SORONG, KOMPAS — Tantangan terbesar dalam pengarusutamaan pengurangan risiko bencana dalam pembangunan justru berada di pemerintah. Pengurangan risiko bencana masih dianggap sebagai beban dan pembangunan yang dilakukan justru meningkatkan risiko bencana.
”Dibutuhkan perubahan paradigma dalam menanggulangi bencana, dari responsif menjadi preventif dan lebih memprioritaskan pengurangan risiko bencana. Itu harus dimulai dari pemerintahnya sendiri,” kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Willem Rampangilei dalam pembukaan Peringatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di Sorong, Papua Barat, Selasa (23/10).
Menurut Willem, hingga saat ini belum ada kesepahaman di kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah mengenai pentingnya PRB. Akibatnya, pembangunan yang dilakukan belum terintegrasi dengan PRB. Bahkan, terdapat kecenderungan pembangunan yang dilakukan justru meningkatkan risiko bencana.
Dia mencontohkan, degradasi lingkungan saat ini terjadi meluas seiring dengan pembangunan. Laju kerusakan hutan saat ini lebih cepat daripada pemulihannya. Dari kerusakan hutan rata-rata 750 ribu hektar (ha) per tahun, pemerintah hanya bisa merehabilitasi 250.000 ha per tahun. ”Saat ini terdapat setidaknya 24,3 juta hektar lahan kritis. Ini memicu naiknya risiko bencana,” katanya.
Willem menambahkan, banyak kawasan rawan bencana saat ini dipadati penduduk. Namun, kepala daerah tidak berani menyatakan kerentanan daerah tersebut, apalagi memindahkan penduduknya. Mereka khawatir hal itu akan mengganggu investasi. Selain itu, hal ini juga terkait dengan masalah politik.
”Para kepala daerah takut tindakan merelokasi warga dari zona rentan bahaya tidak populer. Padahal, itu untuk keselamatan masyarakat dan justru menyelamatkan investasi,” katanya.
Untuk mendorong pengarusutamaan PRB adalam kebijakan, menurut Willem, BNPB saat ini menginisiasi pembuatan cetak biru penanggulangan bencana nasional hingga 2045 dengan melibatkan 30 kementerian dan lembaga. ”Untuk menyusun masterplan ini, kami bekerja sama dengan Bappenas. Akhir November sudah uji publik,” katanya.
Salah satu usulan dalam cetak biru ini, lanjut Willem, adalah dengan memasukkan agar pembangunan yang dilakukan berbasiskan PRB. ”Ke depan, sebelum ada pembangunanan, syarat amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) saja tidak akan cukup, tetapi harus ada analisis risiko bencana,” ujarnya.
Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan mengatakan, wilayahnya sangat rentan terdampak bencana, terutama banjir dan longsor. Pada 2010 juga terjadi banjir bandang yang menewaskan sekitar 150 orang di Wasior, Teluk Wondama. Saat ini, katanya, jumlah penduduk yang tinggal di zona rawan semakin bertambah seiring pertumbuhan penduduk.
”Sekalipun kami sudah menganggarkan untuk penanggulangan bencana, masih belum cukup. Masih butuh bantuan dari pemerintah pusat,” kata Dominggus.
Ajang evaluasi
Sekretaris Jenderal Platform Nasional (Planas) Pengurangan Risiko Bencana Tri Nirmala Ningrum berharap, Bulan Peringatan PRB menjadi medium untuk konsolidasi dan evaluasi seluruh elemen di bidang kebencanaan, tidak hanya pemerintah, tetapi juga kalangan lembaga swadaya masyarakat.
”Saya mengikuti acara ini sejak pertama dibuat tahun 2013 dan menurut saya PRB di Indonesia belum banyak perubahan. Masih menjadi tanda tanya besar, apakah kita benar-benar siap jika terjadi bencana besar lagi,” katanya.
Anggota Dewan Pengarah BNPB, Sarwidi, mengakui belum banyak kemajuan dalam PRB, terutama terkait pengarusutamaan bangunan tahan gempa. ”Kesadaran masyarakat juga masih sangat rendah. Ini butuh upaya bersama,” kata Sarwidi yang juga ahli konstruksi bangunan tahan gempa dari Universitas Islam Indonesia.