Perbedaan metode penentuan awal Ramadhan bukan sesuatu yang baru di Indonesia. Hal itu tidak perlu dipermasalahkan.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Agama meminta masyarakat untuk saling menghormati dalam menyikapi perbedaan awal puasaRamadhan 1445 Hijriah yang diperkirakan jatuh pada 11 atau 12 Maret 2024. Perbedaan awal Ramadhan ini bukan hal baru di Indonesia sehingga tidak perlu dipermasalahkan.
Sebagaimana diketahui, Majelis Tarjih Pengurus Pusat Muhammadiyah sudah mengumumkan awal puasa Ramadhan jatuh pada Senin, 11 Maret 2024.
Ada pula kelompok jemaah, seperti jemaah Masjid Aolia di Gunungkidul, DI Yogyakarta, yang sudah mulai puasa pada Kamis, 7 Maret, dan jemaah Tarekat Naqsabandiyah Al-Kholidiyah Jalaliyah di Sumatera Utara yang akan mulai Ramadhan pada Minggu, 10 Maret 2024.
Sementara itu, pemerintah baru akan menggelar sidang isbat awal Ramadhan 1445 H pada Minggu, 10 Maret 2024. Sidang ini akan memutuskan apakah puasa Ramadhan tahun ini akan dimulai pada 11 atau 12 Maret 2024.
Volume pengeras suara harus diatur sesuai dengan kebutuhan dan paling besar 100 dB (desibel).
Juru Bicara Kementerian Agama Anna Hasbie menuturkan, perbedaan pandangan ini tidak perlu menjadi masalah di masyarakat. Dialog para pihak juga patut dikedepankan untuk bisa memahami dan saling berbagi informasi terkait argumentasi masing-masing dalam mengawali ibadah puasa.
”Kita hormati pilihan dan keyakinan umat Islam dalam mengawali puasa Ramadhan 1445 Hijriah atau 2024 Masehi. Sikap saling menghormati perlu dikedepankan dalam menyikapi perbedaan,” kata Anna, dalam keterangan pers, di Jakarta, Jumat (8/3/2024).
Anna menjelaskan, ilmu pengetahuan yang semakin maju dan berkembang membuat perbedaan memungkinkan, termasuk terkait astronomi. Penentuan awal bulan Hijriyah bisa didekati secara empiris melalui hisab dan atau rukyatul hilal, tidak berdasarkan keyakinan spiritual semata, sehingga argumentasinya juga ilmiah.
Muhammadiyah, misalnya, menetapkan Ramadhan pada 11 Maret karena argumentasi hisab wujudul hilal. Pemerintah menggunakan pendekatan hisab sebagai informasi awal dan rukyatul hilal sebagai konfirmasi.
”Kemenag terus membuka ruang dialog dan diskusi terkait penentuan awal Ramadhan. Dari situ diharapkan akan terjadi proses tukar informasi dan pemahaman terkait pilihan dalam mengawali puasa Ramadhan,” ucapnya.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Astronomi, Thomas Djamaludin, menjelaskan, penerapan kriteria hilal baru yang disepakati Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) sejak tahun 2021 berdampak pada perubahan dalam perhitungan dan penetapan awal bulan Hijriah. Kriteria hilal sekarang ditentukan pada ketinggian hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat.
Perubahan ini berpengaruh pada rukyat (pengamatan) dan hisab (perhitungan) karena secara astronomi dinilai setara dalam penentuan awal bulan Hijriah. Dengan demikian, tidak ada dikotomi antara rukyat dan hisab.
Kemenag terus membuka ruang dialog dan diskusi terkait penentuan awal Ramadhan. Dari situ diharapkan akan terjadi proses tukar informasi dan pemahaman terkait pilihan dalam mengawali puasa Ramadhan.
”Metode rukyat hilal diterapkan pada 29 Hijriah untuk melaksanakan contoh Rasul (ta’abudi). Agar rukyat akurat, arahnya dibantu hasil hisab. Hisab bisa untuk membuat kalender sampai waktu panjang di masa depan. Agar hisab merujuk contoh Rasul, kriterianya dibuat sesuai hasil rukyat jangka panjang, berupa data visibilitas hilal atau imkan rukyat (kemungkinan bisa dirukyat),” papar Thomas.
Menurut Thomas, penerapan rukyat dan hisab bisa dipersatukan dengan kriteria visibilitas hilal atau imkan rukyat. Terjadinya perbedaan awal bulan Hijriah, seperti Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, bukan karena perbedaaan antara metode hisab dan rukyat, melainkan karena perbedaan kriteria hilal.
Selain itu, wacana hisab-rukyat dalam dunia Islam telah terjadi shifting paradigm (pergeseran paradigma). Dulu hanya berkutat pada dalil-dalil hisab rukyat beserta interpretasinya, tetapi kini sudah bergeser ke arah pembahasan unifikasi kalender global.
Pengeras suara masjid
Anna juga mengingatkan umat Islam agar mengisi syiar Ramadhan dengan tetap menjaga kekhusyukan dan kekhidmatan. Ikhtiar yang bisa dilakukan adalah dengan memedomani Surat Edaran Menteri Agama Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushala.
Sebagai contoh, volume pengeras suara diatur sesuai dengan kebutuhan dan paling besar 100 dB (desibel). ”Edaran juga mengatur bahwa penggunaan pengeras suara di bulan Ramadan, baik dalam pelaksanaan shalat Tarawih, ceramah atau kajian Ramadhan, dan tadarus Al Quran menggunakan pengeras suara dalam,” tutur Anna.
Sementara untuk takbir Idul Fitri di masjid atau mushala dapat dilakukan dengan menggunakan pengeras suara sampai dengan pukul 22.00 waktu setempat dan dapat dilanjutkan dengan pengeras suara dalam.