Cakupan Terapi Pencegahan Tuberkulosis Jauh di Bawah Target
Cakupan pemberian terapi pencegahan tuberkulosis masih sangat rendah di Indonesia, terutama pada usia anak.
JAKARTA, KOMPAS — Terapi pencegahan tuberkulosis berperan penting mengurangi risiko penularan. Pemberian terapi tersebut harus optimal dilakukan pada populasi berisiko tuberkulosis.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, pemberian terapi pencegahan tuberkulosis (TPT) pada 2023 masih rendah. Capaiannya baru 2,6 persen atau 35.006 orang yang merupakan kontak serumah dengan kasus tuberkulosis. Cakupan itu jauh dari target 58 persen.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi mengatakan ada tantangan dalam program pemberian terapi pencegahan TBC pada populasi berisiko. Paparan terapi yang masih rendah disebabkan oleh kurangnya pemahaman masyarakat dan tenaga kesehatan akan pentingnya TPT.
”Pemberian TPT kita sekarang masih jauh dari harapan yang kita targetkan. Perlu edukasi ke masyarakat sehingga tenaga kesehatan juga harus dilatih mengenai bagaimana cara mengedukasinya,” katanya dalam konferensi pers terkait peringatan Hari Tuberkulosis Sedunia 2024 di Jakarta, Jumat (22/3/2024).
Edukasi dan pemahaman yang kurang menyebabkan keengganan untuk mengonsumsi TPT. Sebab, terapi pencegahan tuberkulosis harus dijalankan sampai tiga bulan. Dalam waktu tersebut, individu yang melakukan kontak serumah dengan kasus tuberkulosis harus mengonsumsi obat tanpa putus.
Pemberian TPT kita sekarang masih jauh dari harapan yang kita targetkan.
Obat dikonsumsi satu sampai tiga kali setiap minggu tergantung dari jenisnya. Bagi masyarakat yang kurang paham, mereka cenderung enggan mengonsumsi. Apalagi, mereka merasa tidak sakit.
Baca juga: Mengurangi ”Rasa Sesak” Pasien Tuberkulosis
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, yang juga Ketua Koalisi Organisasi Profesi Indonesia untuk Penanggulan Tuberkulosis (KOPI TB), Erlina Burhan menuturkan, TPT merupakan pengobatan yang diberikan kepada seseorang yang terinfeksi kuman penyebab TBC, Mycobacterium tuberculosis, dan orang yang berisiko tertular TBC. Lewat terapi ini, seseorang bisa tercegah penyebaran tuberkulosis.
Pemberian TPT sebaiknya diberikan pada populasi berisiko, yakni orang dengan HIV/AIDS, orang dengan kekebalan tubuh rendah, warga binaan pemasyarakatan, petugas kesehatan, pengguna narkoba suntik, serta orang yang tinggal serumah dengan pasien tuberkulosis.
Bagi orang yang tinggal serumah dengan pasien pun harus dipastikan diberikan pula mendapatkan. Termasuk pada anak usia di bawah lima tahun, anak usia 5-14 tahun, serta remaja dan dewasa usia di atas 15 tahun. Usia anak menjadi salah satu kelompok yang berisiko ketika tertular tuberkulosis.
”Edukasi kepada tenaga kesehatan dan pasien harus masif dilakukan untuk mengatasi kurangnya pengetahuan pasien dan kurangnya kapasitas tenaga kesehatan dalam memberikan TPT. Terapi pencegahan tuberkulosis ini sangat penting untuk mencapai eliminasi tuberkulosis pada 2030,” ujae Erlina.
Ia menyampaikan, penelitian skala nasional di Inggris telah menemukan bahwa pemberian TPT dapat mengurangi risiko tuberkulosis sebesar 28-86 persen pada seluruh populasi berisiko, termasuk pada pasien tuberkulosis laten. Selain itu, TPT juga terbukti mengurangi risiko penularan tuberkulosis serta kematian akibat tuberkulosis pada pasien HIV hingga 60 persen. Risiko tuberkulosis pun bisa dikurangi hingga 82 persen pada pasien anak yang mengonsumsi TPT.
