JAKARTA, KOMPAS — Konten hoaks paling banyak merebak lewat media sosial. Oleh karena itu, usaha untuk mengontrol dan melakukan tindakan tegas atas konten-konten ini terus dilakukan.
Berdasarkan survei yang diterbitkan Masyarakat Telematika Indonesia pada Februari 2017, sebesar 92,4 persen responden menerima berita hoaks dari media sosial. Sebanyak 75,9 persen responden sangat setuju dengan pendapat bahwa hoaks dapat mengancam kerukunan bermasyarakat.
Juru Bicara Divisi Humas Polri Komisaris Besar Slamet Pribadi menyebutkan, pihaknya akan menindak tegas tiap laporan konten hoaks yang berbau SARA. ”Tiap hari ada ratusan konten yang kami lumpuhkan. Namun, saya juga menyampaikan kepada tim untuk menghadapi laporan-laporan tersebut dengan rileks. Kalau tidak rileks, bisa-bisa mereka terhasut oleh konten yang dilaporkan,” tutur Slamet pada seminar di Jakarta, Sabtu (23/9).
Ia juga mengingatkan masyarakat untuk waspada terhadap konten hoaks. ”Ingat, jarimu harimaumu. Memang, sisi positifnya, kemajuan teknologi informasi memudahkan komunikasi dan berbagi informasi. Namun, di sisi lain, kemajuan ini memunculkan kejahatan siber,” ucap Slamet.
Direktur Indonesia New Media Watch Agus Sudibyo berpendapat, pemerintah perlu membentuk aturan tegas bagi perusahaan media sosial. ”Sebagian besar dari perusahaan yang produknya dipakai masyarakat Indonesia itu adalah perusahaan asing. Sebaiknya mereka juga bertanggung jawab pada konten hoaks yang tersebar,” ujarnya.
Agus mencontohkan, sejumlah negara memberi aturan tegas terhadap perusahaan-perusahaan media sosial terkait konten yang disebarkan. ”Misalnya di Jerman. Perusahaan media sosial dari luar harus membuka kantor unit penanganan hoaks selama 24 jam dalam 7 hari di Jerman,” katanya. (DD09)