Benahi Komitmen Pembiayaan JKN
JAKARTA, KOMPASDi tahun kelima penerapan Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat tahun 2018 nanti, pemerintah harus lebih berkomitmen memperkuat pembiayaan JKN-KIS. Hal itu bertujuan untuk menjamin keberlanjutan program dan meningkatkan kualitas layanan.
Demikian diungkapkan Konsultan Tenaga Ahli Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Prof Hasbullah Thabrany dalam Diskusi Panel JKN yang diadakan Ikatan Dokter Indonesia di Jakarta, Selasa (12/12). Diskusi itu bertepatan dengan Hari Cakupan Jaminan Kesehatan Universal (Universal Health Coverage/UHC) global.
Hasbullah menilai, pemerintah keliru menetapkan prioritas. Sebab, dalam penetapan kebijakan pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), pertimbangan politis lebih dikedepankan daripada pertimbangan teknis yang tak populis, tetapi bisa menjamin keberlangsungan program itu.
Sejak awal program JKN-KIS diterapkan, sejumlah pakar merekomendasikan iuran peserta yang sesuai aktuaria Rp 36.000 per orang per bulan. Namun, pemerintah hanya menyetujui Rp 19.225, kemudian naik menjadi Rp 23.000 pada 2016. "Pemerintah menetapkan besaran iuran JKN-KIS. Jadi, pemerintah harus bertanggung jawab atas defisit yang terjadi," kata Hasbullah.
Pemerintah menetapkan besaran iuran JKN-KIS. Jadi, pemerintah harus bertanggung jawab atas defisit yang terjadi.
Beda tarif
Sejak diimplementasikan pertama kali pada 2014, kapitasi untuk dokter praktik perorangan dan klinik pratama tak pernah naik. Padahal, puskesmas mendapat tambahan anggaran, dan gaji pegawai negeri juga naik.
Di saat yang sama, perbedaan tarif rumah sakit swasta dengan pemerintah dalam Indonesia Case Base Groups (INA-CBGs) atau mekanisme pembayaran dengan sistem paket berdasarkan penyakit yang diderita pasien amat tipis. Sementara anggaran negara ataupun daerah terus mengalir ke rumah sakit pemerintah.
Di sisi lain, batas upah sebagai perhitungan iuran peserta pekerja penerima upah (PPU) swasta dinilai terlalu rendah, dibatasi Rp 8 juta. Meski pemerintah berkontribusi dengan membayar iuran peserta PPU pegawai negeri, secara umum gaji pokok pegawai negeri kecil.
Rata-rata iuran JKN-KIS Rp 34.734 tak akan cukup untuk membiayai kesehatan 70 persen penduduk yang terdaftar sebagai peserta saat ini.
Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf mengatakan, Komisi IX DPR menyiapkan Panitia Kerja INA-CBGs dan Panitia Kerja Tata Kelola Obat. Dua panitia kerja itu disiapkan karena dua hal itu selama ini banyak dikeluhkan tenaga dan fasilitas kesehatan. "Kerap kali dokter terpenjara dengan paket obat yang ada. Padahal, pasien juga berhak mendapat layanan yang lebih baik," ujarnya.
Dede menegaskan, untuk apa pemerintah menggenjot pembangunan infrastruktur jika masyarakatnya malah sakit. Hal itu karena mutu layanan JKN-KIS yang ada belum memuaskan.
Direktur Anggaran Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Kementerian Keuangan Purwanto menambahkan, anggaran negara terbatas. Jadi, perlu prioritas penggunaannya dan disalurkan dengan benar.
Menurut Purwanto, pemerintah berupaya menjaga keberlangsungan program JKN-KIS dengan memberi suntikan dana untuk mengatasi defisit melalui penyertaan modal ataupun bantuan pemerintah. Tahun ini, pemerintah mencairkan suntikan dana Rp 3,6 triliun untuk menutupi kekurangan biaya kesehatan JKN-KIS.
Selain itu, sebagian Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau juga akan dipakai untuk program JKN-KIS. Kementerian Keuangan pun telah menetapkan tata cara pemotongan dana alokasi umum atau dana bagi hasil daerah yang menunggak iuran JKN-KIS.
Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan Kalsum Komaryani menjelaskan, salah satu solusi jangka pendek penguatan pembiayaan JKN-KIS adalah optimalisasi peran pemerintah daerah dalam pembiayaan. (ADH)