Kekerasan Tak Boleh Ditoleransi, Usut Tuntas Kematian Santri di Kediri
Kekerasan fisik kepada anak di dunia pendidikan harus dihentikan. Jangan ada lagi anak-anak yang menjadi korban.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus dugaan penganiayaan yang berujung tewasnya BBM (14), santri di Pondok Pesantren Al-Hanifiyyah, di Mojo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, harus diusut tuntas oleh kepolisian. Kematian siswa kelas VIII, warga Karangharjo, Kecamatan Glenmore, Banyuwangi, itu menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak untuk mencegah kekerasan terhadap anak.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bersama Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan duka mendalam atas kematian BBM dan menyayangkan berulangnya tindak kekerasan terhadap anak di lingkungan pendidikan, seperti pondok pesantren, yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.
Karena itu, budaya kekerasan terhadap anak di lembaga pendidikan apa pun, termasuk di lingkungan pendidikan yang berbasis asrama, harus dihentikan dan tidak bisa ditoleransi. Pengungkapan kasus-kasus kekerasan terhadap anak, apalagi sampai berujung pada kehilangan nyawa, harus tuntas.
”Berulangnya kekerasan di lembaga pendidikan menjadi masalah serius, apalagi hingga berdampak kematian. Lembaga pendidikan seharusnya jadi rumah aman, nyaman, dan menyenangkan buat anak, ironisnya praktik kekerasan justru banyak terjadi,” ujar Aris Adi Leksono, anggota KPAI yang mengampu klaster pendidikan, waktu luang, dan agama, di Jakarta, Kamis (29/2/2024).
Aris menegaskan, KPAI meminta Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Kediri memberikan perhatian atas peristiwa kekerasan di pesantren tersebut, serta terus mengedukasi pengarusutamaan hak anak dalam kurikulum seluruh pesantren.
Setelah kematian BBM, Pesantren Al Hanifiyyah di Mojo diketahui ternyata belum mengantongi izin dari Kantor Kemenag Kabupaten Kediri sehingga Kementerian Agama tidak bisa mengambil tindakan administratif terhadap lembaga bersangkutan. Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Kediri Achmad Faiz, Selasa (27/2/2024), membenarkan jika Al-Hanifiyyah belum berizin.
Lembaga pendidikan seharusnya jadi rumah aman, nyaman, dan menyenangkan buat anak. Ironisnya, praktik kekerasan justru banyak terjadi.
Sejumlah kasus kekerasan di pesantren terjadi antara lain pada 2022 saat terungkap kematian AM (17), santri Pondok Modern Darussalam Gontor, yang meninggal diduga akibat kekerasan. Saat itu, keluarganya meminta kematian anaknya diusut, setelah melihat kondisi jenazah korban yang dibawa ke Palembang, Sumatera Selatan.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Nahar menegaskan, pihaknya akan terus mengawal dan memantau proses hukum para tersangka dan upaya pendampingan bagi keluarga anak korban.
”Ini menjadi alarm keras bagi institusi/lembaga keagamaan berbentuk boarding school (sekolah asrama) untuk lebih memberi perlindungan kepada para santri mereka. Kami berharap tak ada lagi anak yang jadi korban akibat kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan, khususnya pesantren,” tutur Nahar.
Sebagaimana diberitakan, BBM meninggal pada Jumat (23/2/2024). Jenazahnya diantar oleh pihak pesantren ke kampung halaman. Pihak pesantren menyatakan korban meninggal akibat terpeleset di kamar mandi.
Namun, keluarga menaruh curiga sehingga memeriksa kondisi jenazah korban. Pihak keluarga mendapati ada luka lebam di tubuh korban dan sundutan benda diduga rokok di kaki korban. Kasus ini pun lantas dilaporkan ke Kepolisian Sektor (Polsek) Glenmore.
”Keluarga korban menilai ada kejanggalan terhadap penyebab kematian. Maka, dilakukan visum di Rumah Sakit Banyuwangi dan hasilnya terbukti penyebab kematian adalah karena kekerasan,” ujar Aris.
Mengenai kronologi peristiwa ini, dari koordinasi KPAI dengan Kementerian Agama terungkap, kondisi kesehatan BBM memburuk setelah mengalami kekerasan. Karena itu, pada Jumat pukul 03.00 WIB, BBM dilarikan ke RS Arga Husada Branggahan Ngadiluwih, berjarak 10 kilometer dari pesantren.
Namun, ketika sampai di RS, korban sudah meninggal. Kejadian tersebut baru dilaporkan kepada pengasuh pesantren sekitar pukul 09.00 WIB. Pada Jumat petang, pihak pesantren mengantar jenazah ke rumah keluarga korban dan tiba pada dini hari.
Atas kematian santri tersebut, KPAI menyatakan kekerasan terhadap BBM harus diusut tuntas oleh polisi karena merupakan pelanggaran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, khususnya pada perlindungan anak atas hak hidup dan tumbuh kembang, serta perlindung khusus anak korban kekerasan fisik dan psikis.
Dihubungi korban
Sebelum korban dikabarkan meninggal, menurut Nahar, dari informasi yang diperoleh Tim Pendamping Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), korban sempat menghubungi keluarga.
”Berdasarkan keterangan ibu korban, sang anak sempat menghubungi melalui pesan Whatsapp dan minta dijemput. Namun, ibu korban tidak mengiyakan permohonan itu sebab sebentar lagi korban akan libur imtihan (libur bulan Ramadhan) dan anak korban mengiyakan,” tutur Nahar.
Setelah menerima pesan anaknya, sang ibu mendapat firasat kurang baik, lalu memesan angkutan untuk menjemput anaknya. Namun, keesokan harinya korban menelepon dan mengatakan tidak perlu menjemput karena ia baik-baik saja.
Nahar mengatakan, satu dari empat tersangka yang diamankan di Kepolisian Resor Kota (Polresta) Kediri masih memiliki hubungan keluarga (saudara sepupu) dengan korban.
Dari keterangan kakak korban, para tersangka kerap iri terhadap korban sebab sering mendapat kiriman uang dari orangtuanya. Telepon genggam anak korban sering digunakan para tersangka untuk bermain gim dan lain sebagainya.
Perbuatan para tersangka diancam pidana sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman pidana penjara 3 tahun 6 bulan dan paling lama 15 tahun.
Adapun hukuman bagi pelaku yang berusia anak harus mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
”Kami akan terus memantau dan memastikan anak korban dan keluarga mendapatkan keadilan sesuai peraturan perundang-undangan yang ada. Kami pun siap memberikan bantuan pendampingan bagi keluarga korban, baik itu pendampingan secara hukum maupun psikologis,” kata Nahar menegaskan.