Sekolah yang Fokus Nilai Ujian, Kekerasan terhadap Guru Lebih Tinggi
Sekolah yang fokus pada penguasaan pembelajaran ketimbang nilai ujian bisa mengurangi potensi kekerasan kepada guru.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan tidak hanya dilakukan oleh guru terhadap siswa, tetapi juga bisa sebaliknya. Penelitian terbaru di Ohio State University, Amerika Serikat, menyebutkan, budaya sekolah yang berfokus pada nilai ujian dikaitkan dengan kekerasan terhadap guru yang lebih tinggi.
Laporan studi ini telah dipublikasikan secara daring di Journal of School Violence pada 20 Februari 2024. Para peneliti menyurvei lebih dari 9.000 guru di AS pada saat sebelum dan selama puncak pandemi Covid-19. Survei itu terkait persepsi mereka terhadap penekanan pengajaran di sekolah.
Para guru juga melaporkan berbagai bentuk kekerasan yang pernah dialami, baik yang dilakukan siswa, orangtua, maupun kolega. Hasil riset menunjukkan, sekolah yang fokus pada nilai ujian memiliki tingkat kekerasan terhadap guru lebih tinggi.
Penulis utama studi tersebut yang juga profesor psikologi pendidikan di Ohio State University, Eric Anderman, mengatakan, peningkatan kekerasan pada guru itu meliputi kekerasan fisik dan verbal. ”Ketika fokus pada nilai dan nilai ujian, saat itulah anak-anak (siswa) bertindak melawan guru,” ujarnya dilansir dari Eurekalert.org, Senin (26/2/2024).
Survei dilakukan di wilayah pinggiran kota, pusat kota, dan perdesaan di AS dalam dua periode waktu, yaitu antara musim gugur 2019 hingga Maret 2020 serta selama tahun ajaran 2020-2021. Jenis-jenis kekerasan yang dilaporkan guru, antara lain, pelemparan benda ke arah mereka, ucapan atau gerak tubuh tidak senonoh yang ditujukan kepada mereka, dan perusakan terhadap properti pribadi.
Penilaian terhadap budaya sekolah didasarkan pada pernyataan guru. Guru yang lebih menekankan semua siswa bisa belajar mengindikasikan sekolahnya berfokus pada penguasaan pembelajaran. Sementara guru yang memperlakukan siswa dengan nilai bagus lebih baik ketimbang siswa lain menandakan sekolah tersebut lebih fokus pada kinerja dan nilai.
Para peneliti menggunakan analisis statistik untuk mencari hubungan antara budaya sekolah dan tingkat kekerasan yang ditujukan kepada guru. Riset ini juga menunjukkan kasus kekerasan tidak berhenti selama dan setelah lockdown diberlakukan akibat pandemi Covid-19.
Mendorong siswa untuk mendapatkan nilai bagus dapat menyebabkan frustrasi yang merupakan prediktor utama perilaku agresif.
Anderman mengatakan, jika sekolah hanya berfokus pada nilai, akan lebih banyak tindakan, baik oleh siswa, orangtua, maupun koleganya, yang merugikan guru. ”Namun, jika sekolah berfokus pada penguasaan pembelajaran, mendorong siswa untuk belajar sebanyak yang mereka bisa, akan semakin sedikit kekerasan yang dilakukan terhadap guru,” ucapnya.
Anderman menggambarkan, dalam budaya penguasaan pembelajaran, siswa yang membutuhkan waktu lebih lama dari teman-temannya untuk menyelesaikan persamaan matematika tidak dianggap sebagai siswa yang lebih buruk. Mendorong anak untuk terus belajar menjadi tujuan lebih besar daripada mendapatkan nilai tinggi.
”Di sisi lain, mendorong siswa untuk mendapatkan nilai bagus dapat menyebabkan frustrasi yang merupakan prediktor utama perilaku agresif. Ini adalah sesuatu yang dapat kita ubah dan tidak memerlukan banyak dana untuk melakukannya,” katanya.
Menurut Anderman, pola komunikasi guru dengan siswa juga perlu diubah untuk tidak menekankan pernyataan yang terlalu berfokus pada nilai ujian. Sebab, jauh lebih penting memotivasi anak untuk memahami pembelajaran sehingga mereka terdorong untuk terus belajar.
Andrew H Perry, rekan penulis, menyebutkan, kekerasan dilaporkan lebih sering terjadi sebelum pandemi Covid-19 dibandingkan dengan selama pandemi. Namun, sekitar 3.000 guru melaporkan mengalami setidaknya satu insiden kekerasan verbal dan ancaman.
”Temuan dari penelitian ini menunjukkan manfaat dari fokus pada penguasaan pembelajaran tidak hanya berdampak pada siswa, tetapi juga guru. Fokus lebih besar pada pembelajaran membantu meningkatkan keterlibatan siswa dan perilaku sosial untuk meningkatkan keamanan sekolah serta mengurangi eksodus besar-besaran guru dari profesinya,” jelasnya.