Orangtua Diajak Peduli soal Kekerasan hingga Pemakaian Internet pada Anak
Orangtua agar aktif terlibat dalam pendidikan anak, seperti memberi perhatian pada isu kekerasan dan pemakaian internet.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelibatan orangtua untuk mewujudkan lingkungan sekolah aman dan nyaman diakui kian penting. Upaya serius dunia pendidikan mencegah dan menangani berbagai kekerasan seperti kekerasan seksual dan perundungan, intoleransi, serta membantu anak menggunakan teknologi digital secara aman dan sehat butuh kolaborasi yang kuat dari satuan pendidikan dan keluarga.
Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Chatarina Muliana Girsang, Senin (18/3/2024), di Jakarta, mengatakan, komitmen untuk secara serius menangani berbagai kekerasan di satuan pendidikan diwujudkan dengan terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP).
Tujuan peraturan ini agar seluruh lapisan masyarakat, termasuk orangtua siswa, dapat terlibat dalam melakukan pencegahan kekerasan dan proses penanganan dapat dilakukan tanpa berpihak pada kepentingan golongan. Chatarina memaparkan, dalam Permendikbudristek PPKSP ada tiga aspek yang menjadi tugas utama sekolah, pemerintah daerah, dan Kemendikbudristek untuk mencegah kekerasan, yaitu penguatan tata kelola, edukasi, dan penyediaan sarana prasarana.
”Para orangtua yang anaknya ada di sekolah bisa melihat apakah sekolah mereka sudah memiliki dan melaksanakan tiga kewajiban tersebut. Selain itu, perwakilan orangtua juga dapat bergabung menjadi anggota Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK),” papar Chatarina.
Dalam webinar bertajuk ”Peran Dharma Wanita Persatuan dalam Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan” yang digelar Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikbudristek bersama Dharma Wanita Persatuan (DWP), pekan lalu, psikolog anak Mario Manuhutu mengatakan, upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak penting dilakukan karena berdampak pada tumbuh kembang anak. Kekerasan yang dialami anak-anak, baik fisik, psikis, maupun seksual, akan berdampak pada perkembangan otak yang tidak optimal.
”Kalau pikirannya terus dipenuhi rasa takut, anak pun tidak akan bisa belajar. Tak hanya itu, trauma ini pun akan dirasakan hingga mereka dewasa,” ujar Mario.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek Suharti mengatakan, saat ini sudah lebih dari 369.000 satuan pendidikan di semua jenjang membentuk TPPK. Selain itu, di level pemerintah daerah, sebanyak 20 provinsi dan 314 kabupaten/kota telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) PPKSP. Ditekankannya, tujuan program ini tidak sebatas membentuk TPPK dan Satgas PPKSP, tetapi juga memastikan mereka bekerja untuk membina, memantau, dan memastikan tindak lanjut terhadap tindak kekerasan yang terjadi.
”Tim ini adalah garda terdepan. Dengan demikian, ketika terjadi kekerasan, masyarakat, khususnya orangtua siswa, tahu kepada siapa mereka harus melapor,” kata Suharti.
Bijak di era digital
Terkait penggunaan internet atau teknologi digital oleh anak, peran orangtua dalam mendampingi dan mengawasi anak-anak di dunia maya juga diyakini kian penting. Namun, di satu sisi ada keinginan orangtua membatasi penggunaan gawai oleh anak dan di sekolah justru penggunaan gawai untuk belajar dan mengerjakan tugas makin intens.
Kolaborasi para guru dan orangtua untuk menyiapkan anak menjadi pengguna gawai yang bijak dan beretika beberapa waktu lalu dibahas dalam webinar bertajuk ”Menjadi Orangtua Bijak di Era Digital”, kolaborasi Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbudristek dan Dharma Wanita Persatuan.
Kita sebagai orangtua punya wewenang dan tanggung jawab untuk membatasi, berdialog, dan memberikan pengertian dalam pemakaian gawai pada anak-anak kita.
Duta Teknologi Kemendikbudristek dan Kreator Konten Pendidikan, yang juga guru, Eka Nurviana Fatmawati mengatakan, internet seumpama lautan atau samudra luas. Dengan bekal literasi digital bagi siswa, pendidikan, ataupun orangtua, seumpama memberikan keterampilan berenang, menyelam, atau berlayar dengan aman dan efektif sehingga tidak terjerumus pada hak-hal berbahaya.
