logo Kompas.id
HumanioraMuseum Bukan Sekadar Menyimpan...
Iklan

Museum Bukan Sekadar Menyimpan Benda Bersejarah

Relevansi menjadi kunci dalam mengelola museum dan cagar budaya. Museum bukan sebatas penyimpanan benda-benda kuno.

Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
· 5 menit baca
Suasana diskusi terbatas dengan tema ”Menjaga Warisan Budaya, Reimajinasi Museum dan Cagar Budaya di Indonesia” yang digelar atas kerja sama harian <i>Kompas</i> dan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi di Menara <i>Kompas</i>, Jakarta, Kamis (18/4/2024).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Suasana diskusi terbatas dengan tema ”Menjaga Warisan Budaya, Reimajinasi Museum dan Cagar Budaya di Indonesia” yang digelar atas kerja sama harian Kompas dan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi di Menara Kompas, Jakarta, Kamis (18/4/2024).

JAKARTA, KOMPAS — Museum bukan sekadar tempat menyimpan benda-benda bersejarah. Sebelum menjadi koleksi museum, benda-benda tersebut merupakan bagian dari kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek, seperti spiritual, sosial, dan kultural. Narasi ini perlu terus diperkuat agar keberadaan museum tetap relevan dengan perkembangan zaman.

Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid mengatakan, relevansi menjadi kunci dalam mengelola museum dan cagar budaya. Transformasi pengelolaannya berusaha diwujudkan dengan membentuk Badan Layanan Umum Museum dan Cagar Budaya atau Indonesian Heritage Agency (BLU MCB/IHA).

”Kalau dulu orang melihat peran museum untuk menjaga koleksi agar terawat dan sebagainya. Itu pasti sesuatu yang harus kita kerjakan. Namun, misinya sekarang adalah membawa koleksinya mendekat pada masyarakat,” ujarnya dalam diskusi kelompok terarah (FGD) bertema ”Menjaga Warisan Budaya dan Reimajinasi Museum dan Cagar Budaya di Indonesia”, di Menara Kompas, Jakarta, Kamis (18/4/2024).

Diskusi ini menghasilkan berbagai masukan dalam pengembangan museum dan cagar budaya. Acara tersebut diikuti sejumlah pihak dari beragam latar belakang, di antaranya Direktur Program Bakti Budaya Djarum Foundation Renitasari, Pendiri Yayasan Warna Warni Indonesia Nina Akbar Tandjung, perancang busana Edward Hutabarat, serta kurator museum, arkeolog, dan perwakilan komunitas.

Hilmar mengatakan, pemaknaan museum di Indonesia berbeda dengan negara-negara di Eropa dan Amerika. Di negara-negara tersebut, umumnya koleksi museum dipamerkan hanya sebagai bagian dari masa lalu. Bahkan, beberapa benda koleksinya diambil dari negara lain.

Lihat juga: Diskusi Menjaga Warisan Budaya dan Reimajinasi Museum dan Cagar Budaya di Indonesia

Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid (tengah), Pelaksana Tugas Kepala Badan Layanan Umum Ahmad Mahendra (kiri), dan Wakil Pemimpin Redaksi <i>Kompas </i>Haryo Damardono dalam diskusi terbatas dengan tema ”Menjaga Warisan Budaya, Reimajinasi Museum dan Cagar Budaya di Indonesia” yang digelar atas kerja sama harian <i>Kompas </i>dan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi di Menara <i>Kompas,</i> Jakarta, Kamis (18/4/2024).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid (tengah), Pelaksana Tugas Kepala Badan Layanan Umum Ahmad Mahendra (kiri), dan Wakil Pemimpin Redaksi Kompas Haryo Damardono dalam diskusi terbatas dengan tema ”Menjaga Warisan Budaya, Reimajinasi Museum dan Cagar Budaya di Indonesia” yang digelar atas kerja sama harian Kompas dan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi di Menara Kompas, Jakarta, Kamis (18/4/2024).

