Aplikasi e-voting dari BRIN sudah diterapkan dalam pilkades pada lebih dari 1.700 desa, perlu diperluas penggunaannya.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejak 2010, perekayasa dari Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN mengembangkan aplikasi untuk pemilu elektronik. Aplikasi ini sudah digunakan dalam pemilihan kepala desa pada lebih dari 1.700 desa.
Aplikasi pemilu elektronik atau e-voting dari BRIN dikembangkan sejak 2010, tetapi baru diimplementasikan pertama kali untuk pilkades di Kabupaten Boyolali pada 2013. Sejak saat itu sampai 2023, tercatat e-voting telah diimplementasikan untuk pilkades pada lebih dari 1.700 desa yang tersebar di 27 kabupaten dan 15 provinsi serta melibatkan 4 juta pemilih.
Pemanfaatan ini disebut sebagai yang terbesar di sejumlah daerah. Penggunaan aplikasi yang juga diklaim efisien dari sisi waktu hingga biaya didorong untuk diperluas pemanfaatannya pada pemilihan presiden dan legislatif ke depan.
Ketua Tim Pencipta Aplikasi Pemilu Elektronik BRIN Andrari Grahitandaru menyampaikan, pengembangan e-voting diawali dengan uji materi tentang aturan pemilihan umum ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dari hasil uji materi, MK memutuskan bahwa pemilu dengan cara menyentuh panel komputer sama dengan metode konvensional coblos atau contreng.
”Dengan demikian, saat ini pemilu Indonesia sudah bisa menggunakan e-voting, tetapi baru di tingkat pilkades,” katanya dalam penandatanganan perjanjian lisensi hak cipta e-voting dengan PT Inti Konten Indonesia di Gedung BJ Habibie, Kantor BRIN, Jakarta, Selasa (19/3/2024).
Sementara untuk pemilu presiden dan legislatif yang seharusnya sudah diakomodasikan dalam Undang-Undang Pemilu menjadi batal. Itu setelah panitia khusus melakukan studi banding ke luar negeri.
Meski belum ada payung hukum untuk pemilu presiden dan legislatif, Andrari menyebut bahwa telah dibangun ekosistem pemilu elektronik di Indonesia. Para penyelenggara pemilu, termasuk Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), juga sudah dilibatkan dalam membangun ekosistem pemilu elektronik ini.
Aplikasi e-voting kemudian diimplementasikan untuk pilkades karena selama ini pemilihan di tingkat paling bawah tersebut kerap menemui masalah terkait banyaknya surat suara tidak sah. Bahkan, dalam pilkades banyak ditemui jumlah surat suara tidak sah lebih besar dari perolehan suara calon kepala desa tersebut.
Proses pilkades dengan aplikasi e-voting dilakukan dengan sangat sederhana. Penyelenggara pilkades hanya perlu menyediakan mesin atau komputer layar sentuh yang sudah terdapat aplikasi e-voting. Kemudian, pemilih langsung menentukan pilihan dengan cara menyentuh atau mengklik pilihannya di layar tersebut dan hasilnya akan langsung terenkripsi.
”Prosesnya hanya dua kali sentuh. Pertama, pemilih menyentuh layar untuk menentukan calon pilihannya. Kedua, akan ada layar konfirmasi yang menampilkan pilihan ya atau tidak. Pilihan masih bisa terus diubah bila mereka belum menyentuh layar konfirmasi,” tuturnya.
Setelah selesai memilih, mesin akan langsung mencetak struk bukti pemilihan atau audit. Struk tersebut kemudian akan diperiksa oleh petugas dan dimasukkan ke kotak audit. Struk tersebut menjadi bukti hukum manual ketika nantinya terdapat sengketa pilkades.
”Kami juga mendesain untuk pilkada, yakni selama proses pemungutan suara, sistem tidak terkoneksi ke jaringan apa pun sehingga datanya akan aman. Jadi, setelah selesai, hasilnya akan langsung tercetak dan bisa terkirim ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai penyelenggara pemilu,” ucapnya.
Menghemat anggaran
Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Daerah Kemendagri Paudah mengatakan, proses pilkades dilakukan dengan cukup rumit meskipun eskalasinya tidak sebesar pilkada ataupun pilpres. Melalui e-voting ini pun dapat memberikan transparansi dan akuntabilitas proses pemilu karena hasilnya jauh lebih bisa dipertanggungjawabkan.
Proses verifikasi melalui e-voting mudah dan tidak panjang serta hasilnya cukup akurat. ”Kita cukup terbantu dengan adanya e-voting, terutama dari aspek anggaran. Kita tahu meskipun eskalasinya kecil, anggaran yang dibutuhkan untuk pilkades cukup besar,” katanya.
Selain itu, kata Paudah, dengan e-voting masyarakat juga akan semakin diyakinkan dalam proses demokrasi di Indonesia karena hasil pilihannya dapat langsung diketahui dengan akurat sekaligus mengurangi potensi golongan putih (golput). Ke depan, ia berharap penggunaan e-voting bisa diimplementasikan ke tingkat pilkada kabupaten/kota.
Direktur Utama PT Inti Konten Indonesia Rizqi Ayunda Pratama memperkirakan, penghematan anggaran melalui peralihan proses pilkades dari metode konvensional e-voting mencapai 50-60 persen. Hal sama yang diperkirakan akan terjadi bila pilkada untuk memilih bupati/wali kota dan gubernur bisa beralih menggunakan e-voting.
”Proses pengadaan mesin dan aplikasi e-voting cukup murah, yakni untuk sewa satu setnya di katalog elektronik mencapai Rp 14 juta. Nantinya ini sudah termasuk pelatihan dan pendampingan langsung dari tim PT Inti Konten bersama BRIN,” ucapnya.