SEMARANG, KOMPAS — Kepala Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, dan Keluarga Berencana Kabupaten Rembang Dwi Wahyuni menilai, isu perkawinan anak dan kehamilan remaja belum mendapat perhatian khusus dari pemerintah pusat. Hal itu dikarenakan belum adanya penelitian yang dapat menggambarkan nominal kerugian daerah akibat situasi tersebut.
Demikian diungkapkan Dwi dalam pemaparan Diseminasi Hasil Baseline dan Lokakarya Perkawinan Anak dan Kehamilan Remaja di Rembang, Selasa (18/4), di Kota Semarang, Jawa Tengah. Penelitian dilakukan Credos Institute untuk program ”Yes I Do”. Program tersebut diinisiasi oleh Plan International Indonesia, Rutgers WPF Indonesia, dan Aliansi Remaja Independen.
Untuk menurunkan angka kejadian, ujar Dwi, diperlukan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga terkait. Pemerintah daerah berupaya menurunkan angka perkawinan anak melalui program berbasis pendidikan di setiap sekolah. Namun, dampak dari upaya tersebut belum signifikan. Pada tahun 2016 tercatat 54 perempuan menikah di usia 18 tahun. ”Angka 2017 mungkin saja meningkat. Itu merujuk pada data sementara tahun 2017, sudah 15 anak perempuan menikah,” ucap Dwi.
Penelitian itu sendiri menunjukkan, sekitar 50 persen perempuan usia 15-24 tahun di daerah tersebut hamil pertama sebelum umur 20 tahun.
Penelitian dimulai pada Januari 2017 di empat desa di Kabupaten Rembang, yakni Woro, Sendangmulyo, Menoro, dan Mojosari. Responden berjumlah 262 orang yang terdiri dari 102 laki-laki dan 160 perempuan. Mereka berusia 12-24 tahun yang sebagian besar berpendidikan SMP (53,4 persen) dan SMA (41,1 persen).
Peneliti Credos Institute Bidang Kesehatan Masyarakat, Yodi Christiani, mengatakan, angka perkawinan anak di Rembang cukup tinggi. Prevalensi perempuan usia 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun mencapai 33,1 persen. Angka tersebut lebih tinggi daripada rata-rata nasional sebesar 25,4 persen dan daerah Jawa Tengah 20 persen. ”Padahal, risiko anak perempuan untuk menikah dini 36 kali lebih besar daripada laki-laki,” ujarnya.
Menurut Yodi, risiko itu meningkat jika tingkat pendidikan rendah dan memiliki riwayat pernikahan dini. Terlebih, di Rembang, ada stigma pendidikan pada anak perempuan tidak sepenting laki-laki. Akibatnya, perempuan terbelenggu pada urusan rumah tangga. Risiko dapat menurun jika ayah sang anak berpendidikan tinggi.
Perkawinan anak mengakibatkan kehamilan di bawah usia 20 tahun. Kondisi tersebut berdampak pada tingginya angka kematian ibu, masalah kesehatan anak, dan kematian anak. Pernikahan anak dan kehamilan remaja di Rembang dipengaruhi faktor ekonomi, sosial dan budaya, serta kehamilan sebelum nikah. Rata-rata perempuan menikah usia 18 tahun dan laki-laki 20 tahun.
Hulu ke hilir
Yodi mengatakan, masalah perkawinan anak dan kehamilan remaja mesti diselesaikan dari hulu ke hilir, mulai dari peningkatan akses pendidikan anak hingga pembenahan perekonomian daerah. Hal itu dapat dilakukan melalui program berbasis komunitas dan pelibatan anak serta remaja secara aktif.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jateng Elisabet SA Widyastuti menambahkan, anak dan remaja membutuhkan pendidikan seksualitas yang komprehensif. Selama ini, pendidikan seksualitas tidak memberikan informasi tentang hak-hak kesehatan reproduksi, relasi jender, kemampuan komunikasi, metode kontrasepsi, dan kekerasan dalam berpacaran. (KRN)