National Professional Officer TB, WHO Indonesia, Setiawan Jati Laksono menuturkan, optimalisasi pemberian TPT bisa dilakukan melalui upaya integrasi antara penemuan kasus aktif dan pemberian TPT. Selama ini, pemberian TPT sering kali dilakukan secara sporadis dan dilaksanakan terpisah dengan program temuan kasus aktif. Padahal, sasaran populasi penemuan kasus aktif tuberkulosis sama dengan target populasi pemberian TPT.
Baca juga: Komitmen dan Kerja Sama Global Perkuat Penanganan Tuberkulosis
”Sejak 2020, WHO telah merekomendasikan integrasi pelaksanaan kegiatan penemuan TB secara aktif dengan pemberian TPT pada populasi berisiko yang ditargetkan. Selain untuk mencapai target pemberian TPT, upaya ini juga bisa lebih efektif dan efisien serta menekan biaya yang dibutuhkan,” ujarnya.
Setiawan mengatakan, kelompok risiko yang perlu diprioritaskan dalam penjangkauan upaya integrasi penemuan kasus dan pemberian TPT, antara lain, ialah orang dengan HIV, pekerja yang terpapar debu silika, warga binaan pemasyarakatan, pengungsi, serta kontak serumah dan kontak erat pasien TB. Kontak serumah, yakni seseorang yang berbagi ruangan tinggal bersama dengan pasien TB selama satu malam atau lebih atau lebih dari delapan jam di siang hari dalam kurun waktu tiga bulan sebelum pasien memulai pengobatan.
Tuberkulosis anak
Imran menyampaikan, cakupan pemberian TPT masih sangat kurang pada populasi berisiko usia anak. Meskipun mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, cakupan pemberian TPT pada anak usia kurang dari 5 tahun pada 2023 baru mencapai 5 persen. Sementara itu, cakupan pada anak usia 5-14 tahun baru mencapai 2,5 persen.
Usia anak merupakan kelompok populasi yang berisiko ketika tertular tuberkulosis. Dari data Kementerian Kesehatan pun dilaporkan bahwa penemuan kasus tuberkulosis anak mengalami peningkatan. Pada 2021, kasus TBC anak sebesar 42.187 kasus, meningkat menjadi 110.881 kasus pada 2022 dan 134.528 kasus pada 2023.
Menurut dia, penularan tuberkulosis semakin meningkat sebagai dampak dari menurunnya penemuan kasus dan pengobatan selama pandemi Covid-19. Penularan tersebut juga terjadi pada usia anak.
Peningkatan kasusnya disebabkan pula oleh persoalan gizi anak. Status gizi anak yang rendah membuatnya lebih rentan tertular.
”Peningkatan kasus dapat terjadi pula karena penemuan kasus yang semakin baik. Kita sudah mengintegrasikan temuan kasus TB dengan kegiatan lain, seperti penanganan stunting (tengkes). Ketika ada anak yang berat badannya tidak mencapai yang diharapkan, tenaga kesehatan bisa curiga adanya tuberkulosis, selain karena masalah gizi,” ujar Imran.
Ia menuturkan, tanda tuberkulosis pada anak berbeda pada usia dewasa. Pada usia dewasa, tanda yang paling terlihat ialah adanya batuk persisten yang terjadi berminggu-minggu. Sementara pada anak, gejala yang paling terlihat ialah adanya penurunan berat badan, menurunnya napsu makan, serta adanya pembesaran pada kelenjar di bagian leher.
Baca juga: Masih Tertinggi di Dunia, Pemerintah Terus Akselerasi Eliminasi Tuberkulosis
Erlina menambahkan, anak merupakan kelompok usia yang sangat rentan ketika tertular tuberkulosis. Anak juga berisiko menularkan kepada orang yang ada di sekitarnya. ”Anak sangat rentan, terutama pada anak usia di bawah lima tahun karena sistem imun tubuhnya belum berkembang dengan baik,” katanya.