logo Kompas.id
Ilmu Pengetahuan & TeknologiSDGs dan yang Sedikit
Iklan

SDGs dan yang Sedikit

Oleh
Brigitta Isworo Laksmi
· 3 menit baca

September 2015, lebih dari 190 kepala negara dan kepala pemerintahan negara anggota PBB mendeklarasikan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030 (Sustainable Development Goals/SDGs) berjudul: Transforming Our World. Deklarasi itu tak sekadar simbol. Deklarasi itu bukanlah janji. Deklarasi itu adalah rencana aksi! Dunia bertekad mengakhiri kemiskinan dan kelaparan-pekerjaan sisa dari Tujuan Pembangunan Milenium dan memastikan semua manusia diperlakukan setara dalam lingkungan sehat. Para pemimpin dunia berjanji melindungi planet, sebagai representasi bumi. Caranya, antara lain, adalah mengonsumsi, memproduksi, dan mengelola sumber daya alam berkelanjutan. Tujuan semua itu adalah untuk mendukung kehidupan generasi sekarang dan mendatang. Tentang kesejahteraan, semua orang dijamin bisa menikmati kehidupan sosial, ekonomi, dan kemajuan teknologi yang selaras dengan alam.Artinya, konflik lahan, bencana hidrometeorologi, dan kehilangan tanah garapan bukan tujuan SDGs. Tanpa pembangunan berkelanjutan, perdamaian, keadilan, dan kondisi inklusif mustahil bakal tercapai. Sebaliknya, saat beragam konflik meningkat, antara lain konflik lahan, agraria, pertambangan, dan kerusakan alam meluas, serta bencana kian besar dampaknya, pencapaian SDGs pun menjauh. Di Indonesia, jumlah dan luas konflik agraria pada 2016 meningkat dibandingkan pada 2015. Paling dominan di sektor perkebunan, properti, infrastruktur, dan kehutanan (Kompas, 13/1/2017). Meninggalnya Ibu Patmi, petani dari Pegunungan Kendeng, yang ikut aksi menyemen kaki sebagai protes atas pendirian pabrik semen, menjadi simbol perjuangan masyarakat mempertahankan sumber daya alam. Putusan Mahkamah Konstitusi No 35/PUU-X/2012 yang menegaskan hutan adat ialah hutan di area adat, tak lagi hutan negara, juga belum terwujud. Simultan dengan SDGs, Desember 2015 lahir Kesepakatan Paris. Indonesia bersama 134 negara pihak Kerangka Kerja PBB untuk Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) menyusun kontribusi nasional yang diniatkan (Nationally Determined Contribution/NDC).Dalam NDC, setiap negara menyatakan niat menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), penyebab awal perubahan iklim. Indonesia berniat menurunkan emisi 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan asing, dibandingkan emisi GRK tanpa intervensi. Emisi GRK memiliki relasi kausalitas dengan pembukaan lahan gambut, deforestasi, perusakan lingkungan, pengotoran laut, kehancuran hutan, karst, danau, pantai, sungai, dan sebagainya. Sebutan sebagai negeri "ratna mutu manikam", "zamrud khatulistiwa", dan "negeri gemah ripah loh jinawi", tak lama lagi bakal berlalu. Itu terjadi apabila konflik dan kerusakan lingkungan akibat beragam aktivitas tak segera dituntaskan dengan putusan tegas dan berpihak.    Dalam buku The Limits to Growth (Donella H Meadows dkk, 1972) ditegaskan, "manusia dipaksa memperhitungkan keterbatasan dimensi planetnya, batas (ceiling) dari keberadaannya dan aktivitas di dalamnya". Narasi akan bumi dipandang klise: "bumi hanya satu", atau "bumi itu terbatas". Sederhana dan biasa sehingga akhirnya dipandang sebagai hal yang tak penting. Cerita tentang keberlanjutan pembangunan adalah kisah tentang menjamin keberlangsungan hidup manusia dalam jangka panjang dengan syarat: lingkungan hidupnya tetap memiliki daya dukung. Tujuan SDGs masih 13 tahun lagi, dalam rentang kepemimpinan tiga presiden lagi. Buah SDGs pada 2030 tak menanyakan siapa presidennya. Alam memiliki hukumnya: benih yang kita tanam sekarang akan kita petik buahnya kemudian, tahun 2030. Donellamenuliskan: perspektif ruang dan waktu seseorang tergantung pada budaya tempat ia tumbuh, pengalaman masa lalu, dan masalah mendesak yang ditemuinya pada berbagai tingkatan. Secara umum, makin luas ruang dan kian panjang rentang waktu terkait dengan suatu persoalan, semakin sedikit orang yang serius memikirkan solusinya. Jika hanya sedikit orang yang benar-benar memikirkan solusinya, lantas muncul pertanyaan: presiden, para menteri, para kepala daerah, dan para pembuat kebijakan termasuk kelompok yang manakah? Yang banyak? Atau yang sedikit...?

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000