Peran Vital ”Big Data” di Segala Bidang
ISTILAH big data makin kerap terdengar dalam beberapa tahun terakhir. Konsep ini merupakan keniscayaan tatkala orang-orang di seluruh dunia makin saling terhubung lewat jejaring internet.
Jejak-jejak digital terbentuk tatkala orang-orang terhubung dalam internet saat menggunakan media sosial, mengunjungi situs, memilih produk tertentu, membaca sebuah artikel, melakukan pengamatan atas produk tertentu, berkomunikasi, dan lain-lainnya. Jejak-jejak digital yang ditinggalkan ini merupakan kumpulan data yang menjadi dasar konsep tersebut. Data yang banyak, karena menyangkut ragam aktivitas pengguna internet, dan oleh karena itu berukuran besar (big data) itu dapat dipergunakan untuk berbagai tujuan.
Analisis dengan model algoritma tertentu atau penghitungan matematis tertentu dapat dilakukan sebelum kesimpulan diperoleh dari lautan data tersebut. Salah satunya seperti dilakukan Google pada 2009 tatkala melakukan pemetaan dan perkiraan secara detail di sejumlah kawasan tertentu Amerika Serikat terkait ledakan pandemi flu burung dengan virus subtipe H5N1 (Mayer-Schonbeger, V & Cukier, K. 2013).
Hal itu dilakukan secara seketika dengan menganalisis sekitar 50 juta istilah pencarian terkait flu burung. Data tersebut dibandingkan dengan data CDC (Centers for Disesase Control and Prevention) tentang daftar penyebaran flu musiman pada tahun 2003-2008.
Sebanyak 450 juta model penghitungan matematis diproses untuk menguji kata-kata kunci yang dicari pengguna. Hasil itu lantas dibandingkan dengan serangan flu pada periode 2007-2008. Dari analisis itu lantas ditemukan terdapat kombinasi 45 istilah pencarian, tatkala dipergunakan bersama memiliki korelasi kuat, antara perkiraan Google dengan angka resmi nasional yang dikeluarkan CDC.
Kelebihan metode analisis big data pada contoh tersebut, ada pada kemampuannya yang relatif menyajikan hasil secara seketika. Ini jika dibandingkan dengan data CDC yang baru mengabarkan ihwal pandemi flu burung di wilayah tertentu, sekitar dua pekan setelah peristiwanya terjadi.
Dalam kasus ini, di mana waktu menjadi faktor penting untuk menyelamatkan jiwa, analisis big data menemukan relevansinya. Hal ini membuat ”teori” berada di persimpangan jalan, menyusul berlimpahnya data setelah dimungkinkannya semua orang menjadi responden serta membuat hipotesis cenderung kuno.
Pada 2008, pemimpin redaksi majalah Wired, Chris Anderson, menyebutkan tentang usangnya metode ilmiah menyusul banjir data saat ini. Era ”berakhirnya teori,” tandas Anderson dalam sampul depan berjudul ”The Petabyte Age”. Ini merupakan masa di mana proses penemuan ilmiah konvensional berupa pengujian hipotesis dengan realitas nyata dalam model sebab akibat tengah menuju akhir. Analisis statistik dari korelasi murni tanpa teori menjadi gantinya. Dengan data yang cukup, besaran jumlah (data) itu akan berbicara sendiri. Petabytes memungkinkan kita mengatakan: ”Korelasi sudah cukup” (Mayer-Schonbeger, V & Cukier, K. 2013).
Kondisi di Indonesia
Di Indonesia, kesadaran dan pemahaman mengenai konsep big data berikut proses analisis dan artikulasinya, dalam beberapa waktu belakangan mulai dianggap sebagai sesuatu yang penting dimiliki. Hal ini menyusul fakta makin terdigitalisasinya peradaban manusia dan tata kelola kehidupan yang sebagian mulai beroperasi dengan logika biner.
