Sebanyak 15 persen anak usia pra-sekolah 3-5 tahun berisiko dalam tumbuh kembang, karena asupan gizi yang terus menurun.
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Sebanyak 15 persen anak usia prasekolah 3-5 tahun berisiko dalam tumbuh kembang. Kondisi ini terjadi karena asupan gizi yang terus menurun ketika mereka memasuki usia tersebut. Jika tidak segera ditangani, melahirkan kasus stunting (pendek), gizi buruk, atau kasus lain yang lebih buruk pada anak. Sementara kesehatan anak usia bayi 6-9 bulan dan ibu hamil 3-6 bulan relatif normal. Mereka ini adalah penerus pembangunan di daerah itu.
Hal itu dipaparkan dr Ahmad Suryawan, koordinator penelitian tentang kesehatan ibu hamil, bayi, dan anak prasekolah. Penelitian itu adalah hasil kerja sama antara Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Jawa Timur dan IDAI Nusa Tenggara Timur (NTT), tim dokter spesialis anak Universitas Airlangga, dan Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana, Kupang, Sabtu (11/11) malam, di Kupang, NTT. Menurut Ahmad, persoalan kesehatan di NTT cukup serius jika tidak ditangani sejak dini.
Penelitian ini dilakukan pada Juli -November 2017 dan akan dilanjutkan di periode yang sama pada 2018.
”Kami melakukan penelitian selama dua hari di dua tempat pendidikan anak usia dini (PAUD) di Kota Kupang dan ibu hamil. Ibu hamil sebanyak 56 orang dengan usia kehamilan 3-6 bulan, bayi 6-9 bulan, dan anak prasekolah usia 3-5 tahun. Ibu hamil diambil dari kelompok ibu berusia 27 tahun. Untuk ibu hamil dan bayi, relatif normal,” papar Ahmad.
Ia menegaskan, kondisi kesehatan kelompok anak usia prasekolah 3-5 tahun cukup memprihatinkan. Sebanyak 78 anak yang diteliti di dua PAUD/TK dengan usia 4-5 tahun, kadar HB mereka rata-rata 11,4, tetapi rentannya masih ada, yakni 8,9-13,5. Yang perlu segera ditangani adalah ukuran tubuh mereka, yang anjlok dibandingkan dengan bayi. Bayi 85 persen normal, tetapi anak usia prasekolah hanya mencapai 44,9 persen. Ini sesuai peringatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu penurunan berat dan tinggi anak terjadi pada 1.000 hari pertama atau dua tahun pertama.
”Tinggi badan normal 48,7 persen dari 93 persen. PMI menetapkan angka normalnya 61 persen. Lalu kemampuan intelektual anak usia 3-5 tahun itu. Dari hasil screening, anak-anak di dua TK itu yang normal 60 persen, sedangkan yang tidak normal 40 persen, agak mengkhawatirkan,” tutur Ahmad.
Hal itu, menurut Ahmad, berpengaruh pada risiko perilaku anak-anak ke depan, terutama gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas. ”Kami temukan 52,6 persen berisiko gangguan hiperaktif. Problem gangguan emosi dan sosial sebanyak 38,5 persen,” katanya.
Ahmad menyebutkan, data-data tersebut hanya diambil dari dua TK, tetapi menjadi gambaran secara keseluruhan anak-anak usia prasekolah di NTT. ”Hasil penelitian ini memperlihatkan bagaimana perkembangan kemampuan intelektual dan gangguan tingkah laku pada masa yang akan datang,” ungkapnya.
Ketua IDAI Jawa Timur dr Sjamsul Arief mengatakan, penelitian yang ditindaklanjuti dengan seminar dua hari di Kupang itu terselenggara atas kerja sama IDAI NTT, IDAI Jawa Timur, dokter spesialis anak dari Universitas Airlangga, dan FK Undana, Kupang, dengan dukungan dana dari Kalbe Nutrionals. Kerja sama ini untuk membantu Pemerintah Provinsi NTT meningkatkan dan mengatasi persoalan tumbuh kembang anak NTT.
Presiden Direktur Kalbe Nutrionals-Morinaga Ongkie Tedjasurja mengatakan, NTT dipilih karena tim pemberdayaan masyarakat Kalbe Nutrionals-Morinaga, IDAI Jawa Timur, dan IDAI NTT menilai NTT masih menghadapi berbagai persoalan perkembangan sumber daya manusia. Hal ini tecermin dari data yang dilansir Pusat Data Kementerian Kesehatan RI pada 2016. Angka berat bayi lahir rendah 15,5 persen, anak di bawah usia lima tahun (balita) dengan status kurang gizi 28,2 persen, dan balita pendek 38,7 persen.