logo Kompas.id
Ilmu Pengetahuan & TeknologiMerkuri Pembunuh Senyap
Iklan

Merkuri Pembunuh Senyap

Oleh
Ahmad Arif
· 4 menit baca

Bocah perempuan berusia lima tahun itu, dibawa ke Rumah Sakit Perusahaan Chisso di Kota Minamata, Kumamoto, Jepang, 21 April 1956. Dokter bingung dengan gejalanya yang aneh; sulit berjalan dan bicara, serta kejang-kejang. Dua hari kemudian, adik perempuannya mengalami sakit yang sama, disusul delapan pasien lagi. Jumlah korban terus bertambah dan sebagian meninggal. Penyakit ini-kemudian dikenal sebagai penyakit minamata-juga menjangkiti kucing dan burung liar di sekitar Teluk Minamata. Riset dari Universitas Kumamoto dan sejumlah peneliti menemukan kaitan penyakit dengan pencemaran merkuri organik atau methylmercury oleh perusahaan kimia Chisso ke Teluk Minamata. Merkuri (Hg) yang semula bersifat anorganik berubah menjadi Metil merkuri (MeHg) yang bersifat organik ketika masuk ke air atau tanah. Begitu menjadi Metil merkuri, logam berat beracun ini dengan mudah terserap dalam organisme.Temuan itu semula disangkal. Selama investigasi, Chisso bahkan mengalihkan pembuangan ke Sungai Minamata. Pencemaran merkuri organik ke pesisir Minamata meluas. Baru 26 September 1968 atau 12 tahun sejak korban pertama ditemukan, Pemerintah Jepang akhirnya mengakui, penyakit minamata disebabkan pencemaran merkuri organik dari Chisso. Tahun 2001, Pemerintah Jepang resmi mengakui jumlah korban tragedi Minamata mencapai 2.265 orang, dan 1.784 orang di antaranya telah meninggal. Namun, 17.128 korban lainnya masih berjuang menuntut pengakuan dan kompensasi. Hingga kini, dampak buruk cemaran merkuri masih menghantui. Banyak anak-anak Minamata cacat fisik maupun mental karena selama kehamilan orangtua mereka teracuni merkuri. Konvensi MinamataTragedi Minamata membuka mata dunia tentang bahaya pencemaran merkuri ke alam. Pada 19 Januari 2013, United Nations Environment Programme (UNEP) menginisiasi konvensi untuk mengatur peredaran dan penggunaan merkuri. Namun, upaya menghapus penggunaan merkuri tidaklah mudah. Logam berat ini memiliki variasi kegunaan dalam industri modern, dari industri klorin, fungisida pertanian, cat, industri kertas, baterai, penambal gigi, hingga kosmetik. Di Indonesia, salah satu konsumen terbesar merkuri selain industri adalah penambang emas skala kecil (PESK), untuk memurnikan emas. Berdasarkan data Asosiasi Petambang Rakyat Indonesia, kebutuhan merkuri untuk ribuan PESK di Indonesia mencapai 3.500 ton per tahun. Indonesia termasuk salah satu titik panas peredaran merkuri. Selain jadi pengguna, Indonesia juga merupakan produsen merkuri. Sejak lima tahun terakhir, Indonesia yang semula jadi pengimpor merkuri berbalik jadi pengekspor. Itu setelah ditemukannya batuan sinabar (cinnabar) atau Merkuri sulfida sebagai bahan baku. Bahan baku merkuri yang amat beracun ini terutama ditambang dari Pulau Seram dan diolah di Jawa. Produksi dan perdagangan merkuri di Indonesia itu tak tercatat resmi di Kementerian Perindustrian maupun Kementerian Perdagangan (Kompas, 19 Mei 2017). Namun, United Nations International Trade Statistics Database (UN Comtrade) mencatat, tahun 2015 ekspor merkuri dari Indonesia ke sejumlah negara mencapai 567,53 ton dan pada 2016 mencapai 1.300 ton. Tingginya peredaran merkuri di Indonesia seiring temuan terbaru International POPs Elimination Network (IPEN) atau jaringan masyarakat sipil dan lingkungan global bersama Biodiversity Research Institute (BRI). Sebanyak 97 persen perempuan di sekitar penambangan emas Pongkor, Kabupaten Bogor, dan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat, kadar Merkuri di rambut melebihi ambang batas aman 1 bagian per juta (part per million/ppm). Tertinggi dibanding 24 negara lain yang diteliti.Penelitian BaliFokus juga menemukan merkuri di atas ambang batas pada beras di sekitar pengolahan emas. Sementara kajian Etty Riyani dari Institut Pertanian Bogor menemukan kandungan merkuri di atas ambang batas pada kerang dan ikan di beberapa perairan, terutama di Teluk Jakarta.Yuyun Ismawati dari BaliFokus bahkan menemukan warga di beberapa lokasi penambangan emas mengalami gejala keracunan merkuri dan sebagian meninggal. Indikasi kelahiran bayi cacat pun meningkat. Namun, data resmi tak ada. Akhirnya, setelah tiga tahun menandatangani Konvensi Minamata, Indonesia meratifikasinya, Rabu (13/9). Itu jadi langkah maju, tetapi tantangan terberat sebenarnya penerapannya dalam kebijakan dan hukum. Sebagai pembunuh senyap, banyak orang tak sadar bahaya merkuri karena dampaknya tak seketika.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000