JAKARTA, KOMPAS — Telepon seluler seri Aurora merupakan produk bermerek global Blackberry yang dibuat dengan desain ataupun spesifikasi sepenuhnya mengikuti kebutuhan pasar Indonesia. Lisensi manufaktur yang dimiliki oleh perusahaan dalam negeri, yakni PT BB Merah Putih, memunculkan optimisme untuk produk lokal dengan kualitas global.
Peluncuran BB Aurora di Jakarta, Kamis (9/3), dihadiri oleh perwakilan Blackberry, Qualcomm selaku produsen prosesor, dan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara. PT BB Merah Putih adalah pemegang lisensi manufaktur perangkat keras merek ini untuk Indonesia. Di India ada Optiemus Infracom, sementara wilayah lain di dunia dipegang oleh TCL.
BB Aurora tidak lagi menggunakan sistem operasi BBOS, tetapi beralih ke Android. Penggunaan layar sentuh sepenuhnya di permukaan 5,5 inci juga menjadi perubahan dari tipe masa lalu yang menggunakan papan tuts (keypad).
"Pemilihan desain seperti ini, termasuk keputusan menggunakan layar sentuh, adalah sepenuhnya hasil kajian akan profil ponsel pintar yang dibutuhkan oleh konsumen Indonesia," ujar Stanly Widjaja, VP Sales and Marketing BB Merah Putih.
BB Aurora dilepas dengan harga Rp 3,5 juta. Stanly mengatakan, rentang harga Rp 3 juta-Rp 4 juta saat ini merupakan pasar yang sangat dinamis di Indonesia dengan pangsa 13 persen. Itulah mengapa dia optimistis bisa melepas BB Aurora di ceruk harga tersebut.
Stanly memastikan bahwa aspirasi untuk desain menggunakan papan tuts tetap terbuka kemungkinan pada produk mendatang. Semua akan ditentukan oleh riset yang dilakukan tim mereka mengenai ponsel apa yang dibutuhkan konsumen saat ini.
BB Aurora menjadi seri ponsel pertama dari lini produk merek Huawei yang menggunakan slot dua kartu SIM. Fitur ini lazim ditemui pada perangkat ponsel yang dijual untuk pasar Asia.
Melalui video, Executive Chairman dan CEO Blackberry John Chen mengatakan, Indonesia merupakan salah satu pengguna terbesar layanan perpesanan mereka yakni Blackberry Messenger. Sebagai pasar penting, dia hadir di Indonesia pada tahun 2014 untuk meluncurkan ponsel seri Z3 yang memiliki kode Jakarta.
"Tidak hanya teknologi canggih, tapi juga dilabeli dengan bangga \'Dibuat di Indonesia\'," kata Chen.
Dalam sambutannya, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan, ponsel pintar yang bekerja di jaringan seluler yang meluncur tahun 2017 sudah memenuhi regulasi soal kandungan lokal yang mensyaratkan harus 30 persen. Beberapa merek global yang diluncurkan sejak awal tahun sudah memenuhi ketentuan ini yang tahun sebelumnya hanya 20 persen.
Rudiantara mengungkapkan adanya kecenderungan tersebut mengisyaratkan ketertarikan industri global akan pasar di Indonesia. Terlebih terdapat 170 juta konsumen eksklusif yang memiliki setidaknya 1 ponsel, sedangkan jumlah kartu SIM yang diaktifkan hingga kini sudah mencapai 350 juta lembar atau melampaui jumlah penduduk yang berarti satu orang bisa memiliki lebih dari satu unit ponsel atau satu nomor.
"Tantangan yang harus dipenuhi adalah menghasilkan ponsel yang berkualitas tapi memiliki harga yang lebih terjangkau agar mudah diakses banyak pengguna," ujar Rudiantara.
Berdasarkan catatan dari International Data Corporation (IDC), merek Blackberry sempat merajai ponsel tanah air tahun 2012 meski kemudian disisihkan oleh kompetitor lain yang lebih agresif terutama dari China. Risky Febrian, Associate Market Analyst, Mobile Phone, IDC Indonesia menyebut spesifikasi saja tidak cukup karena yang dimaui konsumen Indonesia saat ini, terutama pengguna muda, adalah fitur fotografi untuk membuat swafoto dan sebagainya.