Data Peserta Bermasalah
JAKARTA, KOMPAS — Data peserta Penerima Bantuan Iuran dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat di lapangan masih menjadi persoalan. Ditemukan banyak data yang tidak tepat sasaran sehingga menimbulkan banyak masalah.
Masalah data peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) tersebut terpotret oleh Institute for Strategic Initiative (ISI) dalam penelitian mereka tentang implementasi Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) di Kota Medan dan Kabupaten Bekasi pada periode Mei-Desember 2017. Hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) di 15 daerah pada 14 provinsi periode Maret-Agustus 2017 memperkuat temuan tersebut. Hasil penelitian dan pemantauan itu dipaparkan di Jakarta, Selasa (19/12).
Peneliti ISI, Putut Aryo, mengatakan, proses integrasi jaminan kesehatan daerah ke dalam program JKN-KIS harus didukung data yang akurat. Tanpa data yang akurat, proses integrasi tidak akan berjalan efektif.
Hasil penelitian ISI di Kota Medan, data kependudukan di daerah karut-marut. Pendataan penduduk miskin yang akan dimasukkan menjadi peserta PBI oleh kepala lingkungan (RT/RW) menjadi tidak akurat. Tidak ada mekanisme panduan pendataan, dan kontrol oleh pemerintah daerah pun lemah.
”Data JKN-KIS yang dimiliki dinas kesehatan, dinas sosial dan tenaga kerja, dan BPJS Kesehatan berbeda,” kata Putut.
Data JKN-KIS yang dimiliki dinas kesehatan, dinas sosial dan tenaga kerja, dan BPJS Kesehatan berbeda.
Di Kabupaten Bekasi, ketika program Jamkesda diintegrasikan dengan JKN-KIS, banyak warga miskin peserta Jamkesda yang justru tidak terdaftar sebagai PBI daerah.
Selain data yang bermasalah, kata Putut, layanan terhadap peserta JKN-KIS pun masih diskriminatif. ”Masih ditemukan adanya pelayanan yang tidak ramah terhadap peserta JKN-KIS dan penolakan pasien karena kamar perawatan penuh,” katanya.
Potensi kecurangan
Koordinator Divisi Investigasi ICW, Febri Hendri, mengatakan, ICW mencoba memotret potensi kecurangan dalam implementasi JKN-KIS dan aspek kepesertaan melalui pemantauan yang lebih bersifat investigatif di 15 daerah di 14 provinsi. Daerah tersebut, antara lain, Medan, Pekanbaru, Garut, Pontianak, Makassar, Mataram, dan Kupang.
Dari sisi kepesertaan, ICW menemukan ada warga yang sebenarnya tidak layak menjadi peserta PBI, tetapi kenyataannya justru terdaftar sebagai peserta PBI. Selain itu, ada juga warga yang memang terdaftar sebagai peserta PBI, tetapi belum menerima KIS. Akibatnya, peserta itu belum memanfaatkan layanan JKN-KIS.
Adapun dari sisi potensi kecurangan, ICW mendapati ada 49 potensi kecurangan yang muncul dari sisi fasilitas kesehatan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, penyedia obat, dan peserta. Sebagian besar potensi kecurangan itu berasal dari rumah sakit, yaitu 23 temuan.
Potensi kecurangan dari rumah sakit yang ditemukan ICW berupa adanya tindakan medis yang tidak perlu, menagihkan biaya tindakan medis dari peserta umum ke BPJS Kesehatan, dan menetapkan kode klaim yang lebih tinggi daripada yang seharusnya (upcoding).
Potensi kecurangan yang muncul di puskesmas paling banyak berupa adanya tambahan biaya dari pasien. Padahal, puskesmas sudah menerima kapitasi dari BPJS Kesehatan. Selain itu, ada ”setoran” kapitasi ke dinas kesehatan.
Sementara potensi kecurangan yang muncul dari peserta umumnya berupa pernyataan tidak benar terkait surat eligibilitas peserta (SEP). Peserta memberikan pernyataan yang salah dengan mengklaim bahwa dirinya merupakan peserta PBI. (ADH)