Perkawinan ”Pintu Belakang” dan Perbudakan, Jerat Kekerasan Seksual Perempuan Sumba
Kehidupan perempuan adat di sejumlah daerah berada dalam lingkaran kekerasan seksual dan terus menjadi korban dari adat.
Kekerasan terhadap perempuan adat, terutama kekerasan seksual, menjadi keprihatinan yang serius diperhatikan pemerintah. Kekerasan seksual kerap tidak terungkap karena tersembunyi di balik kuatnya budaya patriarki dalam kehidupan masyarakat, terutama praktik adat dan tradisi di komunitas masyarakat adat.
Praktik kekerasan tersebut hingga kini masih langgeng dalam kehidupan masyarakat adat di sejumlah daerah, seperti Sumba Timur di Nusa Tenggara Timur. Daerah ini menjadi sasaran Riset Kekerasan Seksual pada Masyarakat Adat dan Etnis Minoritas oleh lembaga Partnership Kemitraan bersama Lembaga Antropologi (Laura) Universitas Gadjah Mada (UGM).
Selain Desa Malancan, Kecamatan Siberut Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai, riset juga dilakukan di Komunitas Etnis Tionghoa-Cina Benteng, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten.
Penelitian etnografi berlangsung selama sekitar tiga bulan, September-November 2023, di Desa Wanggameti, Sumba Timur. Hasilnya menemukan fenomena kekerasan seksual yang menimpa perempuan adat. Penyelesaiannya pun berbasis adat yang sangat merugikan perempuan korban.
Dari penelitian etnografi selama sekitar tiga bulan dengan masyarakat adat tersebut, terungkap beberapa praktik kekerasan seksual yang dialami para perempuan adat setempat. Di Wanggameti, masyarakat mengenal kekerasan seksual dalam kategori berat dan ringan.
Kekerasan seksual terberat adalah kasus pemerkosaan atau pitti rambang/pa putta/panjala dangu. Sementara kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), antara suami dan istri (papalu), perselingkuhan (kikau), pengintaian-ancaman, kawin lari (palaingandi), dan makian masuk dalam kategori kekerasan ringan.
KDRT akan dikategorikan sebagai kekerasan seksual berat jika menimbulkan cedera sampai mengeluarkan darah, patah tulang, dan bengkak pada anggota tubuh tertentu, seperti muka, kepala, tangan, kaki, punggung, atau perut.
Meski terjadi, praktik kekerasan seksual tersebut sulit terungkap karena umumnya masyarakat tidak membicarakan secara terbuka kasus tersebut. ”Sebab, kekerasan seksual itu terjadi dalam ruang-ruang privat dan juga tidak bisa diceritakan sembarangan. Bahkan, mereka sesama orang Sumba saja tabu untuk membicarakan itu,” ujar Olga Aurora, peneliti dari Laura UGM, saat diskusi hasil Riset Kekerasan Seksual pada Masyarakat Adat dan Etnis Minoritas, Kamis (7/3/2024).
Di Desa Wanggameti, hukum adat sering digunakan dalam perkawinan dan kekerabatan. Hukum adat ini tidak tertulis dan tidak diformalisasikan dan sering bisa dinegosiasikan bergantung pada siapa yang punya kuasa lebih.
Kekerasan seksual itu terjadi dalam ruang-ruang privat dan juga tidak bisa diceritakan sembarangan. Bahkan, mereka sesama orang Sumba saja tabu untuk membicarakan itu.
Sistem kekerabatan dan relasi jender yang berlangsung hingga kini di Sumba membuat posisi perempuan dalam situasi rentan. Begitu kentalnya budaya patriarki sehingga menyebabkan perempuan berada di posisi lebih rendah dari laki-laki. Dalam hal warisan, misalnya, hak waris jatuh pada anak laki-laki.
Mengapa perempuan tidak mendapat hak waris? Itu karena adanya anggapan bahwa perempuan akan menikah dengan laki-laki dan akan mendapat harta dari suaminya. Pernikahan dianggap ideal jika perempuan Sumba menikah dengan saudara laki-laki dari mamanya.
Padahal, hal itu menjadi pintu masuk terjadinya kekerasan seksual karena perkawinan yang dikenal dengan perkawinan ’darah panas’ berpotensi membuat perempuan tidak memiliki keturunan. Lalu, suaminya, karena alasan istri tidak bisa melahirkan keturunan, mencari istri kedua ataupun mencari pasangan perempuan lain.
”Banyak kasus perempuan menjadi frustrasi dan seperti itu, tetapi lingkungan sekitar bilang, ’kamu kan mandul, jadi terima saja’,” ujar Olga.
Baca juga: Menjerat Perempuan Berkedok Tradisi "Kawin Tangkap"
Hukum adat perkawinan dan kekerabatan begitu kompleks dan cenderung memberatkan warga serta mendiskriminasi perempuan. Karena itu, dalam praktik, warga cenderung akan menghindari hukum adat pernikahan ini, dengan melakukan pernikahan di luar adat, atau tidak mengikuti setiap ’tangga’ adat.
Kawin lari membuat masa depan perempuan hancur karena pendidikannya terhenti dan rawan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Sebab, adat berhubungan dengan pengadaan materi seperti belis, yang memberatkan. Tindakan kekerasan seksual di Wanggameti biasanya terjadi di luar adat pernikahan.
Dari tradisi ini, warga Sumba mengenal perkawinan pintu depan dan pintu belakang. Sementara dalam praktik, perkawinan lewat pintu depan yang harus membawa hewan itu dianggap sangat memberatkan sehingga banyak yang memilih pintu belakang.
