Makan Siang di Sekolah dengan Pangan Lokal
Makan siang bersama di sekolah bisa dilakukan dengan menu pangan lokal. Selain sehat, juga murah.
Rencana program makan siang gratis di sekolah sebaiknya tidak menambah parah penyeragaman pola konsumsi nasional ke beras dengan menggusur ragam sumber pangan lokal. Makan siang bersama bisa dilakukan dengan menu pangan lokal. Sehat dan murah.
Senin (5/3/2024) siang, anak-anak di Sekolah Dasar Inpres Lewoneda di Desa Mudakeputu, Kecamatan Ile Mandiri, Flores Timur, menikmati makan siang bersama dengan beragam pangan lokal. Fransiskus Barru, siswa kelas IV, lahap menyantap nasi jagung dengan lauk ikan tongkol dan sayur rumpu rampe.
”Enak dan suka, karena lapar juga. Tadi pagi tidak makan pagi. Bangun kesiangan,” kata Fransiskus.
Kegiatan makan siang bersama ini diinisiasi Perkumpulan Finbargo-Bekal Pemimpin, Berguna Larantuka, dan Amartha. Bekerja sama dengan pihak sekolah dan desa, mereka berupaya mengenalkan kembali keragaman pangan lokal kepada anak-anak di Flores Timur.
Sebelum mulai makan siang, anak-anak juga mendapatkan literasi tentang pangan sehat. Anak-anak diminta mengisi modul ajar tentang isi piringku, yang berisi tentang pentingnya makan-makanan sehat dengan gizi seimbang.
”Saat ini, anak-anak di Flores Timur sudah banyak yang meninggalkan pangan lokal. Melalui kegiatan ini, kami mengajak anak-anak untuk kembali mengenali dan merasakan kembali pangan lokal. Pangan sehat itu bisa diupayakan sendiri oleh lingkungan sekitar kita,” kata Rofinus Monteiro, pendiri Berguna Larantuka.
Menu tradisional
Nasi jagung yang disajikan untuk makan siang anak-anak siang itu diolah dari beras merah hasil ladang yang dicampur dengan jagung giling. Tak ada nasi beras putih siang itu. Selain nasi jagung, anak-anak juga bisa memilih karbohidrat jagung bose, yaitu jagung yang direbus bersama kacang-kacangan. Alternatif lain nasi putu, yaitu singkong yang dijemur selama beberapa hari sebelum ditumbuk dan dikukus.
Sedangkan rumpu rampe merupakan sayur-mayur khas masyarakat etnis Lamaholot yang terdiri dari campuran daun singkong, kangkung, pepaya, kelor, jantung pisang, bunga pepaya, dan buah pepaya muda. Tiap anak juga mendapatkan segelas jus buah naga dan satu pisang.
”Hari ini kami sajikan makan-makan lokal, yang dulu menjadi makanan kami saat kecil. Ini makanan-makanan tradisional, yang sekarang makin jarang dikonsumsi,” kata Nirmala Piran (55), orangtua murid yang juga Bendahara PKK Desa Mudakeputu.
Hampir semua bahan pangan yang disajikan siang itu berasal dari lingkungan sekitar. ”Untuk sayur kami tidak beli, tinggal ambil dari kebun dan pekarangan. Hanya ikan saja dan jagung yang beli. Singkong dan pisang tinggal panen,” ujarnya.
Menurut Nirmala, untuk menu lengkap itu bisa disajikan dengan Rp 10.000 hingga Rp 15.000 per piring. ”Kalau mau pakai beras ya tidak cukup, mahal sekarang di sini sekarang. Tapi kalau mau makan pangan lokal masih terjangkau,” katanya.
Baca juga: Menakar Biaya Pangan terhadap Lingkungan
Harga beras di Pasar Mudakeputu mencapai Rp 17.000 per kilogram (kg), jauh lebih tinggi dari ketetapan harga eceran tertinggi (HET) Rp.14.400 per kg. Masyarakat di Flores Timur yang defisit beras harus membayar harga beras lebih mahal karena harus didatangkan dari Jawa dan Sulawesi Selatan.
