logo Kompas.id
Ilmu Pengetahuan & TeknologiPedoman Pengembangan...
Iklan

Pedoman Pengembangan Fitofarmaka Disiapkan

Oleh
· 3 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Obat dan Makanan menyiapkan pedoman pengembangan fitofarmaka bagi industri farmasi. Itu diharapkan bisa mempercepat pengembangan fitofarmaka di Indonesia. Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Ondri Dwi Sampurno mengemukakan hal itu, Senin (30/1), di Jakarta.Pedoman pengembangan fitofarmaka itu berisi hal yang harus disiapkan industri dalam mengembangkan fitofarmaka. "Misalnya mengarahkan cara melakukan uji praklinik dan uji klinik yang benar," ujarnya.Fitofarmaka ialah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik. Selain itu, bahan baku dan produk jadinya telah distandardisasi. Meski Indonesia kaya sumber daya alam, baru ada 8 fitofarmaka dan 45 obat herbal terstandar yang mengantongi izin edar. Obat herbal yang beredar umumnya dijual dalam bentuk sediaan jamu atau suplemen kesehatan. Ada sekitar 8.000 jamu yang terdaftar di BPOM.Menurut Ondri, metodologi yang digunakan dalam pengembangan fitofarmaka kerap tak sesuai dengan indikasi yang diinginkan sehingga nilai ilmiahnya lemah. Sampel yang dipakai pada pengembangan fitofarmaka juga harus memenuhi Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik. Jadi, data yang didapat valid dan kredibel sehingga memudahkan registrasi fitofarmaka.Proses registrasiExecutive Vice President SOHO Global Health Made Dharma Wijaya memaparkan, pengembangan obat herbal terhambat proses registrasi di BPOM. Syarat dan waktu registrasi lama dan sulit dipenuhi industri. Keterbatasan bahan baku dan jumlah peneliti juga jadi kendala. Selama ini, SOHO memakai berbagai bahan alam untuk obat, antara lain daun jambu, kunyit, buah mengkudu, jahe merah, kulit delima, dan gojiberry. Kombinasi ekstrak jahe merah dan buah mengkudu menjadi jamu anti tuberkulosis (TB), sedangkan kombinasi ekstrak daun jambu, kulit delima, dan goji diolah menjadi jamu anti diare.Sejauh ini, tanaman yang paling banyak dipakai untuk berbagai jenis produk adalah temulawak. "Kami ingin membawa temulawak ke tingkat global," ucap Made.Sementara itu, Direktur Pelayanan Kesehatan Tradisional Kementerian Kesehatan Meinarwati menuturkan, banyak fasilitas kesehatan dan dokter ragu meresepkan obat herbal kepada pasien. Selain ragu terhadap proses pembuatannya, fasilitas kesehatan takut klaimnya tidak dibayar Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Sebab, BPJS Kesehatan hanya membayar klaim obat yang tercantum di formularium nasional.Padahal, empat peraturan menteri kesehatan (permenkes) memungkinkan dokter meresepkan obat herbal kepada pasien. Contohnya, Permenkes No 21/2016 tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional dan Permenkes No 71/2013 tentang Layanan Kesehatan pada JKN. Upaya lain yang dilakukan Kemenkes adalah melatih dokter herbal medik. Sebanyak 50 dokter sudah dilatih Kemenkes. Tahun ini jumlah dokter yang dilatih untuk menerapkan herbal medik terus bertambah. (ADH)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000