Pendidikan Berkualitas Tanpa Kekerasan Dukung Kesehatan Mental
Dunia pendidikan tanpa kekerasan terus digaungkan untuk menyelamatkan anak bangsa yang cerdas dan sehat mentalnya.
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan berkualitas tanpa kekerasan harus menjadi komitmen sekolah hingga perguruan tinggi. Sebab, pendidikan tidak hanya untuk membentuk kecerdasan intelektual, tetapi juga kesehatan mental anak bangsa.
Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Chatarina Muliana Girsang di Jakarta, Senin (22/4/2024), mengatakan, institusi pendidikan berperan penting dalam pencegahan kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Sebab, pemerintah memiliki visi pendidikan nasional yang tidak hanya menekankan kecerdasan intelektual, tetapi juga kesehatan mental anak bangsa.
Menurut Chatarina, mengatasi kasus kekerasan seksual bukanlah hal yang mudah. Mulai dari perancangan regulasi hingga implementasinya akan ada banyak tantangan yang harus dihadapi, karena hal ini membutuhkan komitmen waktu dan usaha yang besar.
Baca juga: Perguruan Tinggi Berinovasi Atasi Kekerasan Seksual
Di perguruan tinggi, kekerasan seksual menjadi masalah krusial. Karena itu, pemerintah mendorong setiap perguruan tinggi (PT) membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual.
”Pemerintah terus berupaya mengembangkan dan menerapkan kebijakan-kebijakan untuk memfasilitasi langkah-langkah Satgas PPKS. Kemendikbudristek menjamin ketersediaan ruang komunikasi bagi perguruan tinggi yang ingin berdiskusi,” kata Chatarina.
Dalam upaya mewujudkan lingkungan akademik yang aman dan bebas dari kekerasan seksual, Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah III bersama Satgas PPKS Universitas Multimedia Nusantara (UMN) dan Politeknik Multimedia Nusantara (PMN) menggelar pertemuan koordinasi dan pembekalan rutin bagi Ketua Satgas PPKS di lingkungan LLDikti wilayah III pada pekan lalu. Dalam acara ini juga dilakukan penandatanganan pakta integritas serta pembacaan deklarasi yang dipimpin Ketua Senat UMN Budi Santoso kepada semua dosen dan staf UMN.
Langkah tersebut diinisiasi oleh UMN sebagai bagian dari komitmennya untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Kegiatan ini juga untuk mengajak semua satgas PPKS perguruan tinggi swasta (PTS) di lingkungan LLDikti Wilayah III bersama-sama menyuarakan pentingnya isu kekerasan seksual. Acara ini dihadiri jajaran LLDikti, rektorat UMN, serta perwakilan dari 148 institusi pendidikan di wilayah LLDikti III.
Percepatan
Kepala Lembaga Layanan Dikti Wilayah III Toni Toharudin menekankan pentingnya percepatan pembentukan Satgas PPKS di semua PTS. Hingga saat ini baru sekitar 50 persen PTS yang memiliki Satgas PPKS.
”Kami menetapkan strategi untuk mendukung percepatan pembentukan Satgas PPKS ini, seperti mengevaluasi Kartu Indonesia Pintar serta penundaan kenaikan pangkat untuk dosen yang berasal dari PTS yang belum membentuk Satgas PPKS,” kata Toni.
Sementara itu, Rektor UMN Ninok Leksono menegaskan, kasus kekerasan seksual merupakan hal yang harus diperhatikan dengan serius. Hal ini selaras dengan UMN yang telah mengambil langkah tegas dengan membentuk Satgas PPKS.
”PTS diharapkan bisa saling berbagi dan terinspirasi bagaimana menciptakan ruang yang aman, juga sekaligus memiliki pengetahuan mengenai Satgas PPKS untuk menangani masalah yang ada,” kata Ninok.
Ketua Satgas PPKS UMN Intan Primadini memaparkan, UMN menganggap penanganan kasus kekerasan seksual sebagai prioritas yang harus diperhatikan. Berbagai langkah dalam menangani dan mencegah kekerasan seksual di lingkungan kampus dilakukan dengan menggelar kegiatan pembekalan dan seminar.
