Pleiades, Bintang yang Tersebut dalam Al Quran dan Hadis
Berbagai peradaban dunia memilki memori indah tentang gugus bintang Pleiades. Bahkan, nama gugus ini juga tersebut dalam Al Quran dan Hadis sebagai An Najm.
Jika waktu sahur adalah kesempatan terbaik untuk mengamati Venus, Jupiter, Mars, dan Saturnus di langit timur, saat berbuka puasa adalah waktunya mengamati bintang-bintang terang di langit barat. Ada Sirius, Aldebaran, Canopus, Capella, hingga rasi Orion dan rasi Taurus. Namun, bintang dari bintang-bintang itu adalah gugus bintang Pleiades.
Bangsa-bangsa dunia memiliki memori indah tentang Pleiades. Masyarakat Arab menyebutnya Tsurayya (alih aksara Arab ke Indonesia) atau Thurayya (alih aksara Arab ke Inggris). Orang Jawa menamainya Lintang Kartika. Sebutan lain untuk Pleiades adalah Soraya (Persia), Krittika (Sansekerta), Mul (Babilonia), Subaru (Jepang), dan Tujuh Bidadari (Indonesia).
Selama bulan April, Pleiades akan terlihat di langit barat sesaat sesudah terbenamnya Matahari. Namun posisinya yang rendah, di dekat ufuk, membuat pengamatan Pleiades agak sulit. Karena itu, untuk bisa melihatnya, pastikan medan pandang ke arah barat tak terhalang gunung, gedung, atau pohon.
Dari aplikasi Stellarium dengan lokasi pengamatan Tangerang Selatan, Banten, pada Rabu (20/4/2021) pukul 18.30 WIB, ketinggian Pleiades sekitar 15 derajat. Gugus bintang ini akan tenggelam pukul 19.37 WIB. Ketika diamati langsung, Pleiades tidak terlihat karena terhalang bangunan dan cahaya senja di langit masih cukup terang. Saat cahaya senja hilang, Pleaides pun sudah terbenam.
Jika langit di daerah Anda benar-benar gelap, Peliades akan terlihat seperti sekumpulan titik cahaya yang agak redup. Untuk mendeteksinya, keberadaan rasi Orion atau Waluku bisa dijadikan acuan. Rasi Orion ini mudah dikenali dari tiga bintang segaris di sabuk Orion, yaitu Alnilam, Alnitak dan Mintak. Posisi Pleiades ada di kanan bawah dari ketiga bintang tersebut.
Meski bisa dilihat langsung dengan mata dalam kondisi langit yang benar-benar gelap, untuk bisa menikmati keindahannya harus menggunakan binokuler atau teleskop sederhana. Dengan alat bantu itu, Pleiades akan terlihat sebagai kumpulan bintang-bintang terang berwarna biru yang cahayanya berkilauan.
Masyarakat Indonesia sering menyalahartikan Bintang Tujuh Bidadari itu dengan Bintang Tujuh. Padahal, Bintang Tujuh mengacu ke Bintang Biduk atau rasi Ursa Mayor yang penggambarannya ada di relief Candi Borobudur.
Walau dinamakan Seven Sisters atau Bintang Tujuh Bidadari, bintang terang atau bintang yang termasuk dalam gugus ini dalam kacamata astronomi modern jumlahnya jauh lebih banyak dari itu. Pada masa lalu, saat teleskop belum ada, kemampuan mata manusia untuk mengamati bintang lebih terbatas.
Gugus bintang adalah kumpulan bintang yang anggotanya mulai dari puluhan hingga ratusan ribu bintang, sedangkan galaksi memiliki ratusan miliar bintang. Gugus bintang merupakan bagian dari galaksi.
Waktu terbaik mengamati Pleiades adalah sepanjang bulan November. Pada saat itu, gugus bintang ini bisa diamati sepanjang malam. Pleiades baru terbit sesaat sesudah Matahari terbenam dan saat Matahari terbit, gugus bintang ini pun siap untuk tenggelam.
Penanda waktu
Kepopuleran Pleiades menjadikan gugus bintang ini banyak diabadikan dalam berbagai cerita legenda, mitologi, puisi, syair lagu, lukisan, bahkan pada sejumlah kitab suci, termasuk Al Quran.
Danielle Adams, ahli budaya astronomi dari Observatorium Lowell, Arizona, Amerika Serikat, dalam tulisannya di situs The Planetary Society, organisasi yang berfokus pada pemajuan eksplorasi antariksa, 18 Desember 2018, menyebut Tsurayya banyak disebut dalam sejumlah puisi Arab pra-Islam atau sebelum tahun 610 Masehi karena bisa dijadikan penanda waktu yang ajeg.
