Faktor Amerika Tidak Signifikan
BONN, KOMPAS — Faktor mundurnya Amerika Serikat dari Kesepakatan Paris dinilai tidak terlalu berpengaruh signifikan pada upaya pengurangan emisi dalam perubahan iklim. Komitmen yang lebih, yang ditunjukkan oleh sejumlah negara, menjadi kompensasi atas mundurnya Amerika Serikat itu.
Mundurnya AS itu tentu menimbulkan kekhawatiran tersendiri, apakah target menahan peningkatan suhu global di bawah 2 derajat celsius yang sudah ditetapkan secara global bisa tercapai. Namun, ternyata faktor itu menjadi tidak begitu signifikan karena sejumlah negara justru meningkatkan komitmennya dan negara yang kinerjanya melebihi target mengompensasi mundurnya AS, misalnya, Denmark, Norwegia, China, dan India.
"Semangat kolektivitas negara-negara di ruang negosiasi tetap terjaga," kata Utusan Khusus Presiden RI untuk Pengendalian Perubahan Iklim Rachmat Witoelar pada Pertemuan Para Pihak (COP) Ke-23 Kerangka Kerja PBB tentang Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC), seperti dilaporkan wartawan Kompas, Adhitya Ramadhan, dari Bonn, Jerman, Selasa (14/11).
Belum lagi, katanya, sikap pemerintah federal Amerika Serikat di bawah Trump tidak begitu saja mencerminkan sikap AS sebagai negara. Beberapa hari lalu, mantan Wali Kota New York Michael R Bloomberg, yang kini menjadi Utusan Khusus UNFCCC untuk Kota-kota dan Perubahan Iklim, menuturkan, publik AS yang merupakan non-state actors dalam perubahan iklim telah bergerak dan sudah berkontribusi setengah jalan menuju target Niatan Kontribusi Nasional (NDC) tanpa dukungan pemerintah federal. Gerakan yang disebut sebagai America\'s Pledge itu didukung gubernur, wali kota, pengusaha, akademisi, juga ribuan publik Amerika.
Dari sisi pendanaan dan teknologi, mundurnya AS juga terkompensasi dengan banyaknya pihak yang menyediakan pendanaan dari Eropa yang tidak memiliki dampak politik yang besar. Teknologi mutakhir dari negara-negara di luar AS juga dinilai Rachmat bisa menutupi teknologi dari AS, seperti China.
Regulasi energi
Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha menekankan pentingnya Indonesia untuk membuat regulasi energi baru terbarukan dalam bentuk undang-undang. Undang-undang yang ada, seperti UU Minyak dan Gas, UU Panas Bumi, dan UU Listrik dinilai belum cukup untuk mengatur energi baru dan terbarukan.
Dua komponen besar NDC Indonesia adalah perubahan lahan dan kehutanan serta energi. Dalam energi, komponen besarnya adalah listrik dan transportasi. Pemerintah, menurut Satya, perlu memperlihatkan keberpihakan yang lebih pada pengembangan energi baru dan terbarukan.
Di Jakarta, para pegiat lingkungan menilai komitmen pemerintah dalam mengurangi dampak perubahan iklim lemah. Untuk menguatkan komitmen itu, pengalihan penggunaan energi batubara dengan energi terbarukan mendesak dilakukan.
Pada 2030, Indonesia menargetkan penurunan gas rumah kaca 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati mengatakan, jika tidak ada langkah konkret dari pemerintah dalam perubahan iklim, target tersebut tidak dapat tercapai.
"Upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim harus konkret. Perubahan iklim ini sudah berdampak bagi masyarakat Indonesia," ujarnya dalam bincang iklim terkait dengan Pertemuan Para Pihak atau COP Ke-23 Kerangka Kerja PBB tentang Konvensi Perubahan Iklim.
Peneliti Genetic Resources Action International (Grain) Asia, Kartini Samon, mengatakan, pihak pegiat lingkungan berharap pemerintah dapat memastikan komitmen dalam Kesepakatan Paris dapat dijalankan.
(DD04)