Perkuat Surveilans Genomik dalam Pengendalian Arbovirus
Penyakit arbovirus, seperti demam dengue, meningkatkan ancaman kesehatan global. Penguatan surveilans diperlukan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Surveilans berbasis data genomik sangat penting untuk mengatasi beban kesehatan akibat arbovirus atau virus yang menular dari serangga. Risiko kesehatan akibat arbovirus diperkirakan akan meningkat, salah satunya penularan dari penyakit dengue.
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, penyakit arbovirus meningkatkan ancaman kesehatan global dan berpotensi menyebabkan epidemi dalam skala besar. Dampak ekonomi dari penyakit tersebut juga cukup signifikan.
”Jangkauan geografis arbovirus meluas akibat urbanisasi, perubahan iklim, dan pesatnya perkembangan populasi nyamuk,” katanya dalam pidato pembuka yang disampaikan melalui pesan video dalam International Arbovirus Summit Indonesia 2024 yang diikuti secara daring dari Jakarta, Senin (22/4/2024).
Acara International Arbovirus Summit Indonesia 2024 dijadwalkan diselenggarakan selama dua hari pada 22-23 April di Bali.
Jangkauan geografis arbovirus meluas akibat urbanisasi, perubahan iklim, dan pesatnya perkembangan populasi nyamuk.
Arbovirus atau Arthropod Borne Virus merupakan virus yang ditularkan oleh vektor artropoda atau serangga. Adapun penyakit arbovirus meliputi antara lain penyakit demam dengue, chikungunya, zika, dan japanese encephalitis.
Tedros menuturkan, kasus demam dengue yang dilaporkan pada 2023 mencapai 6 juta kasus. Sementara sepanjang 2024 ini, kasus yang dilaporkan sudah mencapai 3 juta kasus. Padahal, penularan demam dengue masih belum intens dilaporkan di beberapa wilayah.
Inisiatif global
Ia menyampaikan, upaya kesiapsiagaan, pencegahan, dan pengendalian arbovirus harus terus diperkuat. Pihak WHO pun telah membentuk inisiatif global arbovirus untuk mendukung setiap negara memperkuat upaya tersebut.
Menurut Tedros, salah satu kebutuhan paling mendesak untuk mendukung hal tersebut yakni integrasi antara surveilans genomik dan surveilans arbovirus. Melalui integrasi surveilans tersebut, pemantauan risiko dan respons dalam kondisi darurat bisa lebih baik.
”Penting juga untuk mengurangi kesenjangan antarnegara dalam kapasitas diagnostik dan genomik arbovirus dengan memanfaatkan kapasitas yang sebelumnya sudah dibangun selama pandemi Covid-19,” kata Tedros.
Terkait hal itu, kerja sama dan kemitraan dari lintas sektor sangat diperlukan untuk memperkuat upaya kesehatan masyarakat sekaligus memperkuat integrasi dalam pengembangan surveilans genomik untuk penanganan arbovirus di dunia. Setiap negara pun diharapkan bisa berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan mengenai penyakit tersebut.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, penguatan surveilans dalam menghadapi penyakit akibat arbovirus di Indonesia akan dilakukan dengan meningkatkan kapasitas laboratorium kesehatan masyarakat. Ditargetkan setiap kabupaten/ kota dapat memiliki kemampuan pemeriksaan berbasis biologi molekuler.
Melalui kerja sama dengan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat dan Bank Dunia, penguatan jejaring laboratorium kesehatan masyarakat akan diperkuat di Indonesia. Hal itu untuk memperkuat jejaring di 514 kabupaten/ kota dan 38 provinsi serta enam laboratorium regional dan dua laboratorium nasional dengan teknologi Biosafety Level 3 (BSL-3).
Pada jurnal yang diterbitkan di The Lancet pada 1 Agustus 2023 disebutkan pula bahwa perluasan pengawasan genomik terhadap penularan arbovirus semakin mendesak. Pengawasan penyakit berbasis molekuler tersebut diperlukan untuk menghasilkan data genom serta metadata terkait epidemiologi penyakit.
Data tersebut dapat bermanfaat untuk peringatan dini ketika terjadi wabah, meningkatkan pemahaman mengenai potensi epidemi, deteksi dini adanya perubahan sifat virus yang lebih ganas, serta basis data untuk pengembangan teknologi tersebut, seperti pengembangan vaksin atau pengendalian vektor dengan nyamuk ber-Wolbachia.
Selain penguatan surveilans, peningkatan edukasi dan pemahaman masyarakat mengenai penularan arbovirus juga tak kalah penting. Edukasi merupakan upaya pencegahan paling utama karena dapat membentuk perubahan pola perilaku masyarakat menjadi lebih sehat. Hal itu juga termasuk mengubah perilaku masyarakat dalam pengendalian vektor penular.
Menurut Budi, edukasi yang dilakukan melalui media sosial dapat secara efektif meningkatkan pemahaman di masyarakat. Namun, media sosial pun bisa menjadi ancaman jika isu yang lebih banyak beredar adalah informasi yang salah atau hoaks.
”Oleh karena itu, strategi media sosial yang kuat dalam mengedukasi dan mempromosikan kesehatan menjadi tanggung jawab semua Menteri Kesehatan dunia,” ujarnya.