JAKARTA, KOMPAS — Neuropati adalah kerusakan pada sel saraf periferi atau tepi pada manusia yang mengakibatkan masalah, seperti gangguan motorik, mati rasa, dan aktivitas tidak wajar pada indera perasa lain. Pemahaman masyarakat Indonesia akan neuropati masih harus tetap didorong karena penyebabnya sangat gampang ditemui.
Hal tersebut mengemuka dalam lokakarya media yang berlangsung di Jakarta, Kamis (23/3). Lokakarya ini merupakan bagian dari Jakarta Neurology Exhibition Workshop and Symposium (Jaknews) 2017 yang puncaknya berlangsung pada Minggu (26/3).
Saraf tepi merupakan sistem saraf yang mendukung sistem saraf pusat yang terdiri dari otak, batang otak, dan sumsum tulang belakang agar terhubung dengan organ. Sistem saraf ini menghasilkan kerja motorik atau terkait dengan aktivitas badan, kerja sensorik yang terkait dengan kemampuan untuk menangkap sensasi dari rasa, serta kerja otonom yang mengatur kerja bagian tubuh tertentu.
Saat neuropati terjadi, gangguan bisa muncul pada tiga kerja saraf tersebut dan bahkan juga kombinasi. Itulah mengapa penderita neuropati bisa merasakan kesemutan, kram, rasa terbakar, kaku, dan mati rasa secara tidak wajar. Penyebabnya pun beragam, mulai dari faktor usia, defisit vitamin B, dan diabetes.
Manfaluthy Hakim, Ketua Kelompok Studi Neurofisiologi dan Saraf Tepi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi), menyebut neuropati juga dipicu oleh gaya hidup tidak sehat, menderita diabetes, dan aktivitas gerakan berulang.
”Pencegahan dini sangat penting dilakukan mengingat kerusakan saraf sulit dipulihkan apabila kehilangan serabut saraf terjadi hampir 50 persen,” ujar Manfaluthy.
Gerakan penyadaran masyarakat mengenai neuropati juga dilakukan tahun lalu dengan aktivitas seperti senam bersama dan pengecekan saraf yang melibatkan lebih dari 12.000 peserta.