Bagaimana Letusan Toba Mengubah Perjalanan Manusia di Dunia
Penelitian baru menunjukkan, letusan Toba mengubah kehidupan ”Homo sapiens” dan menjadi bekal migrasi keluar Afrika.
Letusan Toba 74.000 tahun lalu diketahui sebagai letusan gunung api terkuat yang pernah terjadi dalam sejarah Bumi dengan dampak global. Penelitian terbaru menunjukkan, letusan ini telah mengubah pola kehidupan Homo sapiens dan menjadi salah bekal migrasi leluhur manusia modern ini keluar dari Afrika.
Riset genetika telah mengungkap bahwa nenek moyang manusia modern (Homo sapiens) di seluruh dunia memiliki leluhur yang sama di Afrika. Laporan antropolog Vanessa Hayes dari Garvan Institute of Medical Research dan University of Sydney dan tim di jurnal Nature pada 2019 lalu, misalnya, menyebutkan, ”Setiap orang saat ini bisa dilacak DNA mitokondrianya pada manusia (perempuan) yang tinggal di kampung pertama (di Afrika).” Kesimpulan Hayes ini didapatkan setelah menganalisis DNA mitokondria 1.200 orang di Afrika dan membandingkannya dengan bank gen manusia di dunia. Daerah asal leluhur ini disebut lahan basah-paleo Makgadikgadi-Okavango, di dekat Delta Okavango modern, sekitar Botswana.
Bukti-bukti arkeologi dari bagian timur Afrika, sekitar Etiopia juga menunjukkan fosil tertua manusia ditemukan di kawasan itu setidaknya sejak 200.000 tahun lalu. Belakangan, laporan Clive Oppenheimer dari University of Cambridge dan tim melaporkan di jurnal Nature pada 2022 bahwa usia fosil manusia modern di Etiopia ini lebih tua dari lapisan sedimen erupsi gunung api di kawasan ini pada 230.000 tahun yang lalu.
Sekalipun keberadaan manusia pertama ini masih terus diselidiki, para ilmuwan telah meyakini bahwa Homo sapiens kemudian keluar secara bergelombang dari Afrika untuk kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia. Perubahan lingkungan yang dipicu perubahan iklim diduga menjadi pemicu migrasi Out of Africa ini.
Ahli geologi dari Universitas Rhodes, Andy Moore, yang menyelidiki bentang alam purba, memaparkan dalam laporannya yang ditulis bersama Hayes bahwa Makgadikgadi sebelumnya merupakan sistem danau terbesar di Afrika. Ekosistem lahan basah kuno menyediakan lingkungan ekologis stabil bagi nenek moyang pertama manusia modern untuk berkembang selama 70.000 tahun.
Menurut Hayes dan Moore, manusia mulai meninggalkan ekosistem ini saat iklim berubah. Nenek moyang kita menyebar dalam dua gelombang: satu kelompok menyebar ke timur laut 130.000 tahun lalu dan yang lain pergi pada migrasi kedua ke barat daya 110.000 tahun lalu.
Beberapa peneliti berhipotesis bahwa penyebaran itu mengikuti ”koridor hijau” yang terbentuk selama periode lembap ketika makanan berlimpah dan populasi manusia berkembang sejalan dengan lingkungan mereka. Periode kering dianggap menghambat pergerakan penduduk.
Kini, sebuah studi baru yang diterbitkan di jurnal Nature pada 20 Maret 2024 menunjukkan bahwa manusia kemungkinan menyebar selama periode kering di sepanjang ”jalan raya biru” yang diciptakan oleh sungai musiman. Peneliti juga menemukan bukti peralatan memasak dan batu yang mewakili bukti tertua dari aktivitas memanah. John Kappelman dari Department of Anthropology, The University of Texas, menjadi penulis pertama makalah ini.
Dampak erupsi Toba
Temuan ini diawali dengan penggalian para peneliti di kawasan Tanduk Afrika dan menemukan bukti yang menunjukkan bagaimana manusia modern awal bertahan hidup setelah letusan Toba sekitar 74.000 tahun yang lalu. Berbagai studi sebelumnya telah menunjukkan, erupsi Toba berdampak global. Misalnya, laporan Stanley H Ambrose dari University of Illinois at Urbana-Champaign pada 1998 menyebutkan, letusan Toba membuat dunia mengalami penurunan suhu drastis dan membuat populasi manusia hampir punah.
Meski demikian, menurut kajian Kappelman dan tim, manusia di kawasan Tanduk Afrika memiliki kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan yang berubah ini. Fleksibilitas perilaku orang-orang ini tidak hanya membantu mereka bertahan hidup melalui supererupsi, tetapi mungkin juga memfasilitasi penyebaran manusia modern keluar Afrika dan seluruh dunia.
”Studi ini mengonfirmasi hasil dari Pinnacle Point di Afrika Selatan—letusan Toba mungkin telah mengubah lingkungan di Afrika, tetapi masyarakat beradaptasi dan bertahan dari perubahan lingkungan yang disebabkan oleh letusan tersebut,” kata Curtis Marean, ilmuwan peneliti di Institute of Human Origins, yang terlibat kajian ini.
Baca juga: Letusan Toba Berdampak Besar pada Kehidupan di Bumi
Tim menyelidiki situs Shinfa-Metema 1 di dataran rendah barat laut Etiopia saat ini di sepanjang Sungai Shinfa, anak sungai dari Sungai Nil Biru. Supererupsi Toba terjadi pada pertengahan waktu ketika situs tersebut ditempati. Jejak erupsi Toba di sana didokumentasikan oleh pecahan kaca kecil yang kandungan kimianya cocok dengan Toba.