Sementara koleksi museum di Tanah Air masih mempunyai makna simbolik dan kultural hingga saat ini. Interaksi masyarakat dengan benda-benda koleksi museum sangat bervariasi, bergantung nilai-nilai yang terkandung dalam benda tersebut.

”Terbuka kemungkinan bagi masyarakat mendekat pada koleksi museum dengan berbagai cara. Apakah dia mau merespons dengan tarian dan kegiatan lainnya. Tentunya menjaga keselamatan dan keutuhan dari koleksi,” ucapnya.

Adapun BLU MCB mengelola 18 museum dan 34 cagar budaya nasional, di antaranya Museum Nasional, Galeri Nasional Indonesia, Museum Sumpah Pemuda, Museum Batik Indonesia, Museum Prasejarah Semedo Tegal, dan Museum Prasejarah Sangiran.

Selain itu, BLU MCB mengelola Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muarajambi, Candi Borobudur, Candi Prambanan, Situs Gunung Padang, Situs Leang Timpuseng, dan Benteng Duurstede. Lokasinya tersebar di sejumlah wilayah, seperti Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Maluku.

Menurut Hilmar, pengelolaan museum dan cagar budaya yang tersebar di banyak wilayah menjadi tantangan yang tidak mudah. Apalagi, beberapa cagar budaya mempunyai kawasan sangat luas, salah satunya Kawasan Cagar Budaya Nasional Muarajambi dengan luas 3.981 hektar.

Peneliti melintasi kompleks Candi Kedaton di Kawasan Cagar Budaya Nasional Muarajambi, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, Rabu (15/3/2023).
KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN

Peneliti melintasi kompleks Candi Kedaton di Kawasan Cagar Budaya Nasional Muarajambi, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, Rabu (15/3/2023).

”Kita harus bekerja di banyak lini. Tentu pelibatan komunitas sangat esensial karena mereka lebih mengenal karakternya. MCB ini sebenarnya kita lihat sebagai platform kolaborasi agar bisa menjalankan misi tadi, mendekatkan koleksi museum dengan masyarakat,” ucapnya.

Pelaksana Tugas Kepala MCB Ahmad Mahendra menuturkan, BLU MCB merupakan unit pelaksana teknis yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat di bidang pengelolaan museum dan cagar budaya tanpa mengutamakan mencari keuntungan. Pelaksanaan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi, produktivitas, serta peningkatan pelayanan dan edukasi.

Iklan

”Pola pengelolaan keuangan BLU MCB adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan menerapkan praktik bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa,” ujarnya.

Museum bukan hanya menjadi tempat berkunjung dan mendapatkan pengetahuan. Namun, juga tempat bagi masyarakat menemukan kembali jati dirinya.

Narasi reimajinasi pengelolaan museum dan cagar budaya meliputi aspek reprogramming atau memprogram ulang dengan fokus pada pembaruan kuratorial dan koleksi, redesigning atau mendesain ulang yang bertujuan merenovasi bangunan dan ruang agar aman dan nyaman.

Aspek ketiga ialah reinvigorating atau berfokus pada penguatan kelembagaan profesionalisme dan peningkatan kompetensi. Ketiga hal itu memiliki program strategi masing-masing.

Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Haryo Damardono menyampaikan, pemerintah bisa melibatkan banyak pihak dalam mengelola museum dan cagar budaya. ”Kita berharap pertemuan ini membawa sesuatu yang positif, bisa diterapkan, dan berlanjut. Museum bisa menjadi tempat kita berkegiatan menjadi warga kota yang kreatif,” tuturnya.

Menghadirkan konteks

Sementara itu, Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Bondan Kanumoyoso memaparkan, koleksi museum di Indonesia sering sekali ditampilkan tanpa konteks. Oleh sebab itu, diperlukan narasi yang melekat pada setiap koleksi benda bersejarah di museum.

