Suhu global yang terus memanas telah mempersempit ruang hidup manusia di bumi karena cuaca kian ekstrem.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
April 2024 menjadi bulan ke-11 berturut-turut yang memecahkan rekor suhu terpanas dalam catatan sejarah di bumi. Suhu yang terus memanas telah mengganggu sistem atmosfer sehingga memicu kontras cuaca ekstrem di tahun ini: di satu bagian gelombang panas, tetapi di bagian lain hujan lebat memicu banjir dan longsor.
Di Chile, panas ekstrem telah memicu kebakaran hutan hebat yang menewaskan sedikitnya 51 orang pada Minggu (5/5/2024). Sementara itu, di negara tetangganya, Brasil, banjir besar dan longsor menewaskan sedikitnya 78 orang, 105 orang hilang, dan 175 orang luka-luka. Hampir 19.000 orang kehilangan tempat tinggal akibat banjir ini, sekitar 116.000 orang mengungsi, dan hampir 850.000 orang terkena dampaknya di 341 kota di Brasil.
Kontras cuaca ekstrem juga terjadi di Afrika. Hujan lebat baru-baru ini telah menyebabkan banjir besar dan tanah longsor di Kenya, Tanzania, dan Burundi. Sekitar 210 orang tewas di Kenya sejak Maret dan 90 orang lainnya hilang, sedangkan di Tanzania 155 orang tewas, begitu juga di Burundi, 29 orang tewas.
Sebelumnya, pada akhir Maret dan awal April, panas ekstrem melanda negara-negara di Sahel dan Afrika Barat. Suhu terpanas terjadi pada 3 April, saat Mali mencatat suhu 48,5 derajat celsius. Rumah Sakit Gabriel-Toure, di ibu kota Mali, mengumumkan lonjakan jumlah kematian berlebih dengan 102 kematian selama empat hari pertama bulan April.
Gelombang panas yang memecahkan rekor tertinggi juga melanda negara-negara Asia Selatan dan sebagian Asia Tenggara. Rekor suhu nasional Myanmar tercapai pada Senin (29/4/2024) dengan suhu 48,2 derajat celsius. Kamboja dan Thailand juga mengalami suhu panas yang luar biasa dan suhu panas ekstrem telah meluas hingga ke India, di mana banyak lokasi yang suhunya mencapai suhu tertinggi di siang hari melebihi 46 derajat celsius.
Di Jepang, Tokyo, mengalami rekor hari terpanas di bulan Maret dan secara keseluruhan negara tersebut mengalami hari terpanas di bulan April. Selain itu, Jepang juga mengalami malam terpanas di bulan April yang pernah tercatat dengan suhu terendah di Ishigaki turun hingga hanya 27,6 derajat celsius untuk semalam. Di Tiongkok, stasiun pengamatan di Provinsi Yunnan memecahkan rekor suhu tertinggi sepanjang masa di negara tersebut pada bulan April dengan suhu 43,4 derajat celsius.
Indonesia bisa berada di urutan ketiga negara dengan jumlah penduduk paling berisiko terpapar kenaikan suhu global ini, yaitu lebih dari 100 juta orang bakal tinggal di luar ”relung iklim manusia ”.
Suhu udara di Distrik Jessore, di bagian barat daya Bangladesh, tercatat 43,8 derajat celsius, pekan lalu, merupakan rekor tertinggi sejak 1989, menurut Bangladesh Meteorological Department. Setidaknya 10 orang di negara ini meninggal dalam sepakan terakhir karena paparan panas ekstrem.
Sekalipun tidak dikategorikan sebagai gelombang panas, suhu di Indonesia juga sangat terik dan anomali kenaikan suhu pada bulan April mencapai 0,89 derajat celsius lebih panas dari rata-rata klimatologisnya. Anomali suhu udara Indonesia pada bulan April 2024 ini merupakan nilai yang tertinggi sepanjang periode pengamatan sejak 1981.