Theodora Dora Weking (40), orangtua murid yang juga Kepala Dusun 1, Desa Mudakeputu, mengatakan, pergeseran pola konsumsi ke beras membuat pangan lokal sekarang semakin jarang dikonsumsi. ”Banyak orangtua juga beranggapan makan harus beras. Malu kalau makan jagung atau singkong karena dianggap tidak mampu. Walaupun harga mahal tetap beli, terkadang dengan jual jagung atau singkong dengan harga murah,” katanya.
Sehari sebelumnya, dalam diskusi terfokus yang dilakukan bersama 50 perempuan Desa Mudakeputu menunjukkan, satu keluarga rata-rata harus mengeluarkan dana Rp 700.000 hingga Rp 1.000.000 per minggu untuk membeli berbagai barang konsumsi. Beras menjadi sumber pengeluaran terbesar, mencapai Rp 200.000-Rp 250.000 per keluarga.
”Kami sekarang harus menghemat untuk membeli lauk pauknya. Ikannya dikurangi, yang penting anak-anak kenyang dulu,” katanya.
Padahal, untuk mengatasi masalah gizi, justru protein dan sayur-mayur yang lebih dibutuhkan, dibandingkan karbohidrat, yang sebenarnya tersedia banyak alternatifnya dengan harga lebih murah. Jagung kering di Mudakeputu Rp 10.000 per kg dan singkong Rp 5.000 per kg, bahkan bisa lebih murah lagi.
Baca juga: Menagih Janji Kedaulatan Pangan
Menurut Theodora, banyak ibu-ibu tidak lagi memasak aneka makanan tradisional karena beralasan anak-anak mereka tidak mau memakannya. ”Akhirnya yang sering malah masak nasi dengan mi instan. Kalau kegiatan makan bersama di sekolah, anak-anak pasti mau makan juga, apalagi kalau ini diwajibkan sekolah. Biar anak-anak kenal lagi makanan orangtuanya,” ujarnya.
Tidak kenal lagi
Selain di SD Inpres Lewoneda, kegiatan makan siang bersama di sekolah pada hari itu juga dilakukan di SD Katolik Larantuka IV, Kelurahan Larantuka, Flores Timur. Menu yang disediakan juga hampir sama dan yang memasak juga orangtua murid dan penggerak PKK.
Meski demikian, menurut Monica Batoana, dari Pokmas Kelurahan Larantuka, ternyata banyak anak yang tidak mau mengambil jagung bose. ”Anak-anak di sini rupanya tidak pernah makan bose. Ini menyedihkan karena jagung bose merupakan salah satu menu tradisional kami. Anak-anak lebih terbiasa dengan nasi putih, mi instan, dan jajanan toko,” katanya.
Sejak dulu di sekolah-sekolah hanya diajarkan, ’Budi makan nasi’. Jadinya orang malu kalau makan jagung dan singkong.
Kepala SD Inpres Lewoneda Paulus Bala Leton mengatakan, budaya pangan masyarakat Lamaholot memang sudah bergeser. Pergeseran pola konsumsi ini, selain membebani ekonomi keluarga juga perlahan menghilangkan budaya lokal. ”Kami sekarang ketergantungan pada pangan-pangan dari luar, terutama anak-anak sudah jarang lagi yang makan pangan lokal. Apalagi anak-anak di kota Larantuka,” ujarnya.
Sebagaimana terjadi di wilayah lain NTT, beragam menu pangan lokal di Flores Timur seperti tersisih di tanah sendiri karena proses hegemoni beras yang berlangsung puluhan tahun. ”Sejak dulu di sekolah-sekolah hanya diajarkan, ’Budi makan nasi’. Jadinya orang malu kalau makan jagung dan singkong,” katanya.
Baca juga: Keberagaman Pangan Lokal untuk Menghadapi Perubahan Iklim
Oleh karena itu, Paulus menganggap literasi pangan yang dipadukan dengan kegiatan makan bersama di sekolah dengan pangan lokal ini sebagai hal yang sangat penting. Dia juga berencana untuk melanjutkan kegiatan ini di sekolahnya, bahkan juga akan mengajak anak-anak memanfaatkan pekarangan guna menanam pangan lokal.
”Saya berharap nanti kalau ada kegiatan makan siang di sekolah juga menggunakan pangan lokal. Jangan sampai hal itu justru menambah pergeseran pola pangan anak-anak karena semua menunya dari luar,” ucapnya.