JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan di kota-kota besar di Indonesia dinilai mengabaikan kesehatan masyarakat. Hal itu terindikasi dari tingginya tingkat pencemaran udara yang terjadi dari tahun ke tahun. Karena itu, pemerintah didesak untuk mempertimbangkan aspek kesehatan udara dalam pembangunan.
Hal itu terungkap dalam pemaparan akhir tahun yang dilakukan Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat untuk Udara Bersih di Jakarta, Senin (18/12). Koalisi ini antara lain terdiri dari Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Green Peace Indonesia, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
”Perencanaan pembangunan mengabaikan kualitas udara. Berdasarkan parameter baku, sejumlah indikasi menunjukkan kondisi udara melebihi standar mutu,” kata Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan ICEL Margaretha Quina.
Hasil pemantauan kualitas udara yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di sejumlah kota besar pada 2012-2017 mengungkapkan risiko laten dengan tingginya paparan polutan. Salah satu parameter yang dipakai adalah PM2.5, yakni partikel mikroskopis (PM) yang dihasilkan dari semua jenis pembakaran, termasuk kendaraan bermotor, pembangkit listrik, dan industri. Sifat PM2.5 bergerak bebas di udara, mudah dihirup, dan masuk ke aliran darah manusia. Partikel ini memicu infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), terutama pada anak-anak, dan kanker paru.
Kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Semarang, memiliki kandungan PM2.5 tahunan rata-rata di atas baku mutu 12 mikrogram per meter kubik (µg/m3) yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Pada skala mikro, penelitian KPBB pada 2016 menunjukkan, di Jakarta 58,3 persen warga terpapar penyakit yang dipicu pencemaran udara, seperti ISPA, asma, dan pneumonia. Biaya kesehatan atas penyakit-penyakit itu mencapai Rp 51,2 triliun.
Sektor transportasi
Direktur Eksekutif KPBB Ahmad Safrudin mengatakan, pencemaran udara di Indonesia umumnya bersumber dari sektor transportasi, industri, dan sampah (pembakaran). Mengacu sumber-sumber ini, seharusnya penanganannya lebih terarah.
Di sektor transportasi, pemerintah menetapkan standar emisi Euro2 yang bisa menekan emisi 90 persen. ”Masalahnya bahan bakar yang digunakan, seperti premium, pertalite, dan solar, tak memenuhi standar tersebut. Harusnya standar emisi dipadukan dengan penggunaan bahan bakar ramah lingkungan,” ujar Ahmad.
Di hilir, katanya, perlu razia emisi kendaraan pribadi. Selama ini yang sering diuji kendaraan umum, padahal jumlah kendaraan pribadi lebih banyak. Razia bisa berujung penindakan, misalnya kendaraan ditilang karena tidak memenuhi baku mutu emisi. Di sektor industri pun perlu uji emisi yang dihasilkan pabrik.
Margaretha mengingatkan, pemerintah perlu memperketat regulasi yang mengatur pencemaran udara. Ia mencontohkan regulasi terkait pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan baku batubara. Aturan yang diacu adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tahun 2008 dengan standar PM 100 µg/m3, nitrogen dioksida (N02) 750 µg/m3, dan sulfur dioksida (S02) 750 µg/m3.
Padahal, banyak negara lain yang seperti Indonesia mengejar pertumbuhan ekonomi, menaikkan standar tiga parameter untuk PLTU. Contohnya India yang menetapkan PM 30 µg/m3 serta NO2 dan S02 masing-masing 100 µg/m3. (VDL)