Jalan Mulia Meniti Karier Para Mantan Marbot
Nilai-nilai pengabdian yang tulus dan ikhlas dari marbot menjadi bekal untuk menjalani kehidupan sosial di masyarakat.
Marbot tidak hanya bertugas merawat dan memakmurkan masjid, nilai-nilai pengabdian yang tulus dan ikhlas bisa menjadi bekal untuk menjalani kehidupan sosial di masyarakat. Bahkan, bisa menunjukkan jalan karier yang cemerlang.
Muhammad Muhib Alwi masih ingat betul waktu dia membersihkan toilet dan karpet masjid Masjid Al-Hijrah, Malang, selama lima tahun sejak tahun 1998. Namun, selama lima tahun itu pula dia tidak perlu mengeluarkan untuk biaya indekos karena tinggal di masjid.
Bagi Muhib, menjadi marbot sejak saat kuliah adalah proses pendewasaannya, baik secara rohani maupun jasmani. Selama lima tahun itu, dia dilatih untuk sabar dan ikhlas melayani setiap umat di masjid yang berjarak sekitar lima menit dari kampusnya tersebut.
Baca juga: Marbot Masjid Masih Jauh dari Sejahtera
Ajaran ikhlas membuatnya kini bisa konsisten di jalan Tuhan dalam menjalani kehidupannya sebagai pengajar dan Ketua Program Studi Psikologi Islam di Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq, Jember, Jawa Timur.
”Yang paling tinggi berlatih pengertian, percaya diri, dan rendah hati sehingga yang saya rasakan di dalam hidup lebih banyak mengorbankan diri untuk mengabdi kepada orang lain dan kepada agama secara lebih luas. Dari situ kita melihat kehidupan dan kerja kita itu seakan nilai kemanfaatannya jauh lebih besar,” kata Muhib yang dihubungi dari Jakarta, Selasa (26/3/2024).
Nilai-nilai itulah yang diterapkan Muhib dalam aktivitas mengajarnya sehari-hari tanpa berharap imbalan. Baginya, bekerja bukan sekadar mencari uang, melainkan juga pengabdian dan proses pembelajaran yang tak akan pernah berakhir.
” Bagi saya ada perasaan malu menerima (uang) saat itu, malu karena mengurangi perasaan senang saat melakukan pengabdian. Kecuali memang kita punya jasa betul,” ucapnya.
Marbot mahasiswa bertanggung jawab pada kebersihan dan kegiatan keagamaan di masjid. Mereka juga bertugas mengumandangkan azan lima waktu dan mengajar mengaji di TPQ yang diselenggarakan di masjid. Mereka memastikan jadwal khatib dan imam shalat Jumat. Mereka yang berpengalaman bahkan harus siap menjadi badal saat sang khatib terjadwal berhalangan. Di luar itu mereka bisa mengajar mengaji secara privat di rumah-rumah jemaah.
Tugas sebagai marbot memberikan pelajaran penting tentang bagaimana melayani banyak orang dari berbagai kalangan, dari berbagai latar belakang.
Hidup Muhib sehari-hari dihabiskan di masjid, sampai saat ini walau sudah mendapatkan jabatan akademik pun tetap menjadi Pembina Dewan Kemakmuran Masjid. Sebab, masjid bukan lagi hal yang asing, melainkan rumah kedua bagi Muhid dan marbot-marbot lain.
”Kemudian ketika saya sudah berumah tangga, sudah memerankan diri di bidang pekerjaan saya, saya tetap menjadikan masjid itu seperti rumah. Jadi bukan sekadar tempat ibadah. Memang homey,” tuturnya.
Muhib ingin marbot menjadi profesi mulia seperti halnya profesi lain. Dia berharap masyarakat sekitar bisa turut membantu para marbotnya agar masjid tetap ramai. Keaktifan masyarakat sekitar sangat penting untuk menguatkan panggilan hidup seorang marbot.
