JAKARTA, KOMPAS — Pengelolaan hutan-hutan yang belum terdata dan terawasi, seperti yang berada di Papua, diserahkan kepada masyarakat sekitar. Dengan belum jelasnya status hutan itu, para investor terkadang batal untuk berinvestasi karena rumitnya proses perizinan yang harus dijalani. Ini terkadang menguntungkan bagi para pemerhati lingkungan karena konservasi hutan tetap terjaga.
Koordinator Karbon Biru Conservation International Indonesia Barakalla menyatakan, di daerah seperti Papua banyak hutan yang pada suatu area wilayah itu dikelola oleh tiga pihak, yaitu pemerintah, masyarakat adat tertentu, dan masyarakat dengan agama tertentu.
”Investor yang ingin berinvestasi di sana terkadang mundur karena banyaknya perizinan yang harus diurus,” kata Barakalla setelah diskusi ”Kajian Blue Carbon di Papua Barat” di Jakarta, Selasa (17/10).
Wilayah hutan di Papua, walaupun berada dalam suatu yurisdiksi kabupaten tertentu, harus ditelaah lebih jauh statusnya karena dapat dimiliki oleh suku atau agama tertentu. Hal ini dapat dilihat sebagai isu yang kompleks, tetapi para pemerhati lingkungan senang dengan keadaan ini karena menjauhkan para investor untuk tidak membuka lahan di area hutan.
Indonesia memiliki 22 persen luas hutan mangrove dunia. Sementara itu, sepertiga luas hutan mangrove Indonesia berada di Papua. Data Bappeda Provinsi Papua Barat 2014 mengungkapkan, hutan mangrove di Papua Barat memiliki luas hingga 482.029,24 hektar.
Terdapat setengah dari berbagai jenis mangrove yang ada di dunia dalam hutan Indonesia. Namun, deforestasi hutan mangrove terjadi sebesar 52.000 hektar per tahun untuk kegiatan tambak, infrastruktur pesisir, dan permukiman. Hutan mangrove sangat efektif dalam menyimpan gas CO2 sehingga penting dalam membantu mitigasi perubahan iklim.
Bupati Kabupaten Kaimana dari Provinsi Papua Barat Matias Mairuma menyatakan, pemerintah daerah Kaimana mengusulkan agar penerbitan izin pengelolaan hutan dihentikan. ”Sejak saya menjabat saya tidak pernah memberi izin. Kompensasi dari perusahaan kepada masyarakat tidak setimpal. Kami tidak tertarik dengan hak pengusahaan hutan (HPH) karena tidak memberikan kontribusi yang signifikan,” ujarnya. (DD13)