Generasi ”Sandwich” dan Keengganan Orang Muda Menikah
Menjadi generasi yang juga harus membiayai orangtua, generasi muda tak lagi memprioritaskan menikah dan punya anak.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, angka pernikahan di Indonesia cenderung mengalami penurunan sejak 10 tahun terakhir. Banyak alasan anak-anak muda di Indonesia saat ini yang tak lagi menjadikan pernikahan sebagai prioritas dalam hidupnya. Dari menjadi generasi sandwich karena menanggung beban keluarga sampai merasa lebih bahagia dengan hidup sendiri.
Pilihan lain, seperti tak ingin memiliki anak, juga menjadi pertimbangan sendiri bagi banyak anak muda Indonesia untuk tidak menikah. Ada pandangan bahwa pernikahan adalah fase kehidupan yang kompleks dan mereka tak ingin terbebani dengan menjalaninya.
Tilde (45), pekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat (NGO) di Jakarta, Kamis (7/3/2024), mengatakan, kesibukan bekerja untuk bertahan hidup, membantu keluarga inti dan keluarga besar, membuat mencari pasangan untuk menikah bukan lagi prioritas. Bagi Tilde, menjadi generasi sandwich karena menghidupi keluarga sudah merupakan beban tersendiri.
”Aku tahun ini masuk 45 (tahun). Jadi, dari tiga tahun ke belakang aku sudah berkontemplasi dengan segala problematika bertahan hidup manusia single di kota urban yang sama sulitnya dengan mereka yang berpasangan. Mencari-cari pasangan untuk menikah akhirnya bukan lagi prioritas,” kata Tilde.
Menurut Tilde, dia masih dibutuhkan keluarga intinya untuk memenuhi tanggungan keuangan keluarga. Dia mengatakan, saat ini ia bekerja keras selain untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, juga karena keluarga intinya masih membutuhkan bantuannya, terutama dari sisi finansial.
Selain karena menjadi generasi sandwich, pilihan untuk tidak menikah juga karena ada pertimbangan lain. Bagi Tilde, ketika hidup menyendiri bisa membuat bahagia, tidak ada alasan untuk memprioritaskan pernikahan.
Dengan statusnya yang masih lajang, Tilde bisa leluasa juga membantu keluarga intinya. Dia tidak harus diribetkan dengan izin dari pasangan ketika harus mengeluarkan uang untuk membantu keluarganya.
”Dengan status single, membuatku lebih mudah dan fleksibel membantu keluarga inti dan keluarga besar tanpa harus meminta izin dari pasangan. Bisa langsung membantu tanpa harus ada pembicaraan dengan pasangan,” jelasnya.
Tetap punya keinginan menikah
Meski demikian, dia mengatakan tetap memiliki keinginan menikah meski hal tersebut bukan menjadi prioritas hidupnya. ”Kalaupun jodoh datang saat aku berumur 50 tahun, tidak apa. Tapi kalau tidak bertemu jodoh, aku sudah memiliki strategi hidup melajang,” kata Tilde.
Menjadi generasi sandwich juga membuat pasangan yang sudah menikah harus menunda memiliki anak. Pilihan untuk membiayai keluarga membuat pasangan yang sudah menikah merasa beban keuangan mereka akan bertambah jika harus punya anak.
Agnes (31), seorang karyawan swasta, mengaku punya kekhawatiran jika ia dan suaminya punya anak karena hal tersebut berarti juga beban keuangan keluarga akan bertambah. Ia mengatakan, setelah menikah pada Agustus 2019, ia dan suami sempat menunda punya momongan.
”Tahun ini kami sudah membuka opsi punya anak. Tapi, juga tidak yang ngoyo, kami bawa santai,” kata Agnes.
Ia beralasan, dari sisi spiritual, dia sudah merasa cukup bahagia dengan hanya hidup berdua bersama suami. Namun, di sisi lain, Agnes punya kekhawatiran dari aspek finansial.
Aku sudah berkontemplasi dengan segala problematika bertahan hidup manusia single di kota urban yang sama sulitnya dengan mereka yang berpasangan.
Meski memiliki pekerjaan bagus dengan pendapatan baik, dan secara finansial bisa dikatakan stabil, Agnes tetap harus membantu membiayai kedua orangtua dan ibu mertuanya. ”Itu sebabnya, aku belum bisa melihat kalau ketambahan anak, bagaimana dengan orangtuaku dan urusan dua rumah ini?” katanya.
Terjebak sebagai generasi sandwich, Agnes mengatakan, ia memiliki banyak hal yang harus dipikirkan. ”Namun, karena sudah membuka opsi untuk punya momongan, meski tidak ngoyo, aku sebisa mungkin ingin menyiapkan diri baik secara mental maupun finansial,” katanya.
Generasi sandwich merupakan generasi berbeban ganda. Mereka merupakan kelompok masyarakat usia produktif yang memikul beban ekonomi generasi sebelumnya, sekaligus anak dan keluarga mereka.
Tak hanya di Indonesia
Fenomena keengganan menikah sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia. Negara-negara lain juga mengalami fenomena serupa. Kaum muda di Singapura saat ini dilaporkan banyak yang menganggap pernikahan dan menjadi orangtua bukan lagi hal yang penting.
Dampaknya, pada 2023 Singapura mencatatkan angka kelahiran total terendah dalam sejarah. Pada 2023, angka kelahiran total ada di bawah 1, tepatnya 0,97. Sementara pada 2019, angka kelahiran total di Singapura masih 1,14.
Mengutip kantor berita Korea Selatan, Yonhap, Rabu (28/2/2024), angka kelahiran total di ”Negeri Ginseng” itu turun tajam. Pada 2023 angka kelahiran total tercatat 0,72, sementara pada 2022 tercatat 0,78. Angka ini turun jauh jika dibandingkan dengan angka kelahiran total pada 2015 yang sebesar 1,24.
Menurut Yonhap, rendahnya angka kelahiran total itu karena rendahnya angka pernikahan di Korea Selatan. Negara itu tengah menghadapi perubahandemografi di mana generasi muda banyak yang memilih menunda atau enggan menikah atau enggan memiliki bayi.
Perubahan itu seiring sejalan dengan perubahan norma sosial dan gaya hidup di sana. Selain juga karena alasan lain, tingginya harga perumahan, sulitnya mencari pekerjaan, dan perlambatan pertumbuhan ekonomi.