Menurut Marean, salah satu implikasi terobosan dari penelitian ini adalah bahwa dengan metode cryptotephra baru yang dikembangkan untuk penelitian sebelumnya di Afrika Selatan, dan sekarang diterapkan di Etiopia, mereka dapat menghubungkan lokasi-lokasi di seluruh Afrika, dan mungkin lokasi di seluruh dunia, dengan resolusi waktu beberapa minggu.
Letusan Toba membuat dunia mengalami penurunan suhu drastis dan membuat populasi manusia hampir punah.
Cryptotephra adalah pecahan kaca di dalam abu vulkanik yang ukurannya berkisar 80–20 mikron, lebih kecil dari diameter rambut manusia. Untuk mengekstrak pecahan mikroskopis dari sedimen arkeologi ini dibutuhkan kesabaran dan perhatian besar terhadap detail.
”Mencari cryptotephra di situs arkeologi ini seperti mencari jarum di tumpukan jerami, tetapi tidak mengetahui apakah ada jarum tersebut. Namun, memiliki kemampuan untuk menghubungkan situs yang berjarak 5.000 mil, dan berpotensi lebih jauh, dalam waktu ribuan tahun membuat semuanya berharga,” kata Christopher Campisano, ilmuwan peneliti di Institute of Human Origins dan profesor di School of Human Evolution and Social Change.
Migrasi di ”Jalan Raya Biru”
Situs arkeologi di Shinfa-Metema 1, di dataran rendah barat laut Etiopia, dengan Cryptotephra Toba Tuff termuda berumur sekitar 74.000 tahun lalu itulah yang menjadi bukti awal mengenai upaya pencarian makan Homo sapiens secara intensif di sungai. Hal ini sejalan dengan busur dan anak panah awal.
Makanan yang diidentifikasi mencakup berbagai macam hewan darat dan hewan akuatik. Isotop oksigen stabil dari fosil gigi mamalia dan cangkang telur burung unta menunjukkan bahwa lokasi tersebut ditempati pada periode kekeringan musiman yang tinggi. Kelimpahan ikan dari makanan mereka menunjukkan bahwa penangkapan terjadi di perairan yang semakin kecil dan dangkal, lubang air sungai musiman selama musim kemarau panjang menunjukkan adaptasi yang fleksibel terhadap kondisi iklim yang menantang selama Zaman Batu Tengah.
Mencari makan secara adaptif sepanjang kubangan air pada musim kemarau akan mengubah sungai musiman menjadi koridor jalan raya, yang berpotensi memfasilitasi penyebaran manusia keluar Afrika. Ini berarti migrasi tersebut tidak terbatas pada saat iklim lembap.
Perilaku fleksibilitas yang dibutuhkan untuk bertahan hidup dalam kondisi musiman yang kering dan kondisi perubahan lingkungan yang dipicu dari supererupsi Toba dinilai merupakan kunci dari hal ini penyebaran manusia modern terkini dan perluasan manusia modern ke seluruh dunia.
Berdasarkan geokimia isotop gigi fosil mamalia dan cangkang telur burung unta, mereka menyimpulkan bahwa situs tersebut dihuni oleh manusia selama musim kemarau panjang yang setara dengan beberapa habitat paling kering secara musiman di Afrika Timur saat ini.
Temuan tambahan menunjukkan bahwa ketika aliran sungai terhenti selama musim kemarau, masyarakat beradaptasi dengan berburu hewan yang datang ke sumber air yang tersisa untuk minum. Ketika lubang air terus menyusut, penangkapan ikan menjadi lebih mudah tanpa peralatan khusus, dan pola makan semakin beralih ke ikan.
Dampak iklim tampaknya menyebabkan musim kemarau yang lebih panjang, menyebabkan masyarakat di daerah tersebut semakin bergantung pada ikan. Menyusutnya lubang air mungkin juga mendorong manusia untuk bermigrasi keluar untuk mencari lebih banyak makanan.
”Ketika orang-orang menghabiskan makanan di dalam dan sekitar sumber air pada musim kemarau, mereka kemungkinan besar terpaksa pindah ke sumber air baru,” kata John Kappelman. Sungai musiman berfungsi sebagai ”pompa” yang menyedot populasi melalui saluran dari satu lubang air ke lubang air lainnya sehingga berpotensi mendorong penyebaran keluar Afrika.
Manusia yang tinggal di Shinfa-Metema 1 kemungkinan besar bukan anggota kelompok yang meninggalkan Afrika. Namun, fleksibilitas perilaku yang membantu mereka beradaptasi terhadap kondisi iklim yang menantang, seperti supererupsi Toba mungkin merupakan ciri utama manusia Zaman Batu Tengah yang memungkinkan spesies kita pada akhirnya menyebar dari Afrika dan berkembang ke seluruh dunia.
Masyarakat yang tinggal di situs Shinfa-Metema 1 berburu berbagai hewan darat, mulai dari kijang hingga monyet, seperti yang terlihat dari bekas luka di tulang, dan tampaknya memasak makanan mereka seperti yang ditunjukkan oleh bukti adanya kebakaran terkendali di lokasi tersebut.
Perkakas batu yang paling khas adalah titik-titik segitiga kecil yang simetris. Analisis menunjukkan bahwa titik-titik tersebut kemungkinan besar adalah mata panah, yang pada usia 74.000 tahun merupakan bukti tertua dari seni memanah.
Baca juga: Letusan ”Supervolcano” Toba Masih Mengintai
Laporan penelitian ini menambah khasanah pengetahuan bagaimana erupsi Toba telah mengubah arah perjalanan manusia modern. Erupsi Toba tidak hanya menyebabkan kehancuran, yang bahkan dalam beberapa kajian nyaris memunahkan populasi manusia modern, tetapi juga melahirkan kebudayaan baru yang menjadi bekal migrasi keluar Afrika.