Perekonomian digital yang didorong oleh masifnya data, menyusul semakin terhubungnya orang-orang di dunia dalam jejaring internet, menjadi salah satu latar belakangnya. Pada hilirnya sejumlah konsep kemampuan prediktif proses bisnis, peningkatan loyalitas pelanggan, dan implementasi konsep kota pintar atau smart city, dijalankan dengan keniscayaan big data sebagai tulang punggungnya.
Sebagian di antara hal tersebut mengemuka dalam penyelenggaraan Big Data Week Jakarta 2017, Kamis, 23 Maret yang lalu, di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta. Big Community serta Panorama Events menyelenggarakan kegiatan tersebut dengan dukungan Kementerian Komunikasi dan Informatika berikut sejumlah sponsor.
Sejumlah topik dibawakan pembicara dari dalam dan luar negeri. Beberapa di antaranya adalah Big Data for a Developing Country (Nicholas Tan), Big Data Journey Focus on your Business Result (Wittaya Warunchaichna), How to Become a Rockstar Data Scientist (Akmal B. Chaudri), Real Time Insights with Data Virtualization & Data grib (Eryan Ariobowo), dan Businesses Artificially Intelligent (Martin Goodson).
Sekitar 1.000 peserta yang terdiri atas para praktisi, akademisi, mahasiswa, dan peminat isu big data menyimak sejumlah presentasi sejak pagi hingga petang. Salah satunya topik ”Samrt Cities Building The Futures” yang dibawakan KC Wong, Senior Vice President Fusionex.
Wong menyebutkan, sekalipun terminologi smart city berbeda-beda di setiap negara, terdapat tiga dasar yang berlaku universal, yakni mobilitas, big data, dan pelantar atau perangkat lunak untuk menjamin keterhubungan dengan publik.
Sementara Chuck Audet (Director of Booz Allen Hamilton Data Science Practice in Asia Pacific) mengutarakan sejumlah fase sebelum beroperasinya konsep smart city. Fase itu adalah strategi dan perencanaan, teknologi, analisis data, cyber security, dan operations and governance.
Ia menggarisbawahi tentang konsep-konsep digitisasi berupa peralihan konten analog ke digital, big data, dan smart nation, sebagai rangkaian tidak terlepaskan. Adapun konsep big data, pada awalnya berasal dari dunia riset.
Ini terjadi ketika penelitian bidang astronomi menghasilkan data masif lewat pemantauan teleskop yang terdigitalisasi. Hal itu dimulai pada 2000 ketika Sloan Digital Sky Survey dengan teleskop di New Mexico, selama sepekan beroperasinya saja telah mengumpulkan jumlah data lebih banyak jika dibandingkan keseluruhan sejarah ilmu astronomi sejak dimulai hingga masa sebelum tahun 2000 itu (Mayer-Schonbeger, V & Cukier, K. 2013).
Saat ini, pengertian big data dapat pula diartikan sebagai jejak digital setiap orang yang terkoneksi dengan dunia virtual. Jejak digital ini baik yang ditinggalkan secara sadar, misalnya pengisian formulir daring ataupun secara tidak sadar yang niscaya terjadi setiap kali tersambung ke jejaring internet.
Selanjutnya, data yang teramat besar ini dianalisis, dan teknik-teknik baru seperti metode komputasi awan (cloud computing) dipergunakan menyusul tidak mampunya lagi teknik konvensional mengatasi data dalam jumlah besar itu. Adapun smart nation secara umum diartikan sebagai sistem yang terdiri atas solusi teknologi guna memungkinkan terjadinya interaksi dan layanan prediktif digital atas sejumlah tantangan publik.
Sementara di bagian lain, Komang B Aryasa, Deputy of Research and Big Data PT Telkom Indonesia, dalam presentasinya menyoroti ihwal kebutuhan ilmuwan data (data scientist) yang masih sangat kurang. Padahal, imbuhnya, pada saat ini sekitar 80 persen data ada dalam bentuk yang tidak terstruktur.