Terlihatnya Tsurayya di langit barat saat fajar menyingsing atau subuh menjadi petunjuk datangnya musim hujan di Jazirah Arab masa lalu. Posisi Pleiades di langit barat saat subuh itu terjadi pada bulan November. Hujan lebat di masa itu menandai akhir musim gugur dan tumbuhnya dedaunan hijau di gurun. Karena itu, Tsurayya disebut juga sebagai pengaduk hujan (al mijdah).
Dalam mitologi Arab, Tsurayya dilambangkan sebagai sosok perempuan dengan dua lengan terentang, satu lengan panjang dan satunya lengan pendek. Di ujung lengan panjang ada bintang berwarna jingga yang mirip warna hena atau pacar sehingga lengan panjang disebut sebagai tangan dengan pewarna hena atau al kaf al khadib. Sementara lengan pendek tampak seperti lengan terpotong hingga disebut al kaf al jadhma.
Di lengan panjang Tsurayya, terdapat bintang yang dalam astronomi modern disebut Caph (Beta Cassiopeiae) dan berasal dari kata al kaf yang artinya telapak tangan. Di siku lengan Tsurayya ada bintang Mirfak (Alfa Persei) dari kata al mirfak yang artinya siku dan ada Menkib (Xi Persei) dari kata al mankib yang artinya bahu.
Sementara di lengan Tsurayya yang pendek hanya ada sedikit bintang. Bintang di ujung lengan pendek dinamai Kaffaljidhma (Gamma Ceti) yang artinya lengan yang terpotong.
Saat Islam datang, pengetahuan bangsa Arab tentang Tsurayya diabadikan dalam Al Quran dalam Surat An Najm yang artinya bintang. Dalam sejumlah tafsir Al Quran, salah satunya tafsir Ibn Katsir, yang dimaksud kata an najm dalam surat ke-53 dalam Al Quran itu adalah Tsurayya atau Pleiades.
Kepopuleran Tsurayya pun membuat bintang-bintang terang di dekatnya juga diberi nama terkait An Najm. Salah satunya adalah bintang Aldebaran (Alfa Tauri) yang namanya berasal dari kata al dabaran dan berarti pengikut. Nama ini disematkan karena kemunculan Aldebaran selalu menyertai hadirnya Tsurayya. Kondisi ini juga memudahkan masyaraakat mencari Tsurayya karena lemahnya cahaya Tsurayya, sedangkan Aldebaran termasuk dalam 15 bintang terterang di langit malam.
Baca juga: Aldebaran, Sang Penguntit Pleiades
Julukan lain yang disematkan untuk Aldebaran adalah pengikut bintang atau tali an najm atau tabi'’an najm. Nama lain untuk bintang terterang di rasi Taurus ini adalah pembawa bintang atau hadi an najm karena posisi bintang ini ada di depan Tsurayya hingga seolah-olah membawa atau menghela Tsurayya.
Selain dalam Al Quran, kata an najm juga muncul dalam sejumlah hadis atau ucapan Nabi Muhammad, khususnya hadis-hadis terkait wabah tanaman ’ahah. Hadis-hadis terkait An Najm itu populer di Indonesia pada Mei 2020 karena digunakan sejumlah tokoh agama untuk meramal akhir pandemi Covid-19 yang di Indonesia baru mulai pada Maret 2020.
Dari hadis itu, sejumlah orang meramalkan pandemi Covid-19 berakhir dengan terbit dan bisa diamatinya An Najm pada pagi hari. Kondisi itu diperkirakan terjadi pada pertengahan Juni.
Tsurayya memang akan terlihat di timur saat subuh mulai pertengahan Juni. Namun, penggunaan hadis itu untuk memprediksi akhir pandemi Covid-19, dinilai dosen Studi Islam dan Masyarakat Muslim Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Moch Nur Ichwan, seperti dikutip Kompas, 12 Mei 2020, sebagai hal tidak tepat, tidak paham konteks sejarah dan kacau secara ilmiah.
Baca juga: Tsurayya dan Tanda Akhir Pandemi Covid-19
Hadis tersebut muncul dalam konteks wabah ’ahah yang merupakan penyakit tanaman alias hama dan larangan memperjualbelikan buah yang berpenyakit. Kata ’ahah sebenarnya juga bisa dimaknai sebagai penyakit menular pada hewan dan manusia, tetapi penyakit itu tidak terkait dengan Tsurayya. Selain itu, ’ahahdan Covid-19 merupakan dua penyakit berbeda.