”Apa itu pintu belakang, yaitu perkawinan yang tanpa melewati tangga-tangga adat. Jadi, biasanya mereka langsung membawa lari perempuan itu,” kata Olga.
Kawin lari membuat masa depan perempuan hancur karena pendidikannya terhenti dan rawan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Kerentanan perempuan hamba
Tradisi di Sumba yang menempatkan masyarakat dalam beberapa golongan, seperti golongan bangsawan (maramba), masyarakat bebas/merdeka (kabihu), orang dalam rumah atau hamba/budak (ata), juga menjadi celah terjadinya praktik kekerasan seksual pada anak perempuan hamba.
Olga menuturkan temuan riset, bagaimana seorang anak perempuan diperkosa dan memiliki sampai enam anak dari bapak yang berbeda dan tidak mendapat perlindungan dari tuannya. Bahkan, anak-anak yang dilahirkan justru dianggap aset tenaga kerja.
Jaringan maramba yang kuat membuat anak hamba sulit melarikan diri dan melepaskan jerat perbudakan tersebut. ”Seorang budak atau ata di Sumba itu tidak mudah bisa menikah atau jatuh cinta lalu menikah. Sebab, ini kaitannya dengan tenaga kerja manusia,” papar Olga.
Karena itulah, atas hasil riset, Kemitraan dan Laura UGM merekomendasikan perlu adanya ruang aman dan layanan bagi korban atau perempuan yang rentan menjadi korban kekerasan seksual melalui konvergensi antara (hukum) adat, negara, lembaga keagamaan, keluarga, dan lembaga lokal lainnya.
Seorang budak atau ata di Sumba itu tidak mudah bisa menikah atau jatuh cinta lalu menikah. Sebab, ini kaitannya dengan tenaga kerja manusia.
Konvergensi bisa diwujudkan salah satunya dalam peraturan desa yang memuat identifikasi yang jelas mengenai bentuk-bentuk kekerasan seksual yang telah terjadi dan mungkin akan terjadi, aturan untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual. Selain itu, memuat bentuk hukuman adat yang tidak bisa ditawar atau dilawan, perlindungan, perawatan dan pemulihan kondisi fisik, mental, dan sosio-kultural dari korban kekerasan seksual.
Baca juga: Kekerasan terhadap Perempuan di NTT Tinggi
Maka, Direktur Eksekutif Kemitraan Indonesia Laode M Syarif berharap temuan dari penelitian tersebut mengerakkan hati semua pihak, terutama pemerintah, untuk memperbaiki kebijakan atas perlindungan anak, perlindungan perempuan, dan perlindungan etnik minoritas yang ada di Indonesia.
”Jadi, perjuangan masih panjang. Kalau kita berjuang untuk menghormati adat-istiadat dan menghilangkan kekerasan atas perempuan dan etnis minoritas dan mereka bisa mendapatkan keadilan, itu juga perjuangan masih sangat panjang,” kata Laode.
Kekerasan seksual dan perkawinan tradisi di Sumba yang merugikan perempuan juga sempat dibawa Martha Hebi, aktivis dari Komunitas Solidaritas Perempuan dan Anak (Sopan) Sumba, saat berdialog dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati, Senin (18/3/2024) petang.
Martha menegaskan, tidak hanya dalam praktik kawin tangkap, perempuan Sumba juga rentan mengalami kekerasan seksual dalam perbudakan tradisional. Ketika orangtuanya menjadi hamba atau ata, anaknya rentan menjadi korban kekerasan seksual.
Pemberitaan Kompas selama ini, praktik kawin tangkap di Sumba yang viral beberapa kali di media sosial membuat perempuan rentan menjadi korban. Bahkan, dalam praktik masa kini, kawin tangkap (yang dulu membawa misi untuk memuliakan perempuan) berubah menjadi ajang kekerasan pada perempuan karena perempuan bisa ditangkap seenaknya oleh laki-laki di mana pun dia berada, diseret, dinaikkan kendaraan terbuka, dan mengalami kekerasan seksual.
Hal ini bahkan dikecam para pemerhati hak asasi manusia dan perlindungan perempuan karena dalam praktiknya sangat merendahkan martabat perempuan. Bahkan, Menteri PPPA beberapa kali sempat turun ke Sumba menghentikan praktik kawin tangkap.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Woro Srihastuti Sulistyaningrum menilai pelaksanaan strategi perlindungan perempuan masih menghadapi sejumlah hambatan.
Hal itu terjadi dalam kondisi ketidaksetaraan dalam akses terhadap sumber daya, adanya stigma sosial, sistem hukum yang masih lemah, kesenjangan ekonomi, kurangnya kesadaran dan pemahaman, serta konflik dan krisis kemanusiaan.
Kekerasan seksual yang menimpa perempuan, termasuk perempuan adat, itulah yang mendorong lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Sebab, setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan, berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia.
”Sebenarnya urgensi lahirnya UU TPKS di situ. Berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia. Sebab, hal ini sudah dijamin di dalam Undang-Undang Dasar 1945,” kata Woro.
Perempuan adat Sumba hanyalah salah satu kelompok perempuan adat di Tanah Air yang hingga kini berjuang mendapatkan keadilan dan kesetaraan sekaligus mendapatkan perlindungan dari kekerasan seksual. Negara harus hadir melindungi mereka, memutus rantai kekerasan seksual, dan memberi keadilan bagi para perempuan korban.