Hasil Penapisan Kemenkes Penting untuk Perbaikan PPDS
Hasil skrining Kemenkes memberikan masukan penting bagi institusi pendidikan. Beban peserta PPDS lebih kompleks.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·2 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Penapisan atau skrining terhadap kondisi kesehatan jiwa mahasiswa program pendidikan dokter spesialis menjadi modal penting bagi institusi pendidikan, kolegium dokter, dan rumah sakit pendidikan untuk mengetahui sedari dini kondisi mahasiswa. Mahasiswa dapat memanfaatkan pelayanan konseling di unit bimbingan dan konseling ataupun dari pembimbing akademik mereka.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali, Komang Januartha Putra Pinatih menyatakan, penapisan kondisi kesehatan jiwa mahasiswa, termasuk mahasiswa PPDS, sudah dijalankan melalui penilaian kepribadian dan psikopatologi dengan tes minnesota multiphasic personality inventory (MMPI) pada tahap awal penerimaan mahasiswa. Peserta didik, termasuk calon dokter spesialis, dapat mengalami tekanan kejiwaan ataupun gangguan psikologis selama menempuh pendidikan tinggi karena beban di pendidikan ataupun beban di luar pendidikan.
”Oleh karena itu, skrining dari Kementerian Kesehatan ini menjadi upaya bagus untuk mendeteksi sedini mungkin permasalahan, yang mungkin dialami calon dokter spesialis,” ujar Januartha.
Secara terpisah, psikolog klinis di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Prof Dr IGNG Ngoerah, Kota Denpasar, Lyly Puspa Palupi Sutaryo, mengungkapkan, depresi dapat dipicu beragam faktor. Program pendidikan tinggi, termasuk pendidikan dokter spesialis, memiliki tingkat kesulitan yang tinggi dan kompleks. Para peserta PPDS dituntut memiliki kesiapan secara komprehensif, termasuk kesiapan secara mental dan fisik, selain kemampuan finansial dan kemampuan kognitif.
”Dengan tingkat kesulitan yang tinggi, (itu) bisa memunculkan stresor bagi peserta didik,” kata Lyly.
Dengan kondisi itu, dimungkinkan terdapat peserta didik yang mengalami kesulitan dalam mengatasi stres selama mengikuti PPDS. Apabila kondisi itu tidak segera ditangani dan terus dialami dalam jangka waktu cukup panjang, menurut Lyly, hal tersebut akan memunculkan gejala depresi, salah satunya muncul perasaan tidak berdaya.
Diperlukan pula evaluasi terhadap sistem pendidikan terhadap aspek-aspek, yang memberikan tekanan berlebih kepada para peserta didik.
Sebelumnya, dalam pemberitaan Kompas edisi Selasa (16/4/2024), hasil kuesioner terhadap 12.121 mahasiswa PPDS di 28 rumah sakit vertikal pada 21, 22, dan 24 Maret 2024 mengindikasikan 22,4 persen mahasiswa PPDS tersebut terdeteksi mengalami gejala depresi. Sebanyak 3,3 persen atau 399 orang di antaranya bahkan mengaku lebih baik mengakhiri hidup atau ingin melukai diri.
Terungkapnya kondisi kerentanan itu membuat Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Senin (15/4/2024), memerintahkan segera dilakukan penanganan kepada mahasiswa calon dokter spesialis tersebut. Penanganan diutamakan pada mereka yang bergejala depresi berat. Menkes Budi Gunadi Sadikin juga meminta penyebab gejala depresi itu dapat diketahui dengan tepat.
Lebih lanjut Januartha menambahkan, pihaknya di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana belum memperoleh laporan hasil skrining kesehatan jiwa itu. Meski demikian, Januartha mengakui beban peserta PPDS memang tinggi karena calon dokter spesialis itu sehari-hari juga bertemu dengan pasien di rumah sakit pendidikan dan mereka harus memikirkan keselamatan pasien sejalan dengan program pendidikannya itu.
”Skrining ini bagus untuk mendeteksi permasalahan peserta didik, termasuk peserta pendidikan dokter spesialis, karena kemungkinan stres itu ada,” kata Januartha.
”Hasil skrining ini bisa menjadi masukan bagi semua pihak yang terlibat proses pendidikan kedokteran,” ucapnya.
Hasil skrining kesehatan jiwa itu, menurut dia, masih memerlukan pemeriksaan lanjutan untuk memastikan kebenaran jawaban dalam kuesioner dan juga menelusuri penyebab stres, yang dialami calon dokter spesialis. Dengan mengenali penyebabnya, menurut Januartha, maka diketahui cara penanganannya secara tepat.
”Untuk memastikan dan mengidentifikasi penyebabnya itu perlu pendampingan dari psikiater dan wawancara,” katanya.
Hal senada disampaikan Lyly. Menurut dia, skrining dari Kemenkes juga dapat dilanjutkan pihak institusi pendidikan untuk memantau indikasi munculnya masalah psikis di kalangan mahasiswa PPDS. Dengan menemukan indikasi masalah itu sedari dini, maka langkah penanganannya pun dapat dijalankan dengan cepat dengan sistem bimbingan dan pendampingan, baik oleh dosen pembimbing akademik maupun oleh psikolog atau psikiater.
”Diperlukan pula evaluasi terhadap sistem pendidikan terhadap aspek-aspek, yang memberikan tekanan berlebih kepada para peserta didik,” kata Lyly.