logo Kompas.id
Ilmu Pengetahuan & TeknologiBenahi Layanan di Fasilitas...
Iklan

Benahi Layanan di Fasilitas Kesehatan Swasta

Oleh
· 3 menit baca

MEDAN, KOMPAS — Kasus penyakit tuberkulosis di fasilitas kesehatan swasta berpotensi tidak tercatat dengan baik ke dalam sistem nasional dan pasien berpotensi tidak mendapat pengobatan yang standar. Untuk itu, perbaikan mutlak dilakukan agar setiap kasus tuberkulosis tercatat sehingga bisa diobati hingga sembuh.Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2010, sebagian besar (78 persen) masyarakat sudah mengetahui gejala tuberkulosis (TB) dan tahu (73 persen) TB dapat disembuhkan. Namun, mereka (81 persen) tidak tahu bahwa pengobatan TB bisa gratis. Akhirnya, sekitar 52 persen orang dengan gejala TB langsung membeli obat TB ke apotek atau toko obat tanpa menjalani prosedur diagnosis dan pengobatan yang benar. Inilah yang, antara lain, membuat kuman TB lebih resisten terhadap obat. "Inilah yang sangat kami sayangkan," kata Ketua Pehimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) periode 2014-2017 Arifin Nawas, seusai pembukaan Kongres Nasional PDPI XV di Kota Medan, Sumatera Utara, Jumat (22/9).Selain itu, katanya, ada juga 74 persen orang dengan gejala TB berobat ke fasilitas kesehatan nonpemerintah. Pengobatan di fasilitas kesehatan swasta tersebut, ujar Arifin, berpotensi tidak tercatat dalam data kasus TB dan tidak mendapat pengobatan yang standar.Pencatatan dan pelaporan yang baik serta pengobatan yang baik sesuai dengan tata laksana, ujar Arifin, adalah bagian dari prinsip yang harus dilakukan dalam penanggulangan TB. Selain itu juga komitmen, penemuan kasus aktif, serta ketersediaan obat.Untuk itu, PDPI bekerja sama dengan American Thoracic Society (ATS) memulai program kemitraan pemerintah-swasta dalam penanggulangan TB. Dalam program ini, fasilitas kesehatan swasta terintegrasi dalam program penanggulangan TB nasional sehingga pencatatan dan pelaporan kasus menjadi lebih baik. Program yang hingga kini melibatkan 62 rumah sakit dan klinik swasta tersebut telah menangani hampir 22.000 kasus TB di DKI Jakarta, Bekasi, dan Tangerang.Urutan keduaDi dunia, Indonesia menempati urutan kedua negara dengan kasus penyakit tuberkulosis terbanyak setelah India, dengan lebih dari 1 juta kasus baru setahun. Sebelum 2014, tercatat 460.000 kasus baru per tahun. Peningkatan ini, menurut Arifin, disebabkan kemampuan deteksi yang juga kian meningkat. Jika dahulu konfirmasi kasus dilakukan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis, sekarang bisa dilakukan dengan tes cepat molekuler. "Sebanyak 1 juta kasus baru setahun ini sudah peringatan buat kita," ujarnya.Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, jumlah kasus TB baru di dunia naik dari 9,6 juta kasus setahun menjadi 10,4 juta kasus setahun. Dari jumlah itu, sekitar 60 persen di antaranya dari India, Indonesia, Tiongkok, Nigeria, Pakistan, dan Afrika Selatan. TB adalah satu dari 10 penyakit penyebab kematian tertinggi di dunia pada 2015, lebih besar dari kematian akibat HIV dan malaria.Sekretaris Umum PDPI Agus Dwi Susanto menambahkan, selain tuberkulosis, Indonesia menghadapi beban penyakit respirasi (terkait pernapasan) yang tak kalah berat mulai daripada penyakit paru obstruktif kronis, kanker paru, hingga infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Tingginya prevalensi perokok di Indonesia juga polusi udara menjadi faktor risiko yang besar.Gubernur Sumatera Utara Erry Nuradi mengatakan, ke depan upaya mengatasi masalah kesehatan respirasi perlu terus ditingkatkan. Tingginya kasus TB dan jumlah perokok di Indonesia merupakan dua tantangan utama kesehatan respirasi saat ini hingga ke depan. (ADH)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000