Keterbatasan kemampuan keuangan
Pengalaman menjadi seorang marbot masjid juga pernah dirasakan langsung oleh Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Khairudin. Ia mengaku sama sekali tidak memiliki panggilan atau alasan khusus untuk terjun sebagai marbot masjid. Saat masih menempuh kuliah strata 1, tugas menjadi marbot masjid dijalankan karena dirinya terdesak oleh kondisi keterbatasan kemampuan keuangan.
Terlahir sebagai anak terakhir dari 10 bersaudara dan keluarga petani yang sederhana, Khairudin, yang ketika itu baru saja lulus SMK, merasa tidak sampai hati untuk terus-menerus meminta uang dari orangtuanya yang sudah makin menua. Dia sadar, dengan berbagai cara, dia harus bisa mandiri menempuh kuliah, tanpa memberatkan ayah ibunya.
Baca juga: Marbot, Pekerjaan Sukarela yang Menenteramkan
Sejak berangkat ke Yogyakarta, Khairudin sudah melihat bahwa peluang untuk bisa mendapatkan tempat tinggal yang bisa ditempati secara gratis adalah dengan bekerja sebagai marbot masjid. Hal ini pun kemudian disampaikannya kepada salah seorang kakak tingkatnya yang kemudian juga mengantarkannya untuk melamar sebagai marbot di Masjid Al Amin di perkampungan di Condongcatur, Kabupaten Sleman.
Dalam wawancara singkat oleh pengurus masjid, keseriusan dan kesanggupan Khairudin diuji dan dipertanyakan kembali. Namun, dia pun menjawab tegas siap untuk menjalankan semua tugas dan kewajiban sebagai marbot.
Hal itu pun dibuktikannya. Menjalankan tugas marbot kemudian dirasakannya tidaklah mudah dan cukup menyita waktu kesehariannya sebagai mahasiswa. Selain harus membersihkan kompleks masjid, dia juga harus siap menjalankan tugas-tugas lain, seperti menggelar acara pengajian dan mengajar anak-anak mengaji.
Khairudin juga mendapatkan uang lelah sebagai imbalan atas tugas dan pekerjaan selaku marbot. Namun, karena nominal yang diterima tidak mampu mencukupi kebutuhan harian termasuk untuk keperluan kuliah, dia harus mencari pekerjaan lain.
Ternyata, peluang untuk mencari tambahan penghasilan juga tidak jauh-jauh dari masjid. Ketika itu, salah seorang pengurus masjid yang kebetulan juga menjadi produsen tempe, menawarinya untuk menjadi reseller tempe produksinya.
Pelajaran melayani
Pengalaman yang dilalui semasa menjalani tugas sebagai marbot, menurut dia, memberikan pelajaran penting tentang bagaimana melayani banyak orang dari berbagai kalangan, dari berbagai latar belakang. Dari situlah kemudian ia belajar lebih sabar, melayani orang lain, terutama warga lanjut usia, yang sering kali harus didampingi dalam berbagai aktivitas keagamaan, termasuk saat membayar zakat.
”Ketika harus mendampingi warga lansia akan membayar zakat, saya pun harus siap membantu segala sesuatunya, termasuk saat diperlukan untuk menuliskan nama di amplop zakat,” ujarnya.
Baca juga: Marbot Masjid Al Hikmah Tetap Ikhlas Mengabdi di Tengah Keterbatasan
Meski demikian, semua pengalaman itu dinilainya memberi bekal penting untuk kehidupan di masa sekarang. Selain melatih semangat untuk melayani, pengalaman menjadi marbot juga dinilainya juga mampu mengasah jiwa kepemimpinan, membuat lebih percaya diri, serta terampil memimpin rapat dan memberikan sambutan.
Pengalaman menjadi pelayan masjid juga membuatnya juga sering terpanggil untuk memberikan pelayanan di lingkup lain seperti di RT dan RW. Kesibukannya selama empat tahun tersebut juga membuatnya terus ingin merasakan kedekatan dan berkontribusi pada masjid. Namun, sesuai dengan situasi dan kondisi di masa kini, kontribusi tersebut diwujudkan dalam bentuk berbeda. ”Jika dahulu menjadi marbot, maka sekarang saya sekarang menjadi pengurus takmir masjid,” ujarnya.