Guru Wajib Pahami Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Sekolah
Pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah, termasuk kekerasan seksual, butuh penguatan peran guru.
JAKARTA, KOMPAS — Peningkatan peran guru untuk memahami langkah-langkah tepat dalam menangani masalah kekerasan di sekolah, termasuk kekerasan seksual, semakin penting. Sebab, kasus kekerasan seksual di sekolah masih saja terjadi.
Para guru dan kepala satuan pendidikan harus memahami prosedur standar operasi (SOP) karena SOP ini akan memberikan rencana kerja dan target yang jelas kepada Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) serta Kepala Satuan Pendidikan. SOP ini juga penting untuk memberikan jaminan kepastian proses penyelesaian kasus terhadap korban, saksi, dan semua pihak yang terlibat dalam kasus kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
Ketua Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) Ardyles Faesilio yang dihubungi dari Jakarta, Senin (26/2/2024), mengatakan, para guru perlu diberi wadah untuk pembelajaran penanganan kekerasan seksual di sekolah. “Isu kekerasan seksual menjadi salah satu prioritas kami, terlebih kekerasan seksual yang melibatkan anak di sekolah, selain isu kesehatan mental. Peningkatan peran guru menjadi salah satu upaya kami memberikan edukasi terkait langkah-langkah yang tepat dalam menanganinya,” ujar Faesilio.
Kasus kekerasan seksual di sekolah yang melibatkan anak semakin meningkat. Per Agustus 2023, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat terdapat 723 kasus kekerasan yang berhubungan dengan satuan pendidikan. Dari data tersebut, 487 kasus merupakan kekerasan seksual yang melibatkan anak di sekolah.
Pada pekan lalu, KGSB bekerja sama dengan Rumah Guru Bimbingan dan Konseling, Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, dan Fakultas Psikologi Universitas Brawijaya menghadirkan webinar berjudul ”Peran Guru dalam Menangani Tindak Kekerasan Seksual pada Anak di Sekolah”. Acara diikuti 279 peserta yang terdiri dari 238 anggota KGSB dan 41 partisan non-anggota KGSB dari seluruh wilayah Indonesia, ditambah guru yang berdomisili di Timor Leste.
Widyaiswara Kemendikbudristek Ana Susanti mengatakan, guru sebagai orang yang dekat dengan siswa harus memiliki kesadaran untuk bersama-sama mencegah kekerasan seksual di lingkungan sekolah yang dimulai dengan belajar, mendalami, dan terlibat sebagai inisiator untuk mencegah kejadian. Untuk itu, perlu komitmen bersama-sama dalam menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan nyaman, dengan meningkatkan kesadaran seluruh warga sekolah.
Baca juga: Kekerasan di Sekolah Jadi Alarm Keras Dunia Pendidikan
Punya SOP
Sementara itu, Reny Rawasita Pasaribu dari STH Indonesia Jentera mengatakan, setiap jenjang pendidikan harus memiliki SOP penanganan tindak kekerasan seksual di sekolah sebagaimana dituangkan dalam Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP). “Nah di sinilah SOP menjadi sangat penting karena akan memberikan rencana kerja dan target yang jelas kepada TPPK dan Kepala Satuan Pendidikan, juga untuk memberikan jaminan kepastian proses penyelesaian kasus terhadap korban, saksi dan semua pihak yang terlibat dalam kasus kekerasan (seksual),” kata Reny.
Baca juga: Mengakhiri Kekerasan di Sekolah
Permendikbudristek PPKSP sebenarnya telah menghilangkan area ”abu-abu” dengan memberikan definisi yang jelas untuk membedakan bentuk kekerasan fisik, psikis, perundungan, kekerasan seksual, serta diskriminasi dan intoleransi untuk mendukung upaya pencegahan dan penanganan kekerasan.
Definisi kekerasan seksual sebagaimana termuat dalam Permendikbudristek PPKSP adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau jender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dan/atau pekerjaan dengan aman dan optimal.
Beberapa bentuk kekerasan seksual yang dimaksud pada ayat itu antara lain penyampaian ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas jender korban; perbuatan memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja; penyampaian ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada korban dan perbuatan menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau membuat korban merasa tidak nyaman.
Bentuk kekerasan seksual juga bisa dilakukan melalui pengiriman pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada korban; perbuatan mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual; serta perbuatan mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual dan penyebaran informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual.
Jika menemukan kasus terjadinya kekerasan seksual di lingkungan sekolah, guru bisa bertindak sebagai pendamping (bystander).
Di luar poin-poin itu, masih ada belasan bentuk kekerasan seksual yang dimuat dalam aturan tersebut termasuk (percobaan) perkosaan dan human trafficking. Selain mengatur tindakan kekerasan, Permendikbudristek PPKSP juga memastikan tidak ada kebijakan yang berpotensi menimbulkan kekerasan di satuan pendidikan. Pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan meliputi penguatan tata kelola, edukasi, serta penyediaan sarana dan prasarana.
Satuan pendidikan diminta membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Sementara penanganan kekerasan (seksual) dilakukan melalui mekanisme penerimaan laporan, pemeriksaan, penyusunan kesimpulan, dan rekomendasi, lalu tindak lanjut laporan hasil pemeriksaan dan pemulihan.
Lebih lanjut, Reny mengatakan, SOP juga akan menjadi titik tolak terbentuknya sistem pencegahan dan penanganan yang efektif, efisien, dan berperspektif korban, serta terus berkembang untuk kasus kekerasan (seksual) di lingkungan satuan pendidikan. ”Adanya SOP sekaligus menunjukkan keseriusan lingkungan pendidikan dalam penanganan kasus kekerasan (seksual) sebagai upaya jaminan (kasus) tidak berulang,” ujar Reny.
Sebagai pendamping
Ketua Unit Layanan Terpadu Kekerasan Seksual dan Pelecehan Universitas Brawijaya Ulifa Rahma mengatakan, peran guru sangat penting untuk memutus mata rantai kekerasan seksual di sekolah. Jika menemukan kasus terjadinya kekerasan seksual di lingkungan sekolah, guru bisa bertindak sebagai pendamping (bystander).
Namun, Ulifa mengingatkan, dalam peran tersebut, guru harus memegang teguh beberapa prinsip agar penyintas kekerasan seksual mendapatkan penanganan yang tepat. Hal itu antara lain, prinsip membantu korban dengan prioritas pemulihan bagi korban, melalui persetujuan korban berdasarkan informasi yang ia terima (informed consent).
Guru juga memegang prinsip membantu tanpa menghakimi. Untuk itu, guru perlu memahami reaksi tubuh korban terhadap trauma dan memahami cara merespon beragam dampak trauma yang sedang dirasakan penyintas.
“Cukup dengarkan curhat korban tanpa penghakiman dan kembalikan lagi semua keputusan kepada korban tanpa paksaan,” kata Ulifa.
Oleh karena itu, sebagai pendamping, guru harus bisa menempatkan diri pada posisi penyintas. Ia harus sensitif terhadap situasi dan kebutuhan penyintas, mampu menjangkau dan memberi dukungan, dengan mendengarkan dan akui perasaan mereka
Lebih daripada itu, guru dan pendamping juga harus memahami berbagai jenis pelecehan/kekerasan sehingga dapat mengidentifikasinya dengan lebih baik serta memahami landasan hukumnya.