”Ritual-ritual yang berkaitan dengan koleksi museum dan cagar budaya jangan dibatasi, tetapi difasilitasi. Ini yang akan membuat museum kita hidup. Kelebihan museum di Indonesia banyak menempati cagar budaya atau tempat bersejarah. Kalau koleksinya dihidupkan, ini menjadi nilai tambah luar biasa,” ujarnya.

Diskusi terbatas dengan tema ”Menjaga Warisan Budaya, Reimajinasi Museum dan Cagar Budaya di Indonesia” yang digelar atas kerja sama harian <i>Kompas</i> dan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi di Menara <i>Kompas</i>, Jakarta, Kamis (18/4/2024).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Diskusi terbatas dengan tema ”Menjaga Warisan Budaya, Reimajinasi Museum dan Cagar Budaya di Indonesia” yang digelar atas kerja sama harian Kompas dan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi di Menara Kompas, Jakarta, Kamis (18/4/2024).

Menurut Bondan, rasa memiliki masyarakat terhadap koleksi museum harus ditumbuhkan. Hal ini akan memberikan pengalaman budaya bagi pengunjung lantaran benda-benda bersejarah yang disimpan di museum merupakan bagian dari kehidupan leluhur dan masih mempunyai makna bagi generasi saat ini.

”Museum bukan hanya menjadi tempat berkunjung dan mendapatkan pengetahuan. Namun, juga tempat bagi masyarakat menemukan kembali jati dirinya,” katanya.

Menurut Ketua Umum Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Marsis Sutopo, pengembangan museum dan cagar budaya juga perlu dibarengi dengan kejelasan regulasi. Hal ini salah satunya untuk mengedukasi masyarakat mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di kawasan tersebut.

”Hal ini karena yang memanfaatkannya masyarakat. Terkadang masyarakat tidak bisa memperoleh informasi yang jelas tentang regulasi di kawasan museum dan cagar budaya,” ucapnya.

Baca juga: Tiga Museum Jadi Model Percontohan Badan Layanan Umum

Desainer Edward Hutabarat mengambil video menggunakan gawai saat Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek berbicara dalam diskusi terbatas dengan tema ”Menjaga Warisan Budaya, Reimajinasi Museum dan Cagar Budaya di Indonesia” yang digelar atas kerja sama harian Kompas dan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi di Menara <i>Kompas</i>, Jakarta, Kamis (18/4/2024).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Desainer Edward Hutabarat mengambil video menggunakan gawai saat Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek berbicara dalam diskusi terbatas dengan tema ”Menjaga Warisan Budaya, Reimajinasi Museum dan Cagar Budaya di Indonesia” yang digelar atas kerja sama harian Kompas dan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi di Menara Kompas, Jakarta, Kamis (18/4/2024).

Kepala Pusat Riset Arkeometri Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Sofwan Noerwidi menegaskan, tanpa disertai dengan narasi, informasi yang diperoleh dari koleksi museum menjadi kurang optimal. Peneliti dapat melakukan riset, seperti arkeologi dan sejarah, untuk memperkuat narasi tersebut.

”Kami membayangkan ke depan ada narasi yang bisa merangkul semua golongan. Bagaimana, misalnya, pengunjung disabilitas yang tidak bisa melihat, tapi punya kesempatan untuk menyentuh koleksi museum. Museum harus inklusif untuk semua anak bangsa,” ujarnya.

Tim pameran Museum Macan, Jakarta, Dian Ina, mengatakan, pihaknya belajar mengelola museum dari sejumlah pihak. Pihaknya mempelajari standar-standar pengelolaan dari sejumlah museum, di antaranya Museum Zoologi dan Galeri Nasional. ”Kami banyak belajar di sini. Tidak semua hal harus belajar di luar negeri,” ujarnya.

Editor:
EVY RACHMAWATI
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000