”Kita jadi mampu membaca peta, kompas, dan menghindari bahaya di lautan dunia maya sehingga bisa menjadi warganet atau netizen cerdas dan beretika dalam menggunakan teknologi dan berkomuniaksi secara digital,” kata Eka.
Menurut Eka, sebagai pendidik, dirinya mengoptimalkan pemanfaatan teknologi digital sebagai media pembelajaran di kelas. Semua siswa di kelasnya memiliki gawai. Gawai digunakan sebagai media pembelajaran untuk memudahkan pemahaman siswa saat belajar tentang konsep yang tidak kasatmata. Hal itu misalnya dengan memanfaatkan augmented reality dan 3 dimensi. Demikian juga mudah mengakses kamus daring saat dibutuhkan dalam pembelajaran.
”Murid kelas IV SD di kelas saya rata-rata sudah punya akun media sosial atau medsos Tiktok dan siswa punya gawai sendiri. Jadi, peran pendidik dan orangtua untuk bekerja sama. Penguatan literasi digital juga dilakukan di sekolah dan orangtua di rumah juga perlu mengawasi dengan dan pendampingan agar pemanfaatan internet sesuai dengan usia anak,” kata Eka.
Ifa Misbach, trainer Implementasi Human Design Thinking Pendidikan Karakter untuk Guru dan Kepala Sekolah, mengatakan, di era digital ini penting untuk membangun ketahanan keluarga menghadapi teknologi digital. ”Jika di zaman dulu, orangtua suka menasihati: jaga lisanmu, kini harus ditambahkan dengan: jaga lisanmu dan jempolmu supaya tidak menjadi penyebar hoaks. Di era digital ini penting untuk membantu anak dapat mengontrol diri, mengatur, dan mengolah refleks,” katanya.
Bagi orangtua, ujar Ifa, perlu untuk membuat kesepakatan dengan anak terkait penggunaan gawai. Lebih baik memberikan waktu yang cukup lama, tapi tidak ada ruang menawar bagi anak saat jatah penggunaan gawai habis.
”Anak ini ada saraf mirroring/cermin. Artinya, untuk mendisiplinkan anak dalam menggunakan gawai, orangtua di rumah harus jadi contoh. Internet itu bisa membuat kecanduan, karena itu menggunakan secara bijak dimulai dari teladan orangtua,” ujar Ifa, dosen psikologi pendidikan di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Sementara itu, Ketua Umum Dharma Wanita Persatuan Franka Makarim mengatakan, orangtua sekaligus pendidik anak di rumah terkait dalam penggunaan digital untuk pendidikan. Sebab, peran teknologi tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-sehari di rumah ataupun di sekolah.
”Tidak bisa lagi menghindari pemakaian teknologi. Namun, kita sebagai orangtua punya wenenang dan tanggung jawab untuk membatasi, berdialog, dan memberikan pengertian dalam pemakaian gawai pada anak-anak kita,” ujarnya.
Sebagai ibu dari tiga putri, ujar Franka, dirinya masih perlu banyak belajar. Setiap hari dirinya belajar teori pengasuhan, termasuk dalam penggunaan gawai.
Literasi digital bagi orangtua juga dibutuhkan agar mereka semakin kritis memilah apa yang boleh dan tepat diberikan terhadap berbagai alat pengaman yang dapat menjaga keamanan anak di dunia maya. Hal itu seperti memanfaatkan fitur kontrol orangtua (parental control) di gawai serta mengevaluasi waktu pemakaian gawai sehari-hari. Orangtua harus belajar mengunci konten yang tidak tepat untuk umur anak.
”Tapi yang terpenting lagi bagaimana cara berkomuniaksi mengenai hal-hal ini dengan anak-anak di rumah. Orangtua perlu berhati-hati ketika bilang tidak karena anak butuh dijelaskan secara baik. Mereka kita harapkan kritis, kita pun sebagai orangtua harus bisa menjelaskan tentang mengapa baik atau tidak baik sehingga mereka mengerti,” ujar Franka.
Franka mengajak para pendidik dan orangtua yang belum paham literasi digital mau belajar. ”Jangan ketinggalan supaya tetap relevan saat berkomunikasi dengan anak dan juga memahami peran teknologi digital dalam pendidikan,” katanya.