Pertumbuhan Rumah Sakit Tidak Merata
JAKARTA, KOMPAS — Sejak program Jaminan Kesehatan Nasional dimulai pada 2014, banyak rumah sakit baru berdiri. Dalam setahun rata-rata ada 90 rumah sakit baru. Namun, itu tak menjawab kesulitan akses warga akan fasilitas kesehatan karena umumnya dibangun di wilayah barat Indonesia.
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Bambang Wibowo, Rabu (1/11), di Jakarta, mengatakan, mayoritas rumah sakit (RS) yang baru dibangun adalah RS swasta. Sebagian besar RS dibangun di Pulau Sumatera dan Jawa.
Padahal, akses masyarakat terhadap fasilitas kesehatan di Jawa umumnya relatif baik. Kebutuhan fasilitas kesehatan yang besar justru ada di kawasan timur Indonesia. "Agak aneh juga. Sebagian rumah sakit menilai tarif Jaminan Kesehatan Nasional- Kartu Indonesia Sehat untuk rumah sakit belum memadai, tetapi jumlah rumah sakit tumbuh terus," kata Bambang.
Data Kemenkes menunjukkan, sejak 2013, jumlah RS terus bertambah mulai dari 2.228 menjadi 2.408 unit pada 2014. Kemudian naik lagi berturut-turut 2.490 pada 2015, 2.601 tahun 2016, dan 2.753 per 19 Oktober 2017. Data per 12 Oktober 2017, sebanyak 1.047 di antara RS yang ada merupakan milik swasta.
Kini, dari sembilan provinsi yang kekurangan tempat tidur di RS, hanya dua provinsi yang ada di wilayah barat, yakni Jawa Barat dan Lampung. Tujuh provinsi lainnya tersebar di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Adapun ketersediaan tempat tidur RS di Jawa Barat dan Lampung belum memenuhi standar rasio 1 tempat tidur bagi 1.000 penduduk.
Peran pemda
Bambang menambahkan, seharusnya pemerintah daerah lebih berperan untuk mengelola perizinan RS di daerahnya. Izin pembangunan RS baru seharusnya tak ditempatkan di lokasi yang sudah banyak RS, tetapi diarahkan kepada daerah yang fasilitas kesehatannya masih minim.
Menurut Ketua Kompartemen Jaminan Kesehatan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Daniel Wibowo, pemerintah sebaiknya bekerja sama dengan swasta untuk memenuhi kebutuhan fasilitas kesehatan di daerah dengan jumlah penduduk sedikit. Itu dinilai lebih ekonomis ketimbang pemerintah membangun sendiri fasilitas kesehatan.
Bambang menyatakan, sebenarnya pemerintah telah menyediakan insentif bagi investor yang akan membangun RS di wilayah timur Indonesia. Insentif itu berupa tarif layanan rumah sakit bagi pasien JKN-KIS berbeda serta perbedaan tarif antara RS swasta dan pemerintah.
"Beda tarif RS zona I di barat dengan zona V di timur bisa sampai 20 persen. Perbedaan tarif rawat jalan RS swasta dan pemerintah 5 persen dan untuk rawat inap 3 persen," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Maya Amiarny Rusady menyatakan, pihaknya ingin sebanyak-banyaknya fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Dengan demikian, kualitas layanan bagi peserta JKN-KIS bisa meningkat.
Namun, ada mekanisme seleksi untuk memastikan aspek legal dan kompetensi dari fasilitas kesehatan bersangkutan. Seleksi itu penting agar 182 juta peserta (per 1 Oktober 2017) mendapat manfaat yang dijanjikan oleh program JKN-KIS.
Lepas dari kecukupan tempat tidur RS, Maya berharap program promotif dan preventif di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) diperkuat. Dengan demikian, tidak semua kasus dirujuk ke RS. "Sekarang masih ada 68 persen kasus rawat jalan di rumah sakit yang seharusnya bisa tuntas di FKTP," ucapnya.
(ADH)