Munculnya Tsurayya bukan berarti bintang ini yang membasmi '’ahah. Namun, kemunculan bintang ini di timur saat subuh jadi tanda datangnya musim panas di Arab. Panas itulah yang akan membasmi hama tersebut.
Ketenaran Tsurayya dalam budaya masyarakat Arab, seperti ditulis Adams, terjadi karena mereka menganggap Tsurayya adalah bintang par excellence, yang terbaik di antara yang lain. Populernya Tsurayya itu berlangsung hingga kini dan banyak dijadikan nama perusahaan atau nama produk industri.
Bintangnya bintang
Anggapan Tsurayya sebagai bintang yang terbaik ternyata juga ada dalam masyarakat Jawa. Orang Jawa menyebut Pleiades sebagai Lintang Kartika. Kata lintang dan kartika sebenarnya memiliki arti sama, yaitu bintang. Pengulangan itu, menurut peneliti etnoastronomi Widya Sawitar, seperti dikutip Kompas, 10 April 2014, menandakan Lintang Kartika sebagai bintangnya bintang.
Dalam bahasa Indonesia, Pleiades disebut sebagai Bintang Tujuh Bidadari atau Tujuh Puteri yang merupakan terjemahan langsung dari bahasa Inggris, Seven Sisters. Penyebutan itu didasarkan pada tujuh bintang terterang dalam gugus tersebut yang bisa diamati dengan mata telanjang tanpa bantuan teleskop.
Nama, ketujuh bintang itu diambil dari mitologi Yunani tentang tujuh Pleiad atau tujuh perempuan anak Pleione dan Atlas, yaitu Sterope, Merope, Electra, Maia, Taygeta, Caleano, dan Alcyone. Karena nyatanya bintang terang di Pleiades ada lebih dari tujuh bintang, maka nama ibu dan ayah ketujuh Pleiad itu juga digunakan untuk menamai bintang-bintang di gugus bintang Pleiades.
Namun, masyarakat Indonesia sering menyalahartikan Bintang Tujuh Bidadari itu dengan Bintang Tujuh. Padahal, Bintang Tujuh mengacu ke Bintang Biduk atau rasi Ursa Mayor yang penggambarannya ada di relief Candi Borobudur. Nama Bintang Tujuh memang lebih populer di Indonesia karena salah satunya digunakan sebagai nama pabrik jamu.
Sementara itu, dalam mitologi Jawa, tujuh bintang terang di Pleiades itu merupakan perlambang tujuh bidadari yang turun dari kahyangan untuk mandi di Bumi dalam legenda Jaka Tarub.
Lintang Kartika juga menjadi ilham bagi tari Bedhaya Ketawang. Secara harfiah, bedhaya berarti tari dan ketawang berasal dari kata tawang yang artinya langit sehingga Bedhaya Ketawang bermakna tarian langit. Tarian sakral yang dibawakan sembilan penari ini hanya ditarikan saat upacara penobatan atau peringatan kenaikan takhta raja di Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Jejak Lintang Kartika dalam tarian ini juga cukup kuat. Tak hanya dalam jumlah penari yang mirip dengan sembilan bintang terang di gugus Pleiades, lanjut Widya, posisi penari saat menari pun mirip dengan posisi bintang-bintang di Pleiades. Syair lagu yang mengiringi tarian pun secara jelas menggambarkan sang raja sebagai bintangnya bintang.
Namun, sebagian besar orang Jawa saat ini tidak dapat menunjukkan yang mana Lintang Kartika itu di antara bintang-bintang di langit malam. Lemahnya pewarisan pengetahuan tentang perbintangan dan kurangnya pendokumentasian bintang-bintang dalam khazanah astronomi tradisional membuat banyak pengetahuan nenek moyang tentang langit terancam hilang.
Di sisi lain, makin meluasnya wilayah perkotaan dan menyebarnya polusi cahaya membuat pengamatan langit malam makin sulit dilakukan. Karena itu, selagi ada kesempatan mengamati bintang-bintang, termasuk Pleiades, Tsurayya, atau Lintang Kartika, yang bisa dibantu dengan berbagai aplikasi pengamatan astronomi jangan sia-siakan peluang yang ada.
Rehatlah sejenak dan tataplah indahnya langit malam yang penuh bintang gemintang. Selanjutnya, biarkanlah alam bekerja menenteramkan jiwa dan pikiranmu.