Buku ”Giyugun” Rangkum Sejarah Tentara Sukarela Pendudukan Jepang
Buku ”Giyugun” karya sejarawan Aiko Kurasawa merangkum sejarah tentara sukarela pendudukan Jepang di Jawa dan Sumatera.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembela Tanah Air atau Peta dan Sumatera Giyugun adalah tentara sukarela pada masa pendudukan Jepang sekaligus perintis perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pembentukan tentara sukarela ini merupakan cikal bakal dari Badan Keamanan Rakyat yang nantinya menjadi Tentara Nasional Indonesia atau TNI pada awal revolusi.
Sejarah tentang Peta dan Sumatera Giyugun terangkum dalam buku berjudul Giyugun-Tentara Sukarela pada Pendudukan Jepang di Jawa dan Sumatera karya Sejarawan Jepang, Aiko Kurasawa, dan diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas (PBK).
Aiko menyampaikan, catatan lengkap terkait Peta yang terangkum dalam buku ini ditulis pada 1974 dalam bahasa Jepang. Sementara itu, Sumatera Giguyun ditulis pada 1976 dalam bahasa Inggris sebagai makalah kuliah sejarawan ahli Indonesia, Ben Anderson.
”Naskah saya dalam buku ini 99 persen dari proses wawancara. Saya beruntung karena saat itu masih bisa mendapatkan banyak responden, baik di Jepang maupun Indonesia, pada waktu mengadakan penelitian,” ujarnya dalam acara peluncuran dan bedah buku Giyugun di Kompas Institute, Jakarta, Senin (25/3/2024).
Dalam sesi pemaparan dan diskusi, Aiko membagikan pengalamannya dalam proses penelitian dan penulisan. Aiko pun merasa diterima dengan senang hati oleh para responden dan mereka sangat terbuka saat proses diwawancarai.
Dari hasil wawancara didapat informasi bahwa Peta dan Sumatera Giguyun pertama kali dibentuk pada 1943 atas kebutuhan tentara Jepang karena tengah mengalami kekurangan kekuatan militer. Di Jawa, tercatat tentara Jepang hanya ada 10.000 prajurit. Namun, Jepang mengatur bahwa pembentukan Peta ini seolah-olah atas keinginan dari pihak Indonesia.
Atas dasar inilah Peta kemudian didirikan melalui Undang-Undang Nomor 44 tentang Pembentukan Pasukan Sukarela untuk Membela Tanah Air. Sementara itu, di Sumatera tidak ada sandiwara Jepang seperti di Jawa. Pembentukannya pun tidak diatur dalam undang-undang.
”Untuk perekrutan calon perwira, banyak orang yang melamar dan mereka menerima latihan di Bogor Renseitai. Isi pendidikannya sama untuk perwira tentara Jepang, yang membedakan hanya waktunya yang dipendekkan. Setelah pelatihan perwira kemudian dibentuk daidan atau batalion di setiap keresidenan yang terdiri dari 500 perwira dan prajurit,” tutur Aiko.
Tulisan Bu Aiko dalam buku ini benar-benar sangat luwes dan menggambarkan kondisi tersebut dengan detail. Inilah yang menggambarkan bagaimana rasanya hidup di zaman tersebut.
Dari hasil pelatihan ini kemudian lahir pasukan Peta angkatan pertama sebanyak 35 daidan, disusul angkatan kedua 20 daidan, dan angkatan ketiga 11 daidan. Jadi, secara keseluruhan, terdapat 56 daidan dengan total 35.000 prajurit di Jawa. Adapun kekuatan Sumatera Giyugun menurut arsip Jepang mencapai 30 kompi atau sekitar 6.000 prajurit.
Menurut Aiko, pada waktu Jepang menyerah ke Sekutu, Peta kemudian dibubarkan dan semua anggotanya dipulangkan ke kampung halaman. Semua senjata yang digunakan oleh prajurit juga diambil. Ia pun meyakini pembentukan Peta ini merupakan cikal bakal dari Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang nantinya menjadi TNI pada awal revolusi.
Sejarawan Didi Kwartanada mengatakan, buku ini terdiri dari dua artikel yang berbeda dan disatukan oleh Kompas agar mudah diakses. Buku ini memang bukan dari tulisan terbaru dari Aiko, melainkan tulisan lama yang masing-masing terbit pada waktu yang berbeda.
”Buku ini ditulis oleh Bu Aiko yang saat itu masih menjadi sejarawan muda, usia 30 tahun. Dengan bahasa Indonesia yang terbatas, Bu Aiko bisa merampungkan dua tulisan yang sangat menarik. Beliau ini merupakan generasi kedua Indonesianis pascaperang yang lebih serius dalam arti bisa menggunakan bahasa Indonesia secara aktif,” tuturnya.
Didi menyebut bahwa tulisan dalam buku ini cukup berkesan bagi Aiko karena merupakan karya pertamanya yang diterbitkan terkait tentara Peta. Buku ini juga kerap menjadi sumber kutipan, tetapi bentuk fisiknya jarang ditemui oleh orang-orang.
Co-Founder Komunitas Neo Historia Daniel Limantara menambahkan, proses sejarah sangat berdampak terhadap kehidupan di masa depan. Membaca buku ini juga membuat orang berimajinasi seperti berada di periode waktu tersebut.
”Tulisan Bu Aiko dalam buku ini benar-benar sangat luwes dan menggambarkan kondisi tersebut dengan detail. Inilah yang menggambarkan bagaimana rasanya hidup di zaman tersebut. Mungkin banyak anak muda yang menganggap sejarah sudah tidak lagi relevan. Padahal, dengan cara ini kita bisa semakin menghargai kehidupan,” tuturnya.