Belajar dari Pandemi, Pemulihan Pendidikan Mesti Fokus pada Kualitas dan Relevansi
Krisis pembelajaran dan pandemi membuat pendidikan terpuruk. Transformasi pendidikan mesti berkualitas dan relevan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·3 menit baca
Pada 2 Maret 2020 Presiden Joko Widodo secara resmi mengumumkan kasus pertama Covid-19. Pandemi Covid-19 yang mudah merebak saat masyarakat berkerumun berdampak pada keputusan untuk menutup sekolah. Demi keselamatan nyawa semua warga sekolah, pemerintah menginstruksikan belajar dari rumah selama delapan bulan dan tatap muka terbatas selama 17 bulan. Memasuki April 2022, belajar tatap muka baru dibuka 100 persen.
Pandemi Covid-19 menghasilkan kesenjangan belajar (learning gap) dan kehilangan belajar (learning loss) yang tinggi. Pembelajaran selama 12 bulan saat penutupan sekolah di masa pandemi hanya efektif 5-6 bulan sebelum pandemi sehingga terjadi penurunan hasil belajar siswa. Kesenjangan hasil belajar ini semakin besar dialami oleh kelompok sosial ekonomi yang rentan, seperti anak-anak di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T); keluarga miskin; serta kelompok disabilitas.
Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 atau Program Penilaian Pelajar Internasional untuk usia 15 tahun secara global yang dirilis tahun lalu menunjukkan penurunan hasil belajar di banyak negara, termasuk Indonesia. Bagi Indonesia, hasil PISA 2022 membuat hasil pendidikan kembali seperti di awal-awal Indonesia ikut penilaian hasil belajar di bidang matematika, membaca, dan sains. Meskipun demikian, sistem pendidikan Indonesia di masa pandemi dinilai tangguh karena penurunanannya tidak sedrastis negara lain.
Kini, empat tahun setelah pandemi Covid-19, pendidikan Indonesia terus berupaya menemukan masalah dasarnya dan mencari cara yang tepat untuk keluar dari belitan ketertinggalan pendidikan. Indonesia yang menghadapi krisis pembelajaran jauh sebelum pandemi Covid-19, hingga Minggu (17/3/2024) menjadikan krisis pembelajaran di masa pandemi sebagai peluang untuk mentransformasi pendidikan lewat kebijakan dan gerakan Merdeka Belajar, mulai dari jenjang pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mengatakan, pemulihan pendidikan di Indonesia akibat pandemi lebih cepat dan mulai memberikan hasil. Di masa pandemi, kebijakan darurat pemberian kuota internet bagi siswa dan guru membantu sekolah untuk tetap menjalankan pembelajaran. Pemanfaatan teknologi digital bagi guru juga mulai dikuatkan, termasuk fleksibilitas penggunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS) sesuai kebutuhan sekolah.
Uji coba Kurikulum Darurat diklaim Kemendikbudristek menawarkan pendalaman materi, bukan sekadar banyaknya materi. Hal ini membuat learning loss lebih sedikit.
Dari sinilah muncul keyakinan perlunya mentransformasi kurikulum nasional yang sarat materi agar guru tidak mengajar dengan sistem kejar tayang, tetapi siswa tertinggal. Kurikulum Merdeka disiapkan sebagai kurikulum nasional mulai tahun ajaran 2024/2025, tetapi sejak dua tahun sebelumnya sudah dilaksanakan sebagai pilihan kurikulum sukarela bagi sekolah.
Fokus pada kualitas
Nadiem yakin transformasi pendidikan dengan semangat Merdeka Belajar membuat pendidikan Indonesia berfokus pada kualitas dan relevan. Di pendidikan tinggi, Merdeka Belajar Kampus Merdeka membuat daya saing lulusan perguruan tinggi mulai meningkat dan relevan dengan perubahan di dunia kerja.
Menurut Nadiem, krisis pembelajaran karena banyak sekolah yang tidak fokus pada pembelajaran tapi administrasi kurikulum mulai terurai. Ada program sekolah penggerak dan guru penggerak yang diyakini membawa paradigma baru pendidikan yang membuat sekolah dan guru lebih otonom dan fleksibel mendesain pembelajaran sesuai konteks dan kebutuhan.
Para guru mulai dibawa pada budaya pembelajaran yang lebih berfokus pada siswa, bukan materi. Pengajaran lebih berfokus pada siswa yang tertinggal, berbasis proyek untuk mengatasi permasalahan di lingkungan sekitar sambil memperkuat nilai-nilai karakter Pancasila, membangun kolaborasi, hingga transformasi digital.
Sementara itu, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Kemendikbudristek, Anindito Aditomo mengatakan, pemulihan pembelajaran akibat pandemi sudah membuahkan hasil. Hal ini terlihat dari hasil Asesmen Nasional (AN) Tahun 2021-2023 yang menunjukkan perbaikan di sisi literasi dan numerasi. Perbaikan signifikan terlihat pada sekolah yang menyederhanakan materi pembelajaran dengan memilih Kurikulum Darurat ataupun Kurikulum Merdeka Belajar, bahkan lompatannya bisa 2-3 kali lipat.
”Sekolah kini punya acuan untuk melakukan perbaikan yang berfokus pada kualitas. AN yang mengevaluasi hasil belajar dan lingkungan belajar menjadi umpan balik atau feedback yang rinci untuk tiap sekolah dan daerah sehingga perencanaan perbaikan sekolah menjadi efektif,” kata Anindito.
Minim dialog terbuka
Berbagai kemajuan pendidikan diakui ada. Namun, sikap Kemendikbudristek di era Nadiem yang sering kali ”tertutup” berdialog secara terbuka dalam menyiapkan berbagai program dan kebijakan terus dikritik.
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru Satriwan Salim mengatakan, pihaknya bukan tidak mengakui berbagai niat perbaikan lewat program dan kebijakan yang dilakukan hingga saat ini. Namun, masih banyak kebijakan yang dinilai belum tepat.
Berbagai kemajuan pendidikan diakui ada. Namun, sikap Kemendikbudristek di era Nadiem yang sering kali ’tertutup’ berdialog secara terbuka dalam menyiapkan berbagai program dan kebijakan terus dikritik.
Pendekatan pada peningkatan mutu guru lewat guru penggerak, misalnya, dinilai tidak inklusif. Upaya peningkatan kualitas guru lewat pendidikan dan pelatihan di Platform Merdeka Mengajar (PMM), ujar Satriwan, hanya mengalihkan beban administrasi guru ke platform digital.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Barisan Pengkaji Pendidikan (Bajik) Dhitta Puti Sarasvati menilai kelayakan Kurikulum Merdeka menjadi kurikulum nasional tahun 2024 untuk menggantikan Kurikulum 2013 dipertanyakan. Kurikulum Merdeka dinilai masih compang-camping dan terdapat sejumlah kelemahan yang harus diperbaiki.
Terkait transformasi pendidikan Indonesia yang harus bergeser ke kualitas, Direktur Riset, Program Research on Improving System of Education (RISE) Profesor Lant Pritchett mengingatkan, pemerintah harus berani fokus pada hal esensial dan tidak muluk-muluk, serta berkelanjutan. Ada lima aksi yang harus serius dilakukan yang meliputi komitmen pada fondasi belajar, mengukur pembelajaran untuk memberikan umpan balik, menyelaraskan sistem, mendukung pengajaran, serta mengadaptasi kebijakan dan praktik guna mencapai kemajuan berkelanjutan sesuai konteks lokal.