Anak jangan hanya dilibatkan dalam aksi iklim, tetapi juga dalam tataran pembuatan kebijakan.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anak-anak sebagai generasi penerus berpotensi menjadi korban dari dampak perubahan iklim yang saat ini sudah semakin mengkhawatirkan. Peran mereka didorong tidak hanya dilibatkan dalam aksi iklim saja, tetapi juga dalam tataran pembuatan kebijakan mitigasi perubahan iklim.
Deputi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda, Kementerian Koordinator Bidang Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Woro Srihastuti Sulistyaningrum, mengatakan, anak-anak zaman sekarang semakin rentan dengan penyakit, seperti infeksi saluran pernapasan akut. Saat sakit, anak-anak tidak bisa sekolah sehingga proses pendidikan mereka terhambat.
Selain itu, perubahan iklim turut menyebabkan kerawanan pangan karena kekeringan atau banjir. Bencana yang semakin sering dan berkepanjangan ini turut berkontribusi pada kemiskinan, lalu mendorong peningkatan angka perkawinan anak dan tengkes. Ini terbukti di Kabupaten Lombok Barat yang mengalami kekeringan, lalu meningkatkan prevalensi tengkesnya menjadi 34 persen.
”Selama ini kita selalu bicara dampak perubahan iklim dari sisi ekonomi atau lingkungan hidup, sedikit sekali yang melihat dampak perubahan iklim dari sudut pandang anak-anak,” kata Woro di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, Kamis (25/4/2024).
Perubahan iklim yang menyebabkan kemiskinan juga membuat banyak anak-anak harus bekerja membantu perekonomian keluarganya, akibatnya hak atas pendidikan anak tercerabut. Padahal, 10 hak anak sudah dijamin dalam Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990 sebagai turunan dari konvensi hak anak Persatuan Bangsa-Bangsa tahun 1989.
Sementara itu, Indeks Risiko Iklim Anak oleh Unicef pada 2021 menempatkan Indonesia di peringkat ke-46 dari 195 negara dengan faktor iklim dan lingkungan pada tingkat keparahan sangat tinggi, yaitu 8,1 dan kerentanan anak 4,2 (sedang), serta indeks risiko iklim anak-anak 6,5 (tinggi). Anak selalu menjadi pihak yang menanggung beban ganda karena tumbuh dalam situasi yang mengancam dan membuatnya lebih rentan secara fisik, sosial, dan ekonomi.
Dalam studi awal Save The Children di 10 desa di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, pada 2023 menunjukkan, pengetahuan dan sikap anak terhadap informasi perubahan iklim sebenarnya sudah baik, di atas 75 persen. Namun, perilaku untuk memitigasi dan beradaptasi dengan iklim masih rendah, yakni 41,8 persen.
”Jadi, mereka itu tahu membuang sampah bisa menyebabkan banjir dan sikapnya menyatakan tidak mau membuang sampah sembarangan, tetapi dalam praktiknya kita lihat banyak saluran masih tergenang sampah,” kata Interim Chief of ACCM (Advocacy, Campaign, Communication, and Media), Save The Children, Tata Sudrajat.
Dampak langsung perubahan iklim pada kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan perlindungan anak ini sudah terjadi.
Dia menjelaskan, ini akibat dari rendahnya keterlibatan anak-anak dan orang muda dalam program dan kebijakan mengenai perubahan iklim. Di tingkat global, hanya 2 persen anak yang dilibatkan dalam perumusan dokumen komitmen dan aksi iklim negaranya (NDC) sebelum disampaikan kepada dunia dalam forum Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim United Nations (UNFCCC).
Contoh lain yang membuat anak menjadi korban dari perubahan iklim adalah banyaknya kasus perdagangan orang di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Ini disebabkan orangtua di dua provinsi ini menjadi miskin diduga karena keterbatasan sumber daya, baik air, pangan, terganggunya mata pencarian, maupun penyakit yang memberatkan pengasuhan anak dan berisiko pada tumbuh kembang anak.
Oleh sebab itu, generasi muda didorong untuk terus terlibat berpartisipasi dalam setiap aksi iklim hingga aktif mendesak hak mereka dalam tataran kebijakan. Pemerintah juga harus berkomitmen mau mendengarkan suara anak-anak dengan melahirkan berbagai kebijakan dan program dengan mengintegrasi aspek kesehatan, pendidikan, dan perlindungan anak dalam kebijakan dan program adaptasi iklim.
”Ini fakta bahwa adanya dampak langsung perubahan iklim pada kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan perlindungan anak ini sudah terjadi. Ini perlu kita dalami lebih lanjut,” ucapnya.
Interim Chief Executive Officer (CEO) Save the Children Indonesia Dessy Kurwiany Ukar menambahkan, resiliensi anak terhadap perubahan iklim harus dibangun supaya mereka selamat dari berbagi risiko. Selain melanjutkan studi, pihaknya juga akan terus mengampanyekan generasi iklim di delapan kota, yaitu Banda Aceh, DKI Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Bali, Samarinda, Palu, dan Makassar pada Juli hingga November mendatang.
Generasi muda akan diajak melakukan aksi iklim dan merumuskan sejumlah rekomendasi kebijakan iklim yang khas di daerahnya masing-masing. Mereka sebagai warga lokal diyakini mampu memahami secara langsung kebijakan terbaik untuk daerahnya memitigasi perubahan iklim.
”Ini untuk meningkatkan kesadaran dan tindakan awal agar kita bisa bersama-sama berupaya memastikan hak-hak anak yang sekarang rawan pada dampak krisis iklim,” kata Dessy.