Masyarakat Sekitar KCBN Muarajambi Jangan Hanya Jadi Penonton
Pembangunan cagar budaya mesti berdasar pada kesetaraan antara manusia dan lingkungan sekitarnya.
Oleh
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
·3 menit baca
MUARO JAMBI, KOMPAS — Pengembangan Kawasan Cagar Budaya Nasional atau KCBN Muarajambi dirancang berangkat dari bawah. Harapannya, masyarakat sekitar tidak terasing dari situs pusat pendidikan spiritual Buddha pada abad ke-7 hingga akhir abad ke-12 tersebut.
Sudah delapan desa penyangga di sekitar KCBN Muarajambi yang digandeng Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk menjaga dan mengembangkan situs. ”Pembangunan cagar budaya mesti berdasar pada kesetaraan antara manusia dan lingkungan sekitarnya. Jangan sampai cagar budaya hanya menjadi etalase saja dan orang hanya menonton, tetapi tidak mendapatkan apa-apa,” kata Ibe Karyanto, pendamping desa penyangga KCBN Muarajambi, Kamis (21/3/2024), di Kabupaten Muaro Jambi, Jambi.
Ibe mencontohkan bagaimana pengembangan Candi Borobudur dan Prambanan terpisah dari warganya dengan dikelilingi pagar dan penjagaan ketat. Bahkan, warga kadang tidak mendapatkan keuntungan ekonomi yang layak dari keberadaan situs warisan dunia tersebut.
Oleh karena itu, mesti ada kebersamaan antara proses pembangunan fisik KCBN Muarajambi serta lingkungan dan masyarakatnya. ”Pekerjaan rumah ke depan adalah menggali warisan budaya tak benda masyarakat yang terkait dengan Muarajambi,” ujarnya.
Untuk memberikan gambaran tentang pengelolaan kawasan wisata yang berbasis pada kebudayaan, Kemendikbudristek memfasilitasi 16 perwakilan dari delapan desa penyangga KCBN Muarajambi mengikuti kunjungan belajar ke Vietnam pada 25 Februari hingga 1 Maret 2024. Mereka diajak berkunjung ke kompleks peninggalan sejarah Kerajaan Champa, My Son, dan bekas kota perdagangan kuno Hoi An yang terletak di sepanjang Sungai Thu Bon.
Ismail, Kepala Desa Danau Lamo, yang turut serta dalam residensi mengungkapkan, ada kemiripan antara cagar budaya di Vietnam dan KCBN Muarajambi, terutama dengan adanya sungai-sungai yang menghubungkan ke situs-situs. ”Yang menarik di sana adalah tingkat keamanannya yang luar biasa sehingga wisatawan merasa nyaman. Jarang sekali kami melihat polisi berjaga, tetapi semua orang merasa nyaman. Barang-barang yang tertinggal juga aman tidak ada yang mengambil,” ujarnya.
Pembangunan cagar budaya mesti berdasar pada kesetaraan antara manusia dan lingkungan sekitarnya. Jangan sampai cagar budaya hanya menjadi etalase saja dan orang hanya menonton, tetapi tidak mendapatkan apa-apa.
Erik, perwakilan anak muda yang ikut dalam residensi, terkesan dengan masyarakat Vietnam yang perhatian dengan bangunan tradisional dan kebudayaan mereka. ”Ini menjadi PR (pekerjaan rumah) bagi delapan desa penyangga KCBN Muarajambi. Masyarakat di Vetnam dan di sini sama-sama memiliki rumah panggung, tetapi sekarang keberadaan rumah panggung di Jambi berangsur-angsur hilang digantikan bangunan beton,” katanya.
Bagi Erik, potensi pariwisata berbasis kebudayaan di Indonesia tidak kalah dari negara-negara lain. Yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana menjaga keselarasan antara masyarakat dan alam di sekitarnya.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Fitra Arda menambahkan, kekuatan-kekuatan lokal, seperti rumah panggung, mesti direvitalisasi. ”Perlu digali mengapa rumah-rumah panggung ada, salah satunya sebagai bagian dari upaya masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi alam saat banjir. Makanan-makanan khas Jambi mesti ditonjolkan. Jangan sampai kita menyediakan makanan yang orang-orang bisa mencarinya di Jakarta. Jadi, mesti beda,” ucapnya.
Menurut Fitra, kegiatan residensi ke Vietnam yang diikuti para kepala desa dan anak-anak muda di sekitar KCBN Muarajambi lebih mengena daripada mereka diajak mendengarkan paparan. Ke depan, mereka perlu diajak belajar lagi ke daerah-daerah lain, misalnya Komunitas Lima Gunung yang dengan konsisten menggelar kegiatan tanpa bantuan dari pemerintah, atau belajar mengemas event di Artjog, dan sebagainya.
Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah V Agus Widiatmoko mengungkapkan, melalui kunjungan pembelajaran bersama ke Vietnam, diharapkan para kepala desa di sekitar KCBN Muarajambi memperoleh pemahaman yang mendalam tentang praktik konservasi cagar budaya, keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan situs, dan pengelolaan warisan budaya yang berkelanjutan.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Kerja Sama Internasional Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata Vietnam Nguyen Phuong Hoa mengatakan, Indonesia dan Vietnam memiliki peluang yang besar untuk bekerja sama. Kerja sama bisa dilakukan dalam pengelolaan situs warisan budaya dan pelibatan aktif komunitas-komunitas di sekitar cagar budaya. Kunjungan yang digelar kemarin merupakan salah satu upaya peningkatan kapasitas sumber daya manusia dalam pengelolaan situs warisan budaya.
Nama situs Muarajambi muncul dalam catatan purbakala Belanda pada 1937 setelah Schnitger melakukan ekskavasi. Selang bertahun-tahun, pada 1978 hingga 1980, baru dilakukan pemugaran di sekitar Candi Gumpung dengan pembebasan lahan seluas 5 hektar.
Setelah itu, setiap tahun dilakukan pembebasan lahan menjadi sekitar 30 hektar sampai 2001. Pada 2022, selama tujuh bulan dilakukan pembebasan lahan seluas 100 hektar. Tahun lalu, total lahan di KCBN Muaro Jambi yang telah dibebaskan mencapai 130 hektar dan ke depan bangunan-bangunan candi yang tanahnya sudah dibebaskan akan ditata.