Kita bisa membuat daftar aktivitas yang menandakan kesadaran terhadap ancaman perubahan iklim terhadap Bumi. Sejak 1995, meja negosiasi terus digelar untuk mengatasi ancaman perubahan iklim dengan tujuan utama adalah mengurangi emisi gas rumah kaca (dengan dominasi gas karbondioksida-CO2) dan beradaptasi untuk mengurangi dampak bencana akibat perubahan iklim.
Sejak itu, telah lahir dua skema global untuk mengatasi perubahan iklim. Protokol Kyoto tahun 1997 mewajibkan negara-negara maju menurunkan emisinya rata-rata 5 persen dari rata-rata emisi global pada 1990. Belum sampai protokol itu memenuhi targetnya, tenggat telah habis pada 2012. Frasa ”CBDR (common but differentiated responsibilities/berlaku sama tetapi berbeda tanggung jawab)” lahir pada Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, 1992.
Dasar pemikirannya jelas, negara maju ”berutang” emisi kepada negara berkembang karena Revolusi Industri berkembang di negara maju. Prinsip itu dinilai adil bagi kondisi amat berbeda antara kelompok negara berkembang dan negara maju. Negara berkembang mengemisikan gas karbon demi ”bertahan hidup” (survival), sedangkan penduduk negara maju mengemisikan karbon untuk ”kenyamanan” atau bahkan ”kemewahan” hidup.
Pengubuan berakhir seiring dengan berakhirnya Protokol Kyoto. Di Durban, pada Pertemuan Para Pihak (COP) ke-17, disepakati semua negara anggota Kerangka Kerja PBB untuk Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) akan bertanggung jawab mengatasi perubahan iklim.
Hal itu melahirkan Kesepakatan Paris yang mendorong tiap anggota untuk mengajukan Niatan Kontribusi Nasional (Nationally Determined Contributions). Meski dinyatakan setara, secara riil kondisi ketidakseimbangan antara keduanya tetap dan akan terus ada.
Proses negosiasi berlangsung di bawah bayang-bayang ”ketidakseimbangan”. Karena itu, negara maju harus berada di depan (take the lead) untuk menekan emisi dan bertugas membantu negara berkembang di bidang pendanaan, penguatan kapasitas, dan transfer teknologi. Negara maju disepakati memberi dana 100 miliar dollar AS per tahun mulai tahun 2020 dan dikaji lagi pada 2025, sedangkan negara berkembang harus berusaha mengurangi emisinya, dengan (conditional) atau tanpa (unconditional) bantuan negara maju.
Kompleksitas
Negosiasi lalu jatuh pada pembicaraan kompleks dan tak mudah terkait teknis penghitungan emisi karbon yang didasarkan pada prinsip: terukur, dilaporkan, dan bisa diverifikasi (MRV). Indonesia hingga kini belum menerbitkan metodologi MRV nasional yang akan dipakai sebagai dasar pelaporan penurunan emisi. Jumlah negara berkembang yang mencapai 130 negara menghadapi tantangan serupa.
Kondisi itu mengakibatkan hasil dari Rencana Aksi Nasional (penurunan) Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) hanya menghasilkan laporan penurunan emisi dari enam provinsi. Hal itu terungkap dalam diskusi tentang pendanaan yang digelar Yayasan Madani pada awal bulan ini.
Sementara Sistem Registrasi Nasional (SRN) yang dikembangkan di Indonesia untuk menghitung emisi nasional berdasarkan aktivitas pembangunan belum menunjukkan hasil karena kapasitas pemerintah daerah lemah. Penghitungan emisi butuh metodologi tertentu yang tak mudah jika ingin hasil akurat. Menghitung emisi kegiatan pun bertingkat sesuai kompleksitas metode, dari Tier-1 yang paling sederhana hingga Tier-3 yang memasukkan semua faktor.
Akses pendanaan
Pendanaan yang tersedia melalui UNFCCC adalah Green Climate Fund (GCF) yang disiapkan untuk mendanai aksi skala kecil demi aktivitas adaptasi dan mitigasi, sebelum dana tahun 2020 dimulai. Di sana dialokasikan dana 2,7 miliar dollar AS, tetapi sampai akhir 2017 baru tersalur 147,2 juta dollar AS, belum mencapai 10 persen dana tersedia.
Hingga kini baru sedikit negara berkembang yang bisa mengaksesnya, dan tak satu pun proyek di Indonesia mendapat dana itu. Institusi pengampu dana (accredited entity) di Indonesia hanya PT Sarana Multi Infrastruktur yang fokus pada pembangunan infrastruktur. Selain itu, World Wildlife Fund for Nature (WWF) sebagai satu dari 59 pengampu dana hadir di Indonesia sebagai WWF-Indonesia.
Di bidang energi, pada 2015 lahir kesepakatan antara Perancis dan India untuk penyediaan sumber daya energi surya, International Solar Alliance. Dari kesepakatan tersebut, muncul target untuk menyebarkan teknologi energi surya ke 121 negara.
Target itu mendapat penguatan dari pengumuman Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim yang bakal menghentikan bantuan pendanaan untuk eksploitasi minyak dan gas bumi mulai tahun 2020. Hal ini melengkapi keputusan menghentikan pendanaan pada batubara yang diumumkan pada tahun 2010.
Negosiasi perubahan iklim di tingkat global merupakan ajang baru dominasi negara maju atas negara berkembang. Kemampuan adaptasi dan mitigasi yang telah menjadi praktik negara berkembang melalui praktik masyarakat adat yang merawat hutan seakan dinihilkan.
Hutan diakui secara global berperan amat besar dalam mitigasi ataupun adaptasi. Namun, kini hutan telah menjadi obyek ilmu pengetahuan modern yang menggunakan basis kuantifikasi.
Masyarakat adat selama ini menerapkan cara hidup rendah karbon dengan hanya menggunakan sumber daya hutan dari produk nonkayu sehingga rendah emisi. Akan tetapi, mereka justru berada di pinggiran metodologi yang digunakan untuk menghitung emisi karbon sebagai dasar perolehan dana.
”Bagaimana dengan aktivitas ekowisata yang dikelola masyarakat yang menghasilkan uang jutaan rupiah, apakah bisa dimasukkan untuk aktivitas pendanaan?” Demikian kira-kira retorika yang diungkapkan dalam diskusi pendanaan bersama Yayasan Madani.
Ketidakseimbangan bisa diminimalkan jika ada kehendak untuk mengarusutamakan pendekatan pengetahuan lokal yang telah dikuasai masyarakat adat di berbagai belahan dunia. Penghitungan emisi global adalah keharusan, tetapi solusi tidak semata berada di tangan negara maju penguasa ilmu pengetahuan modern.
Kemanusiaan telah tereduksi jauh sebelum nasib Bumi berakhir seperti ditegaskan oleh sekitar 1.500 ilmuwan bulan lalu. Di masa depan, penting untuk menggagas jalan keluar dari jalur yang kaku atau rigid negosiasi perubahan iklim demi keadilan.