Suhu udara rata-rata bulan April 2024 di Indonesia mencapai 27,74 derajat celsius. Adapun normal suhu udara klimatologis untuk bulan April periode 1991-2020 di Indonesia 26,85 derajat celsius.
Keberadaan lautan di sekitar Indonesia dan topografi pegunungan telah menjadi buffer atau penyangga alami yang mencegah kenaikan suhu permukaan secara ekstrem. Mengacu standar Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), gelombang panas mesti ditandai dengan kenaikan suhu hingga 5 derajat celsius dari rata-ratanya dalam tempo setidaknya lima hari berturut-turut.
Saat suhu terik ini, sebagian lain wilayah Indonesia justru dilanda hujan lebat. Banjir dan tanah longsor yang melanda tujuh kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan menyebabkan 13 orang meninggal di Kabupaten Luwu.
Serangkaian bencana yang melanda dunia sepanjang tahun 2024 menjadi alarm bahaya tentang kekacauan sistem iklim bumi yang disebabkan bumi yang mendidih. Analisis Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), pekan lalu, menyebutkan, berkurangnya kekuatan El Nino, bersamaan dengan terjadinya Indian Ocean Dipole positif, turut berperan, terutama dalam banjir di Afrika Timur—dan belakangan Brasil, serta suhu tinggi di Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Namun, kelebihan energi yang terperangkap di atmosfer dan lautan akibat gas rumah kaca yang disebabkan oleh manusia juga mempunyai pengaruh besar, terutama terhadap panas ekstrem dan tingginya penguapan yang memicu hujan ekstrem.
Di satu sisi, peningkatan pemanasan menyebabkan penguapan yang lebih besar dan dengan demikian terjadi pengeringan permukaan. Hal ini meningkatkan intensitas dan durasi panas ekstrem. Namun, pada saat yang sama, menurut Trenberth (Encyclopedia of Hydrological Sciences, 2008), kapasitas udara menahan air meningkat sekitar 7 persen per 1 derajat celsius pemanasan.
Sesuai hubungan Clausius-Clapeyron, kenaikan suhu permukaan akan meningkatkan kapasitas atmosfer menahan air. Setiap kenaikan satu derajat pemanasan global diperkirakan akan menyebabkan peningkatan curah hujan harian yang ekstrem, di mana untuk wilayah tropis seperti Indonesia, menurut kajian Siswanto (2022), peningkatannya bisa mencapai 14 persen.
Para ahli iklim telah memperingatkan bahwa perubahan iklim memperburuk frekuensi dan tingkat keparahan peristiwa-peristiwa cuaca ekstrem, memberikan dampak yang sangat besar terhadap masyarakat, perekonomian, dan, yang paling penting, kehidupan manusia dan lingkungan tempat kita tinggal.
Suhu global yang terus memanas ini pada akhirnya bakal mempersempit ruang hidup manusia di bumi. Seperti diperingatkan Timothy M Lenton dan tim dalam kajiannya di Nature Sustainability (2023), dengan proyeksi kenaikan suhu bumi hingga 2,7 derajat celsius pada akhir abad ini, setidaknya 2 miliar orang bakal tinggal di zona yang terlalu panas dan sulit untuk ditinggali.
Indonesia bisa berada di urutan ketiga negara dengan jumlah penduduk paling berisiko terpapar kenaikan suhu global ini, yaitu lebih dari 100 juta orang bakal tinggal di luar ”relung iklim manusia”. Relung iklim manusia tersebut didefinisikan sebagai tempat dengan suhu rata-rata 13 derajat celsius di subtropis atau 27 derajat celsius untuk tropis.
Saat ini, kenaikan suhu global telah mencapai 1,2 derajat celsius dibandingkan suhu pra-Revolusi Industri (1850) dan secara sporadis telah beberapa kali melewati 1,5 derajat. Kesempatan kita untuk mencegah kiamat di bumi kini semakin menyempit.