logo Kompas.id
Ilmu Pengetahuan & TeknologiIndonesia Didesak Segera...
Iklan

Indonesia Didesak Segera Ratifikasi Minamata

Oleh
ich
· 3 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Sejak menandatangani konvensi Minamata pada 10 Oktober 2013, hingga kini Indonesia belum kunjung meratifikasi perjanjian internasional terkait pembatasan logam berat merkuri itu. Ratifikasi bisa membantu Indonesia agar tidak menjadi tempat pembuangan atau menjadi eksportir batu sinabar atau bahan merkuri ilegal.Penasihat Senior Bali Fokus, Yuyun Ismawati, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (24/3), mengatakan, ratifikasi juga membuat Indonesia memiliki akses besar terhadap proyek dan kerja sama bantuan teknis dari lembaga-lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa terkait. Sekretariat Konvensi Minamata di UN Environment menargetkan sedikitnya 50 negara meratifikasi perjanjian ini sebelum September 2017. "Pertemuan yang akan datang, September 2017 di Geneva (Swiss), diumumkan sebagai pertemuan COP (Konferensi Para Pihak) pertama. Artinya, Sekretariat UN Environment memproyeksikan dan mendorong negara-negara untuk meratifikasi sebelum September," katanya.Posisi Indonesia dalam Konvensi Minamata dinilai sangat strategis karena selama ini menjadi pengguna merkuri (Hg) dalam jumlah besar, sekaligus bisa menghasilkan merkuri dan mengekspornya pula. Indonesia juga salah satu pemakai merkuri terbesar di sektor pertambangan emas skala kecil (PESK) dan pelepas emisi Hg tertinggi dari PLTU batubara serta minyak/gas. Ia pun menyebut Indonesia bisa menjadi negara dengan jumlah lahan terkontaminasi merkuri terluas akibat tambang emas skala kecil. Bahkan beberapa riset menunjukkan terjadi keracunan merkuri besar di 27 provinsi lokasi PESK.Berdasarkan data Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia, kata Yuyun, terdapat 250.000-1 juta penambang di Indonesia, yang menggunakan 35.000 ton merkuri tiap tahun. Dari survei yang dirilis Organisasi Pembangunan Industri PBB (UNIDO) serta beberapa jurnal terbaru, 10-30 persen warga (penambang dan nonpenambang) terpapar merkuri pada level sedang sampai parah. Dengan kondisi sedemikian parah, Yuyun mendorong Indonesia bekerja sama dengan negara lain untuk mengendalikan penggunaan merkuri. Salah satunya dengan meratifikasi Konvensi Minamata sehingga akan melecut Indonesia menyusun Rencana Aksi Nasional yang perkembangannya dilaporkan tiap dua tahun."Hal ini penting karena merkuri, seperti halnya POPs (persistent organic pollutant), merupakan racun tanpa batas administrasi. Bisa berjalan jauh dari sumbernya dan berakhir di tempat tertentu yang tak punya sumber emisi atau sumber kegiatan (pemakai merkuri) sama sekali. Jadi secara tidak langsung, kita \'bertanggung jawab\' juga atas pencemaran dan penderitaan masyarakat di tempat/negara lain," katanya. Minta diselesaikanDitemui sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menyatakan telah menyiapkan bahan untuk ratifikasi. "Saya sedang mempersiapkan kepada Presiden karena memang Presiden minta diselesaikan konvensinya," katanya.Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya KLHK Tuti Hendrawati Mintarsih menambahkan, draf ratifikasi Konvensi Minamata sedang disiapkan untuk diajukan pemerintah kepada DPR. Terkait lambannya ratifikasi ini, ia mengatakan, "Kan, harus dibahas lintas sektor. Merkuri itu berat meski tahu jejaringnya. Tidak bisa main jebret-jebret," ujarnya. (ICH)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000