”Di kampus, kami berupaya menciptakan ruang yang aman dan relasi yang sehat bagi semua warga kampus. Inisiatif ini mencakup pembekalan mengenai kesetaraan jender, teknik investigasi, dan melibatkan mahasiswa dalam peran aktif sebagai anggota Satgas PPKS,” kata Intan.
Satgas PPKS, tambah Intan, secara rutin mengampanyekan informasi edukatif dan memberikan panduan mengenai cara pelaporan kasus kekerasan seksual. Hal ini untuk meningkatkan kesadaran dan keterlibatan seluruh elemen kampus dalam pencegahan dan penanganan masalah ini.
Psikolog forensik Nathanael EJ Sumampouw menjelaskan teknik investigasi bagi pelaku dan korban dari perspektif korban. Dalam proses wawancara, sangat penting untuk tidak menghakimi korban. Penanya harus mengutamakan pendengaran aktif terhadap cerita korban dan memberikan ruang yang terbuka bagi mereka untuk berbicara.
”Dalam mengumpulkan informasi, kekuatan memori korban menjadi kunci. Karena itu, penting bagi korban untuk merasa nyaman dan tidak terbebani dalam memberikan pernyataan mereka,” ujar Nathanael.
Nathanael menambahkan, ketika melakukan investigasi terhadap pelaku, penanya perlu memahami keterkaitan hubungan antara pelaku dan korban, serta mengajukan pertanyaan dengan cara yang terbuka dan tidak menyalahkan. Dengan demikian, pelaku tidak merasa terdesak atau melakukan perlawanan.
Di sekolah
Secara terpisah, Kepala Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikbudristek Rusprita Putri Utami mengatakan, terciptanya lingkungan belajar yang inklusif, berkebinekaan, dan aman bagi semua warga satuan pendidikan penting untuk mendukung proses belajar-mengajar dengan maksimal. Kekerasan di satuan pendidikan dari jenjang anak usia dini hingga menengah kini juga menjadi komitmen dengan kewajiban membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di satuan pendidikan.
Hingga awal April 2024, lebih dari 87 persen satuan pendidikan, mulai dari jenjang PAUD, SD, SMP, SMA/SMK, SLB, hingga pendidikan kesetaraan, sudah membentuk TPPK. Selain itu, tercatat sudah 23 provinsi dan 347 kabupaten/kota yang telah membentuk Satgas PPKSP.
Rusprita menambahkan, Puspeka juga telah mengembangkan berbagai perangkat edukasi yang diharapkan dapat meningkatkan kapasitas para anggota TPPK atau PPKSP dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Perangkat yang sudah tersedia, antara lain, Petunjuk Teknis Tata Cara Pelaksanaan PPKSP dan Panduan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila, khususnya topik Bhinneka Tunggal Ika.
Baca juga: Kekerasan di Satuan Pendidikan Hambat Kualitas Belajar
Para guru secara mandiri dapat meningkatkan wawasannya tentang kekerasan lewat Platform Merdeka Mengajar (PMM). Ada modul seperti Disiplin Positif, Ayo Atasi Perundungan, Wawasan Kebinekaan Global, dan Bahan Ajar Kekerasan Seksual.
”Semua materi edukasi yang telah disediakan sejatinya untuk mendorong 100 persen pembentukan Satgas PPKSP yang ditargetkan selesai pada Agustus 2024. Ini penting dalam mewujudkan pendidikan Indonesia yang aman, nyaman, dan menyenangkan tanpa kekerasan,” ujarnya.
Di webinar Silaturahmi Merdeka Belajar bertajuk ”Perencanaan dan Penganggaran Implementasi PPKSP”pada awal April lalu, Pelaksana Harian Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah IV, Ditjen Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Suharyanto, mengatakan, Kemendagri berkomitmen mendukung dan mengawal implementasi program Merdeka Belajar serta pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan (PPKSP) di daerah.
Kepala SMP Negeri 1 Bintan, Kepulauan Riau, Sri Lestari berbagi praktik baik penanganan PPKSP di sekolahnya dengan melakukan kegiatan ONEM, yaitu pengaplikasian nilai-nilai karakter Optimis, Nasionalis, Empati, dan Mandiri. Selain itu, ada pula aksi bimbingan konseling dengan kegiatan Kawal Siswa Sampai Tuntas (Kasipatas), serta sosialisasi PPKSP kepada warga satuan pendidikan oleh TPPK bersama siswa.