”Tanpa data scientist, tidak ada value yang didapat,” sebutnya. Komang secara khusus juga menekankan pentingnya kemampuan bercerita (story telling) atau komunikasi dimiliki seorang data scientist, selain kualifikasi di bidang statistik, matematika, dan bisnis.
Kejar kesenjangan
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Semuel Abrijani Pangerapan pada hari yang sama menjelaskan ihwal kesenjangan digital (digital divide) yang terkait dengan upaya pemanfaatan big data. Ini terkait dengan belum meratanya akses internet di Indonesia menyusul ketersediaan infrastruktur yang belum hadir di seluruh wilayah.
Ia menyebutkan, hal itu bakal teratasi dengan pembangunan infrastruktur jaringan serat optik dalam proyek Palapa Ring yang diharapkan rampung 2019. Akan tetapi, tantangan selanjutnya adalah bagaimana menyampaikan edukasi terkait pemanfaatan optimal jaringan internet tersebut ke seluruh masyarakat Indonesia agar terjadi pemerataan secara utuh.
Pasalnya, imbuh Semuel, kelak diharapkan terjadi transformasi penduduk berbasis pengetahuan, pemerintah berbasis pelayanan elektronik, dan dunia bisnis menuju perekonomian digital. ”Kita lakukan edukasi, lama kelamaan gap-nya (kesenjangan) akan berkurang,” sebut Semuel.
Jakarta antusias
Sementara itu, sebagian warga Jakarta juga mulai antusias mempelajari teknis analisis big data untuk sejumlah keperluan. Sebagian di antaranya terlihat pada Minggu (2/4) dalam pelatihan yang diselenggarakan lembaga Clevio Coder Camp di kawasan Jalan Pangeran Antasari, Jakarta Selatan.
Belasan orang dari berbagai latar belakang pendidikan dan profesi, sudah sejak sehari sebelumnya mengikuti kursus singkat untuk memahami teknik-teknik dasar hal tersebut. Relatif besarnya cakupan big data membuat mereka selama dua hari itu berfokus pada tema seputar web scraping atau ekstraksi data dari sejumlah laman web.
Sejumlah peserta menyebutkan, pada era big data yang dimungkinkan menyusul terhubungnya nyaris setiap orang ke dalam jaringan internet, pengetahuan mengenai metode analisisnya mestilah dimiliki. Mia Astari, seorang pekerja profesional di bidang konstruksi, menyebutkan, hal itu membantunya dalam konteks kehidupan sehari-hari.
Ini terutama jika dikaitkan dengan efektivitas dan efisiensi dalam pengambilan keputusan. Hal lain yang juga terkait dan pada saat ini sedang terus didorong ialah terkait dengan implementasi konsep smart city.
Salah seorang peserta lain, Danny Kosasih menyebutkan, kemampuan itu juga penting untuk dimiliki generasi muda dan anak-anak pada saat ini. ”Ini adalah keahlian masa depan yang harus dikuasai,” sebut Danny.
Salah seorang instruktur Clevio Coder Camp, Zia menyebutkan, hal paling penting dalam penguasaan metode tersebut adalah memahami terlebih dahulu konsep besarnya. ”Bahasa pemrograman komputer tidak perlu dihafal, tetapi yang penting adalah mengerti konsepnya,” kata Zia.
Kesadaran dan pemahaman mengenai konsep big data berikut proses analisis ini memang cenderung masih menjadi tantangan besar. Padahal, saat ini, perekonomian digital yang didorong oleh masifnya data telah jadi keniscayaan.
Pada hilirnya, sejumlah konsep kemampuan prediktif proses bisnis, peningkatan loyalitas pelanggan, dan implementasi konsep kota pintar atau smart city dijalankan dengan keniscayaan big data sebagai tulang punggungnya.