Di Balik Nikmatnya Gorengan dan Es Buah sebagai Menu Takjil
Gorengan dan makanan manis memang nikmat disantap, sebagai menu takjil. Namun, hati-hati dengan risiko kesehatannya.
JAKARTA, KOMPAS — Takjil menjadi primadona pada masa puasa seperti saat ini. Ramai menjadi perbincangan di media sosial, takjil bahkan tidak hanya diperebutkan oleh masyarakat Muslim, tetapi juga non-Muslim.
Banyak menu yang biasanya tidak dijual mendadak muncul sebagai jajanan takjil. Banyak pula penjual musiman yang berjualan takjil di pinggir jalanan atau di sekitar lingkungan tempat tinggal.
Biasanya, berbagai jenis gorengan, mulai dari bakwan, tempe goreng, tahu isi, martabak, dan risoles, dijual sebagai menu takjil. Tidak hanya itu, ada juga kolak, es buah, macam-macam bubur manis, es blewah, dan es timun suri yang berjejer di lapak penjual takjil.
Menu-menu itulah yang paling sering dibeli sebagai menu takjil atau kudapan yang dimakan sesaat setelah waktu berbuka puasa.
Namun, sekalipun mengonsumsi gorengan dan es buah nikmat disantap sebagai menu takjil, sebaiknya itu tidak dikonsumsi terlalu sering dan terlalu banyak. Makanan yang tinggi gula, garam, dan lemak bisa berdampak buruk bagi kesehatan jika dikonsumsi terlalu banyak dan terlalu sering.
Dokter spesialis gizi dari Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre, Ardian Pramesti, dihubungi di Jakarta, Minggu (17/3/2024), menuturkan, mengonsumsi gorengan serta makanan manis, seperti kolak, tidak dilarang sebagai santapan takjil. Namun, masyarakat diharapkan bisa bijak mengonsumsinya.
Minuman manis, seperti kolak dan biji salak, disarankan cukup dikonsumsi 2-3 kali seminggu. Selain gula yang terkandung di dalam makanan tersebut cukup tinggi, santan yang digunakan sebagai campuran turut menyumbang jumlah kalori yang besar.
”Berbuka dengan yang manis memang dianjurkan, tetapi pilihlah makanan manis dengan kadar gula darah atau indeks glikemik rendah-sedang, seperti buah potong ataupun kurma. Buah selain mengandung serat, vitamin, dan mineral, juga mengandung air. Kurma pun meski tinggi gula, tetapi juga tinggi serat,” kata Ardian.
Baca juga: Pilihan Menu Berbuka dari Berbagai Negara
Dalam jangka pendek, konsumsi makanan dengan tinggi gula bisa memicu kenaikan berat badan. Selain itu, makanan yang mengandung tinggi gula juga berisiko menyebabkan terjadinya kenaikan gula darah dalam tubuh.
Sesuai sunah, berbuka dengan yang manis memang dianjurkan, tetapi pilihlah makanan manis dengan kadar gula darah atau indeks glikemik yang rendah-sedang. Itu seperti buah potong ataupun kurma.
Selain makanan yang manis, warga juga diimbau agar membatasi konsumsi gorengan sebagai menu takjil. Gorengan mengandung kadar lemak tinggi sehingga juga bisa menyebabkan kenaikan berat badan. Selain itu, konsumsi gorengan yang terlalu banyak bisa meningkatkan kadar kolesterol pada tubuh.
Merujuk pada rekomendasi batasan konsumsi lemak dari Kementerian Kesehatan, konsumsi lemak perlu dibatasi hanya lima sendok makan per hari. ”Jika dalam satu sendok makan terdapat satu potong gorengan yang kita konsumsi, sebaiknya cukup 1-2 potong gorengan saja per hari. Itu karena lemak dari minyak juga bisa terdapat di lauk yang kita konsumsi,” ujar Ardian.
Konsumsi gorengan sebagai menu takjil tidak disarankan pada seseorang yang memiliki gangguan gastritis atau penyakit maag. Asupan makanan tinggi lemak dapat meningkatkan asam lambung sehingga berisiko menyebabkan terjadinya GERD (gastroesophageal reflux disease) pada seseorang yang memiliki masalah pencernaan.
Bagi seseorang dengan masalah pencernaan disarankan pula untuk memilih makanan sebagai takjil atau menu berbuka yang tidak terlalu asam dan tidak terlalu pedas. Sebaiknya, hindari pula minuman berkarbonasi karena bisa memperburuk gangguan pencernaan yang dimiliki.
Baca juga: Berbukalah dengan yang Manis, Jangan yang Manis-manis
Ardian menyarankan agar warga memberi waktu jeda antara santapan takjil dan makan berat. ”Sesuai sosiologi tubuh, hormon kenyang diproduksi selama 10 menit setelah asupan makanan masuk ke tubuh. Jadi, beri jeda sekitar 10 menit untuk makan makanan berat. Harapannya, kita tak terlalu banyak makan. Selain itu, sebaiknya makan besar tidak kurang dari tiga jam sebelum tidur,” ujarnya.
Diabetes
Secara terpisah, dokter penyakit dalam Subspesialis Endokrinologi Metabolik dan Diabetes Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo, Wismandari Wisnu, dalam seminar daring yang diadakan Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Senin (11/3/2024), menuturkan, pasien diabetes perlu memperhatikan kondisi kesehatannya sebelum memutuskan untuk berpuasa.
Pasien diabetes sebenarnya tetap bisa berpuasa, tetapi harus ada pemantauan kesehatan yang dilakukan terlebih dahulu.
Berbagai perubahan yang terjadi saat seseorang berpuasa dapat berpengaruh pada kondisi diabetes yang dialami, misalnya perubahan hormon, perubahan pola makan, pola tidur, keseimbangan cairan, serta perubahan gula darah. Risiko komplikasi bisa terjadi jika pasien diabetes tidak menjalani pemeriksaan kesehatan lebih dulu.
”Penilaian risiko komplikasi diabetes melitus sebaiknya dilakukan sebelum berpuasa sekitar 6-8 minggu atau paling tidak satu bulan sebelum berpuasa. Penilaian ini harus dilakukan dokter. Jika dari hasil penilaian menunjukkan risiko rendah, pasien diabetes bisa berpuasa. Namun, jika berisiko sedang sampai tinggi, sebaiknya tak berpuasa karena berisiko mengalami komplikasi,” ujarnya.
Wismandari menuturkan, bagi pasien diabetes yang tetap ingin berpuasa harus dipantau kondisi kesehatannya secara ketat oleh tenaga medis. Pemantauan perlu dilakukan secara mandiri. Pemeriksaan gula darah saat berpuasa tak berarti membatalkan puasa.
Baca juga: Olahraga Apa yang Cocok Dilakukan Saat Puasa Ramadhan?
”Namun, jika dalam pemeriksaan gula darah kurang dari 70 (miligram per desiliter) yang menandakan gula darah terlalu rendah ataupun gula darah lebih dari 300 (mg/dL) yang menandakan gula darah tinggi, pasien harus membatalkan puasanya. Selain itu, batalkan puasa jika ada gejala komplikasi, seperti nyeri kepala, keringat dingin, sulit konsentrasi, dan gemetar,” ujarnya.