Sasi Menjaga Keseimbangan Pelestarian Ekologi dan Pemanfaatan Ekonomi
Dalam tiga hari, pembukaan sasi di Kampung Kapatcol, Raja Ampat, menghasilkan 1.138 teripang, 599 lola, dan 20 lobster.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
WAISAI, KOMPAS — Pembukaan sasi laut oleh Kelompok Perempuan Waifuna di Kampung Kapatcol, Misool Barat, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, memperoleh hasil melimpah. Dengan membatasi akses penangkapan serta alat tangkap dalam kawasan dan jangka waktu tertentu, tradisi sasi ini menjaga keseimbangan pelestarian ekologi dan pemanfaatan ekonomi.
Buka sasi di perairan sisi barat Kampung Kapatcol itu dimulai hari Senin (25/3/2024). Hingga Rabu sore, buka sasi telah menghasilkan 1.138 teripang, 599 lola, dan 20 lobster. Sasi di kawasan seluas 213 hektar itu dibuka setelah ditutup selama hampir satu tahun.
Keterlibatan kelompok perempuan atau mama-mama di Kapatcol dalam mengelola sasi dimulai sejak 2011. Kelompok tersebut didampingi oleh Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) untuk mengelola laut secara berkelanjutan.
Koordinator Program Bentang Laut Kepala Burung YKAN Awaludinnoer mengatakan, hasil buka sasi tahun ini menjadi yang terbanyak sejak 2011. Proses buka sasi tahun ini berlangsung hingga Rabu (27/3/2024).
”Kerja-kerja YKAN memang untuk memastikan keseimbangan antara pelestarian ekologi dan pemanfaatan ekonomi. Salah satu caranya dengan membatasi ukuran tangkapan dan penggunaan alat tangkap. Tradisi sasi menjadi pendekatan untuk mewujudkannya,” ujarnya.
Penangkapan biota laut saat buka sasi dilakukan dengan menyelam secara tradisional. Warga langsung menangkapnya dengan tangan atau menggunakan tombak dan gate-gate (alat penangkap lobster berbahan nilon). Saat menyelam, mereka memakai kacamata renang, snorkel, dan fins. Penggunaan kompresor tidak diperbolehkan.
Warga mengukur setiap hasil tangkapan. Hanya teripang dengan panjang 15 sentimeter atau lebih yang boleh diambil. Untuk lola dengan ukuran 7 cm ke atas. Sementara lobster dengan berat lebih dari 5 ons. Tangkapan yang tidak sesuai dengan ketentuan ukuran tersebut dikembalikan ke laut.
Awaludinnoer menuturkan, pembatasan tangkapan berdasarkan ukuran dilakukan agar pemanfaatan laut dapat berkelanjutan. Dengan begitu, biota laut yang berukuran kecil dapat dipanen pada buka sasi selanjutnya.
Sasi ibarat tabungan bagi warga Kapatcol.
”Sekarang warga sudah bisa memilah tangkapan yang layak untuk diambil. Mereka mengukurnya sendiri. Menumbuhkan kesadaran ini yang menjadi tantangan di awal-awal. Sekarang, mereka paham bagaimana agar hasil laut bisa dimanfaatkan untuk jangka panjang,” ucapnya.
Hasil buka sasi pada Senin-Rabu akan digunakan untuk keperluan berdasarkan kesepakatan kelompok mama-mama. Setelah itu, warga dapat mengambil hasil laut untuk keperluan lainnya sebelum sasi kembali ditutup sekitar dua pekan ke depan.
Sebelum dijual, teripang direbus, diasapi, dan dikeringkan. Teripang kering dihargai mulai dari Rp 50.000 per kilogram hingga di atas Rp 800.000 per kg, berdasarkan jenis dan ukurannya. Sementara lobster dihargai sekitar Rp 200.000 per kg.
Hampir semua warga Kapatcol ikut memanen hasil sasi. Dibutuhkan waktu sekitar setengah jam menggunakan perahu motor menuju kawasan sasi. Mereka mengambil biota laut pada pagi hingga siang dan kemudian dilanjutkan pada malam hari.
Memiliki tabungan
Selain melaut, warga Kapatcol juga berkebun. Mereka menanam berbagai komoditas, di antaranya kelapa, pisang, dan sayur-sayuran, di pulau-pulau kecil di sekitar kampung tersebut.
Ketua Kelompok Perempuan Waifuna Almina Kacili mengatakan, sasi ibarat tabungan bagi warga Kapatcol. Mereka tidak mengambil hasil laut di satu kawasan selama sekitar satu tahun. Dengan begitu, saat sasi dibuka, hasilnya akan melimpah.
”Seperti menabung saja. Kalau tidak diambil, teripang, lobster, lola, dan ikan semakin lama akan semakin banyak. Hasil dari buka sasi bisa dipakai untuk berbagai kebutuhan. Untuk tahun ini disepakati membantu pengobatan dua anak yang sedang sakit,” ujarnya.
Tetua adat Kampung Kapatcol, Yosep Weutot, menyebutkan, sasi merupakan tradisi untuk mengambil hasil laut dengan cara ramah lingkungan. Pembatasan akses tangkapan dan alat tangkap bertujuan mencegah kerusakan ekosistem laut.
”Sasi ini tradisi nenek moyang kami. Sasi ditutup supaya laut tidak rusak dan ikan tetap banyak. Saat sasi dibuka, hasilnya bisa dimanfaatkan untuk keperluan bersama,” ucapnya.
Marsince Korwa (43), warga Kampung Kapatcol, menuturkan, buka sasi tahun ini sangat melimpah. Warga dapat menangkap teripang di laut dengan kedalaman kurang dari 3 meter.
”Cuaca juga bagus, tidak ada ombak besar. Kalau tahun lalu cuaca kurang baik, angin kencang jadi, warga (saat itu) tidak bisa lama-lama molo (menyelam). Hasil tahun ini mungkin yang terbanyak selama buka sasi,” katanya.