logo Kompas.id
Ilmu Pengetahuan & TeknologiWaspadai Petir dan Hujan Lebat...
Iklan

Waspadai Petir dan Hujan Lebat Saat Pergantian Musim

Oleh
· 3 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Pergantian musim atau pancaroba menciptakan kondisi atmosfer di Indonesia lebih labil. Selain berpotensi terjadi angin ribut, kondisi ini juga bisa memicu terbentuknya awan kumulonimbus yang banyak menimbulkan petir, hujan lebat, dan juga hujan es.Di belahan bumi utara Indonesia, pengaruh monsun Asia masih cukup kuat. Namun, di bagian selatan, sudah didominasi angin monsun Australia. "Keduanya saling memberi tekanan pada pola cuaca di Indonesia sehingga membuat dinamika atmosfer lebih labil," kata peneliti cuaca dan iklim ekstrem Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Siswanto, di Jakarta, Senin (24/4).Menurut Siswanto, secara umum pola angin di wilayah Indonesia mulai didominasi angin timuran. Hal ini menandakan aktifnya monsun Australia yang membawa udara kering dari Benua Australia dan Samudra Pasifik bagian selatan menuju wilayah Indonesia dan Benua Asia."Aliran monsun Australia ini menyebabkan wilayah Indonesia bagian selatan, terutama di kawasan Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat, sudah memasuki musim kemarau sejak beberapa minggu lalu," katanya.Curah hujan di Jawa dan Bali berangsur-angsur menurun. Namun, dinamika cuaca harian berupa pengumpulan massa uap air di atas Jawa Barat dan Sumatera menyebabkan beberapa tempat di wilayah tersebut kerap hujan, bahkan dengan intensitas cukup tinggi. "Terdeteksinya pusaran angin di atas Laut Jawa juga diduga turut mengepulkan massa udara basah di wilayah ini," kata Siswanto.Massa uap air ini, katanya, berasal dari penguapan air laut yang masih hangat. Sebagian Laut Jawa hingga Laut Banda dan Aru masih memiliki nilai anomali positif sekitar 1 derajat celsius. Mulai Selasa, diperkirakan tumbuh pusaran di barat daya Lampung yang dapat memperkuat pola-pola konvergensi di wilayah itu. Peralihan monsun Asia menuju musim kering, ujar Siswanto, menyebabkan banyak pergolakan di atmosfer Indonesia. Karena udara yang labil akibat banyaknya pergolakan itu, perlu di waspadai munculnya angin ribut, puting beliung, atau embusan angin turun berkecepatan tinggi dari awan kumulonimbus. "Pada saat awan berlapis kumulonimbus terbentuk, bagian awan superdingin dari bagian atas di puncak awan ini bisa memproduksi hujan es, seperti terjadi di Bandung beberapa hari lalu," katanya.Tipikal awan kumulonimbus pada musim transisi biasanya bisa berkembang lebih tinggi akibat gerak naik yang kuat. Hal ini menciptakan bagian awan superdingin yang memungkinkan butiran es ikut turun bersama gerak turun pergolakan dalam awan.Saat hujan es di Bandung pada Minggu (23/4), terdeteksi suhu puncak awan di atas Bandung lebih dari minus 90 derajat celsius. Berdasarkan analisis Asri Rachmawati dari Stasiun Klimatologi Bogor BMKG, sebelum hujan es itu suhu naik sangat signifikan pukul 07.00-10.00, yaitu 5,4 derajat celsius. Ini mengindikasikan ada konveksi atau pengumpulan awan yang aktif. (AIK)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000