SEMARANG, KOMPAS — Pemanfaatan air hujan sebagai air bersih di Kota Semarang, Jawa Tengah, perlu terus ditingkatkan. Selain untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat, hal tersebut juga akan mengurangi pemakaian air tanah yang berdampak buruk terhadap lingkungan.
Pengajar Program Studi Arsitektur Universitas Katolik Soegijapranata, FX Bambang Suskyatno, mengatakan hal tersebut pada sosialisasi hasil-hasil penelitian Kota Semarang di Balai Kota Semarang, Rabu (24/5). Usulan pemanfaatan air hujan berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 2009-2011.
”Usulan tersebut berangkat dari kenyataan bahwa PDAM (perusahaan daerah air minum) hingga kini belum mampu memenuhi kebutuhan air bersih. Berdasarkan data yang ada, lebih dari 55 persen warga menggunakan air tanah yang dalam,” ujar Bambang.
Ia menjelaskan, dampak jangka panjang penggunaan air tanah secara terus-menerus adalah terjadinya penurunan muka tanah. Jika hal tersebut tidak diantisipasi, rob atau limpasan air laut akan terus menerjang daerah pesisir pantai di Kota Semarang.
Menurut Bambang, pihaknya bersama Badan Lingkungan Hidup (kini Dinas Lingkungan Hidup) Kota Semarang telah melaksanakan percobaan pemanfaatan air hujan di 40 lokasi. ”Kemudian kami mengujinya dengan parameter fisika, biologi, dan kimia,” ucap Bambang.
Dia menambahkan, kontaminan air hujan tertinggi di Kota Semarang adalah bakteri coliform dan kimia mangan. Dengan demikian, rekomendasinya adalah pemanfaatan air hujan sebatas air bersih. Untuk diminum, harus dilakukan pemanasan 70-100 derajat celsius terlebih dahulu.
Bambang, yang juga Kepala Laboratorium Teknologi Bangunan di Unika Soegijapranata, menuturkan, berdasarkan rekomendasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, untuk menghilangkan kadar kimia perlu digunakan batu zeolite agar hasilnya optimal.
Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Semarang Satya Hadi mengatakan, permasalahan kota terkait dengan kebencanaan masih menjadi hal yang krusial. Karena itu, penelitian terkait upaya pencegahan bencana harus terus didorong.
”Topografi Semarang yang berada di kawasan perbukitan dan pesisir menjadi salah satu penyebab tingginya intensitas bencana. Rawan banjir dan longsor, penelitian kebencanaan masih perlu dilakukan dan bagaimana tindak lanjutnya,” kata Satya.
Dia menambahkan, selain kebencanaan, sejumlah tema lain yang masih menjadi tema utama di antaranya pengentasan rakyat dari kemiskinan. Selain itu, penelitian evaluasi program pemerintah kota juga dilakukan. ”Seperti kampung tematik akan dikaji apa saja yang kurang atau lemah,” kata Satya.