendapat pencerahan tentang kejadian-kejadian ekstrem yang sepertinya akan bertambah di masa mendatang. Itu karena kejadian ini terkait erat dengan perubahan suhu udara dan perubahan tekanan udara yang tiba-tiba naik drastis. Maka, sudah saatnya dipasang alat pemantau perubahan tekanan, bisa barometer atau lainnya.
”Puting Beliung tidak bisa kita cegah (kita redam), tetapi tanda-tanda kehadirannya bisa kita lihat. Tanda-tanda itu mulai dari langit mulai gelap, kecepatan angin permukaan meningkat, suhu udara panas terik di siang hari, tetapi tiba-tiba mendingin di malam hari, dan lainnya,” tambahnya.
Kepala Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Albertus Sulaiman mengatakan, puting beliung merupakan fenomena yang menarik dan masih merupakan buku terbuka karena sifatnya unik. Fenomena ini terjadi di ekuator dan secara spasial tidak terlalu besar serta berlangsung dalam tempo yang cukup cepat sehingga sulit untuk diobservasi.
Namun, menurut Sulaiman, saat ini puting beliung terjadi dalam intensitas atau kekuatan yang semakin besar sehingga sering mengancam masyarakat. ”Mekanisme penguatan ini masih misteri, di mana masalah ini juga terjadi pada gelombang ekstrem di laut. Penelitian yang intensif menunjukkan bahwa salah satu sumber utama terjadinya gelombang ekstrem adalah interaksi antargelombang (gangguan yang menjalar) yang memenuhi Benjamin-Feir instability,” ujar Sulaiman.
Menurut Sulaiman, kunci utama adalah pemahaman, yaitu memahami mekanisme pembentukan dan dinamika puting beliung di mana observasi/monitoring memegang peranan penting. Lembaga yang dapat melakukannya dengan durabilitas tinggi adalah BMKG.
BMKG perlu lebih banyak lagi memasang instrumen seperti automatic weather station (AWS) dan radar dengan resolusi spasial dan temporal lebih tinggi di area yang sering terjadi puting beliung. Saat ini observasi puting beliung hanya muncul dari foto dan video yang dikirimkan dari saksi, tetapi ini juga sudah berarti.
Baca juga: Puting Beliung di Bandung-Sumedang Sebabkan 706 Bangunan Rusak
Pusat Riset Artifisial Inteligen BRIN telah menggembangkan algoritma pengenalan pola dari foto dan video. Penggabungan hasil pengenalan pola dan model deterministik (fluid dynamics) dapat digunakan untuk lebih memahami mekanisme pembentukan dan dinamika puting beliung dengan baik.
”Kerja sama antardisiplin ilmu dan partisipasi masyarakat diharapkan mempercepat pemahaman kita tentang puting beliung sehingga deteksi dini, mitigasi, dan adaptasi dapat dilakukan,” ujarnya.